Assa’diyah
Istilah mayoran sering kita dengar di kalangan pondok pesantren. Mayoran didefinisikan sebagai makan bersama dalam suatu wadah yang besar. Wadah yang digunakan berupa pelepah daun pisang atau nampan yang biasanya disebut lengser. Nampan biasanya digunakan untuk menyajikan makan atau minuman biasanya terbuat dari platik, kayu atau lainnya. Bentuknya pun beragam, ada persegi panjang, persegi, bulat lingkaran ataupun lonjong.
Mayoran merupakan ekspresi rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan. Mayoran digunakan untuk merayakan sebuah keberhasilan seperti menghatamkan Al-Qur’an, lulus ujian, menghatamkan kitab atau hanya sekedar berkumpul dengan teman dan sahabat. Sepanjang pengetahuan penulis, menu makanan sangat variatif, tergantung kesepakatan dan tentunya tidak boleh meninggalkan sambel dan krupuk.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Menghargai dan Dihargai oleh Waktu
Jika dipahami dalam konteks agama, tradisi mayoran merupakan bagian dari ajaran Rasulullah Saw. Dalam sebuah hadis disebutkan :
Bahwasannya para sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah Saw, (mengapa) kita makan tetapi tidak kenyang?” Rasulullah balik bertanya, “Apakah kalian makan sendiri-sendiri?” Mereka menjawab, “Ya (kami makan sendiri-sendiri)”. Rasulullah pun menjawab, “Makanlah kalian bersama-sama dan bacalah basmalah, maka Allah akan memberikan berkah kepada kalian semua.” (HR. Abu Dawud)
Anjuran Rasulullah Saw tersebut hingga kini dipegang teguh oleh para habaib dan ulama di pondok pesantren di nusantara. Keberkahan suatu makanan berhubungan dengan seberapa banyak orang yang menikmatinya. Semakin banyak orang yang menikmatinya, maka akan semakin banyak pula berkah yang didapatkannya. Seperti kata Ibnu hajar dalam Fathul Bari (9:535) “Kecukupan itu datang karena keberkahan dari makanan berjam’ah. Cara berjamaah ini membuat yang menikmati makanan itu banyak sehingga bertambah pula berkahnya”.
Ikuti: Pendaftaran LCC Sejarah Tingkat Kota Yogyakarta Tahun 2022
Mayoran memberikan pelajaran berharga, yakni membangun karakter kebersamaan dan egalitarian dalam diri sosial kehidupan manusia, lebih-lebih ketika berada di pesantren. Satu nasib sepenanggungan dan satu rasa satu makanan. Tradisi tersebut dapat menghindarkan santri dari sifat kikir dan bakhil serta tidak akan melunturkan rasa kekeluargaan antar mereka. Dalam lingkungan pesantren, tradisi mayoran akan terus dipertahankan dan dilestarikan agar mempererat kerukunan antar mereka. Hal tersebut karena salah satu prinsip dalam pesantren adalah kesederhanaan dan kekeluargaan tanpa batas.
Assa’diyah, Mahasiswi Fakultas Tarbiyah IIQ An Nur Yogyakarta