Oleh Ahmad Muchlish Amrin
Pejalan kaki mendapat perhatian khusus, lebih-lebih di kota-kota besar di Indonesia maupun di Eropa dan Amerika. Para pejalan kaki begitu dihormati, bahkan memiliki lajur khusus pejalan kaki.
Di Jakarta dan Yogyakarta misalnya, trotoar yang dijadikan sebagai jalur khusus pejalan kaki dibersihkan dari pedagang kaki lima. Tak lain agar para pejalan bisa berbahagia mendapuk langkah; mengurai setiap peristiwa yang menjuntai dalam perjalanan.
Ada kenangan yang direkam; ada cinta; ada hal-hal yang menyala dan redup seperti lampu kerlap-kerlip. Di situ pejalan kaki mendapuk kenangan dan pandangan. Melebur masa lalu dan masa depan dalam perjalanan hari ini yang menyenangkan.
Dalam buku catatannya pada 1888, filsuf abad ke-19 asal Jerman Friedrich Nietzche (1844-1900), berjalan kaki satu jam di pagi hari dan tiga jam di sore hari. Ia berjalan melewati jalur yang tetap. Berjalan santai. Tidak terburu-buru untuk segera tiba di tujuan. Ia menikmati perjalanan, memperhatikan setiap peristiwa puitik yang dapat menginspirasi filsafatnya. Karya-karya besarnya lahir semenjak ia berjalan kaki, sebut saja misal, The Dawn of The Day (1881) sampai on The Genealogy of Morality (1887). The Gay Science (1882) hingga Beyond Good and Evil, dan Zahathustra.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Nikmati Kakimu, Bung!
Tidak hanya Nietszce yang gemar berjalan kaki, filsuf lain seperti Socrates, Aristotelles, Arhur Rimbaud, hingga Mahatma Gandhi juga memiliki kesemaan kebiasaan berjalan kaki.
Pengalaman-pengalaman mereka kemudian secara khusus ditulis dan dibukukan oleh Frederich Gros dalam A Philosophy of Walking. Ia mengurai bahkan pada level cara berjalan kaki yang baik dan tidak baik.
Dalam perjalanan—begitu kata Gros, para pejalan kaki akan merekam semua yang ditangkap melalui pandangan, apa saja yang dirasakan oleh tubuh dan dirasakan dalam hati yang kemudian direkam dalam memori. Itulah sebabnya, tidak ruginya bila kita menghormati para pejalan kaki, bukan? *
Ahmad Muchlish Amrin, Santri Kutub Yogyakarta.
1 komentar