Pendidikan Cangkrukan untuk Penampilan

Esai, Literasi101 Dilihat

Seputar Pendidikan #11

Aldi Hidayat

Cangkrukan gampangnya adalah diskusi santai atau ngobrol tentang pengetahuan dan wawasan. Sama-sama santai dengan ngobrol. Bedanya, ngobrol itu isinya condong pada pengalaman keseharian. Cangkrukan menghidangkan edukasi, sedangkan ngobrol menyajikan sensasi.

Pendidikan kita identik dengan keketatan, baik dari sudut penampilan maupun dari sudut pengajaran. Dari segi penampilan, kita dituntut rapi, ditunjukkan dengan sepatu, kaos kaki, seragam, bahkan dasi. Alasannya agar kita rapi dan terlihat kompak beredukasi. Hanya saja, ada kelemahan yang menjangkiti pola pendidikan semacam ini.

Penampilan rapi dalam arti konvensional di dunia pendidikan cenderung membuat tidak nyaman. Kerapian membuat pelajar mudah keringatan. Buktinya, jika memang penampilan rapi membawa kenyamanan, mengapa dalam keseharian, orang-orang suka berpenampilan sederhana? Pertanyaan selanjutnya, mana lebih konsentrasi belajar dengan aturan dibanding belajar dalam keadaan santai? Belajar didominasi oleh aktivitas otak. Otak akan lebih maksimal bekerja, saat seseorang lagi santai, menikmati dan tidak terkekang oleh berjubel aturan.

Taruhlah misal ceramah keagamaan. Ceramah identik dengan paparan lugas disertai dalil-dalil keagamaan. Ceramah biasanya berlangsung selama 1 jam atau paling banter 2 jam. Habib Husein Ja’far al-Hadar pernah membuahkan terobosan. Beliau menggabungkan ceramah, musik dan stand up comedy dalam tajuk acara, “Festival Nada, Canda dan Dakwah”. Sungguh di luar kira! Acara itu bisa berlangsung 8 jam lamanya, bahkan meraup donasi puluhan juta, padahal acara dihelat secara gratis untuk para pemirsa. Donasi itu kemudian disumbangkan pada lembaga pendidikan yang kurang mampu. Apa yang bisa kita petik dari terobosan dakwah ini?

Jangan Lewatkan Baca Juga: Kunci Sukses Cukup Punya “Orang Dalam”

Pendidikan akan berlangsung lebih efektif, saat ia dinikmati. Mana lebih nikmat antara berpenampilan rapi yang ketat dan berpenampilan santai, namun tetap menjaga aurat? Tentu akan ada jawaban penampilan rapi yang ketat. Alasannya boleh jadi karena sudah menjadi kesepakatan bersama. Manusia memang makhluk konformitas–teori gagasan Solomon As bahwa manusia cenderung ikut kesepakatan umum. Persoalannya, bagaimana jika kesepakatan bersama itu kita ganti dengan kesepakatan baru?

Mari kita cari contoh lain! Mengapa remaja bisa berlama-lama main game? Pastinya karena game dinikmati. Bisakah kita menyulam sistem pendidikan menjadi lebih santai, sehingga pelajar bisa betah dalam mengenyam? Tentu saja bisa. Pertanyaan berikutnya, mana lebih penting antara surplus penampilan rapi, namun defisit konsentrasi dan defisit penampilan rapi, namun surplus konsentrasi? Jika memang pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, maka seharusnya sistem pendidikan mengakomodasi pola-pola yang lebih mendukung konsentrasi. Susah mencerdaskan kehidupan bangsa, jika pendidikan masih terpaku pada hal-ihwal sekunder, seperti penampilan, rambut tidak boleh panjang, kuku harus dipotong dan lain seumpamanya. Tidakkah para koruptur berpenampilan rapi, lengkap dengan sepatu bergengsi dan disertai dasi?

Dilansir dari tribunwow.com, bertitimangsa 28 Agustus 2017, bahwa Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, tidak memberlakukan seragam bagi siswa-siswinya. Tentu boleh dikata, “Finlandia ya Finlandia. Indonesia mah beda..” Ibn Khaldun pernah berkata, “Yang kalah cenderung meniru yang menang.” Dalam pentas pendidikan, Indonesia kalah jauh sama Finlandia. Setiap negara tentu mendambakan sistem terbaik untuk pendidikannya. Jika begitu, maka tak ada cara lagi selain mencontoh sistem pendidikan mancanegara yang lebih bermutu.

Hanya saja, yang perlu dihapus bukan seragamnya, namun keketatan penampilan. Penghapusan seragam di lembaga pendidikan Indonesia barangkali akan menyulut api pro dan kontra. Akan tetapi, potensi ini mungkin tidak begitu besar bagi penghapusan aturan ketat dalam berpenampilan.

Pendidikan kita terlalu sesak oleh hal-hal yang tidak dinikmati. Mulai dari mata pelajaran yang melimpah sejak bangku SD, jam belajar yang sesak dari pagi sampai siang, ditambah lagi jam belajar keagamaan bagi anak-anak pedesaan, sehingga tata penampilan yang terlalu obsesif pada yang namanya kerapian. Akibatnya, pelajar kekurangan ruang untuk menikmati apa yang disukai. Pendidikan akhirnya identik dengan kewajiban, bukan kebutuhan.

Pendidikan cangkrukan yang penulis maksud ialah menghapus pakem-pakem konvensional yang selama ini dianggap mendukung pendidikan, padahal malah menghambat konsentrasi, selaku inti dari pendidikan. Pendidikan cangkrukan adalah membuat pendidikan terasa nyaman, sehingga pelajar betah berlama-lama dalam menjalaninya.

Seseorang yang bekerja atas dasar terpaksa akan kalah jauh dibanding orang yang bekerja atas dasar suka, apalagi cinta. Pada era di mana kesenangan adiktif bertaburan di mana-mana, selayaknya pendidikan bukan melawan dengan cara menghindar, tapi merangkul lalu memberi sentuhan kreasi dan restorasi di sana-sini.

Kendala terbesar dalam mengurangi tingkat kerapian penampilan adalah anggapan bahwa rapi itu identik dengan sopan. Persoalannya, apa kriteria paling utama dari sopan? Apakah rapinya penampilan atau halusnya tindakan? Mana lebih sopan antara manusia berdasi yang menjaga jarak dari rakyat jelata dan manusia compang-camping yang rela berbagi rezeki, padahal dirinya kelaparan? Tentu simpati akan berlabuh pada pihak kedua. Itu artinya, sopan-santun itu ditentukan oleh halusnya tindakan, bukan rapinya penampilan.

Penulis tidak bermaksud menghapus kerapian, sebagai bumbu penyedap relasi antarsesama. Penulis hendak memutarbalikkan prioritas; dari penampilan rapi ke fokus dan konsentrasi. Jika konsentrasi yang menjadi prioritas utama, maka urusan penampilan semestinya tidak terlalu dipertimbangkan. Pasalnya, konsentrasi justru lahir dari kondisi santai, sederhana, apa adanya, bukan dari penampilan rapi, lengkap dengan ragam aksesori. 

Yang lebih penting dari penampilan adalah cara pengajaran. Itulah mangsa utama pendidikan cangkrukan. Kita lanjutkan di episode mendatang. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar