Seputar Pendidikan #28
Aldi Hidayat
Sudah lumrah dalam kesadaran lalu Heidegger tegaskan, kita terlempar ke dunia tanpa kita mau. Seketika kita lahir dari rahim seorang ibu yang tidak kita pinta, bahkan kita pun tak tahu. Tiba-tiba kita menghirup udara lalu mengalami haru atau pilu. Itulah hidup; peristiwa yang lahir tanpa melibatkan sepeser pun restu. Lalu mengapa kita mesti tercipta begitu? Itu karena Tuhan Maha Tahu bahwa kita mampu.
Ya… lahir memang tiada bersumber dari mau, tapi bagaimana pun juga, kita pasti mampu. Mampu itu kemudian bersanding mesra dengan mau. Guna menikmati hidup, kita tidak cukup berbekal mampu, karena mampu tanpa mau ibarat awak tanpa perahu. Pun juga, mau tanpa mampu adalah kebalikan dari itu. Demikian pula kembara menuju kesuksesan. Kemauan dan kemampuan adalah kesatuan. Kemauan tanpa kemampuan bisa mendatangkan kegagalan. Kemampuan tanpa kemauan bisa mengorbankan perasaan.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Manusia Teomorfis
Mau dan mampu selalu berdialektika dalam merakit kehidupan. Manusia selalu mau kesenangan dan kemudahan. Pada saat yang bersamaan, manusia dibekali kemampuan. Alhasil, pembaharuan demi pembaharuan terus bermunculan. Pembaharuan selalu memunculkan sitegang antara dua hal yang sama-sama dibutuhkan. Pembaharuan selalu berhadapan dengan dua pilihan yang seimbang, sehingga jadilah bimbang. Dua pilihan yang membingungkan dan membagongkan. Apa itu?
Pertama, pembaharuan yang memihak pada kemauan. Mau selalu bertungkus lumus dengan segera. Manusia selalu butuh segera, karena watak manusia ialah tergesa-gesa. Dambaan yang lama lama-kelamaan akan takluk pada dambaan yang secepatnya. Ketika yang secepatnya semakin dimanja, maka telaten, jeli, teliti dan hati-hati lambat laun bakal sirna. Jadilah kemudian hidup serba cepat. Dari saking cepatnya, awet muda segera minggat. Taruhlah misal sederhana, yakni usia. Nun jauh di masa silam, usia manusia pra Nabi SAW adalah ratusan. Nabi Adam as barangkali satu-satunya insan yang usianya menembus ratusan alias 1000 tahun melakoni kehidupan. Beralih pada abad berikutnya, Nabi SAW menegaskan:
حصاد أمتي بين سبعين وستين
Usia umatku kisaran 70 atau 60 tahun.
Mau Kuliah Gratis Plus Uang Bulanan? Beasiswa Dalam dan Luar Negeri
Usia manusia turun drastis. Adakah penurunan ini berlaku di sektor lain? Terang sekali. Pada era pra industri, manusia nyaris tidak bisa menciptakan revolusi (perubahan dadakan). Akan tetapi, semenjak James Watt pada 1777 M, berhasil menemukan mesin uap, semua kegiatan pada gilirannya masuk dalam paradigma serba cepat. Produksi berlangsung lebih ringkas, lebih banyak, bahkan lebih serakah. Tidakkah penjajahan berpilar pada salah satunya kekayaan bahan produksi? Bahan produksi ialah Sumber Daya Alam (SDA). Afrika dan Asia rupanya menyimpan SDA melimpah yang tidak terpakai. Dalam pada itu, melalui Perjanjian Tordesilas, resmilah pembagian kekuasaan terhadap dunia.
Dunia bagian barat menjadi jatah Spanyol. Dunia bagian timur merupakan jatah Portugis. Itulah cikal bakal penjajahan Eropa terhadap dunia. Mengapa harus menjajah? Dari seabrek alasan lintas disiplin, tidak bisa dipungkiri betapa kesegeraan meraup kenikmatan adalah faktor kejiwaan yang barangkali luput dari perhatian. Ya…. hasrat akan kenikmatan secara tergesa-gesa mendorong aktor kolonial memeras SDM dan SDA di berbagai belahan dunia. Itulah pembaharuan yang memihak pada mau. Industri yang semula berorientasi memudahkan kemudian disalahgunakan untuk mengeruk kekayaan di lain kawasan.
Info Temat dan Lembaga Kursus Jogja
Pembaharuan yang memihak pada mau di sektor lain terus mencerca dan mencecar pikiran kita untuk selalu up to date. Apalagi, kemajuan teknologi digital memudahkan setiap orang untuk berekspresi. Pada gilirannya, terciptalah rivalitas merebut viralitas. Gegara kemajuan digital mempermudah relasi antarrival, maka ketatlah aturan demi viral. Oleh sebab ketat, maka yang viral tidak akan bertahan lama. Segera sang rival mencari celah untuk menggantikannya. Trend pun berjubel di sana-sini sekaligus sangat cepat berganti. Selanjutnya, kemapanan bersiap-siap masuk dalam museum. Pasalnya, rivalitas meniscayakan pergantian yang viral. Viral adalah gerbang menuju kemapanan. Kemapanan secara positif berfungsi menciptakan ketertiban agar teruntai ketenangan. Sayangnya, kemapanan selaku jalur menuju ketenangan kini digusur oleh yang namanya ketatnya rivalitas. Dengan demikian, ke depan, sesuatu yang mapan paling lama mungkin 1 menit, karena segera setelah itu, muncul inovasi baru yang lebih menggiurkan.
Ikuti Lomba: Raja Lomba #solusiprestasimu
Kedua, pembaharuan yang memihak pada kemampuan. Kemampuan lebih dekat dengan keseimbangan. Alasan manusia mampu untuk hidup ialah karena manusia mampu menyeimbangkan antara daya bertahan hidup dan daya ancaman hidup. Hidup ini mengancam, tapi manusia bisa bertahan. Itulah kemampuan. Ancaman dan daya tahan terus bersitegang, sehingga menghasilkan keseimbangan. Sekarang keseimbangan semakin mengecil, karena kemampuan manusia kian kerdil di hadapan kemauan yang terhadap serba cepat sangat ingin. Perlawanan terhadap penguasa adalah wujud konkret kebutuhan manusia akan keseimbangan, tepatnya keseimbangan hak penguasa dan hak rakyat jelata. Gagasan dan gerakan biosentris adalah manifesitasi kebutuhan manusia terhadap keseimbangan lingkungan. Pembaharuan yang memihak pada kemampuan sebenarnya nama lain dari penyegaran.
Artinya, keseimbangan jauh-jauh hari sudah dibutuhkan dan dicontohkan. Oleh sebab kemauan semakin tak terkendali, maka perlu ada penyegaran alias memperbaharui kesadaran kita tentang keseimbangan. Dalam wujud ekstremnya, pembaharuan kategori ini bisa berupa gerakan kembali ke masa lalu. Contoh, teknologi pertanian masa kini menyediakan pembasmi hama demi memuaskan kemauan. Akan tetapi, pembasmi hama malah membunuh serangga lainnya. Pada gilirannya, serangga lain terancam sirna. Menyikapi hal ini, pembaharuan versi kedua atau bernama lain penyegaran ini secara ekstrem ingin agar pertanian seperti tempo dulu. Tidak perlu memakai pupuk kimiawi, karena membahayakan ekosistem.
Cari Info Kerja Daerah Istimewa Yogyakarta? Loker Jogja
Itulah gambaran sekilas betapa hidup ini adalah dialektika antara mau dan mampu. Titik tekannya bukan mengesampingkan salah satu demi menonjolkan yang lain. Terlalu mau tanpa kalkulasi akan mampu berakibat fatal. Jika hanya terlalu mau mempermudah kegiatan akan bertabrakan dengan fakta bahwa manusia tidak akan mampu hidup dalam keadaan yang serba berubah hingga nyaris tidak ada yang mapan. Terlalu mampu bertahan dengan yang mapan akan mematikan kreativitas manusia, selaku sumber harapan mengapa harus melanjutkan kehidupan. Jadi, harus seimbang antara mau dan mampu. Bagaimana itu? Gunakan mau untuk melejitkan mampu dan gunakan mampu untuk meredam mau. Silakan terus berkreasi, tapi ingat kreasi itu bukan untuk membuat manusia candu akan senang, karena yang demikian akan membingungkan. Pasalnya, kreasi demikian memaksa manusia untuk selalu mencoba sesuatu yang baru, padahal dirinya belum mampu. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta
2 komentar