Makan Racun

Literasi, Serat1539 Dilihat
makan racun - maghfur m ramin
Foto: Ilustrasi
Mahfur M. Ramin

Kita semua makan. Tiga kali sehari, atau lebih, kita memasukkan sesuatu ke dalam tubuh dengan keyakinan bahwa itu akan membuat kita hidup. Tapi jarang kita bertanya: apakah benar yang kita makan memberi kehidupan, atau justru perlahan meracuninya?

Makan tampak sederhana, tapi sesungguhnya ia adalah tindakan dengan seribu makna yang kita lakukan setiap hari. Di sana tersimpan relasi antara tubuh, dunia, dan makna. Aristoteles pernah menyebut manusia sebagai makhluk rasional; mungkin yang lebih tepat, manusia adalah makhluk yang memaknai makannya. Kita tidak sekadar mengunyah nasi atau roti — kita mengunyah nilai, kebudayaan, bahkan sejarah.

Namun di zaman ketika makan bisa dilakukan sambil menggulir layar ponsel, tindakan itu kehilangan kesakralannya. Makanan disulap menjadi komoditas, bukan karunia. Kita makan bukan untuk hidup, tapi untuk lupa. Dan di titik inilah, makan bisa berubah menjadi racun — bukan karena zatnya, tapi karena hilangnya makna di baliknya.

Makan bukan sekadar cara tubuh bertahan hidup; ia juga cara kita hadir di dunia. Dalam setiap suap nasi, ada rantai panjang relasi sosial: petani yang menanam, alam yang memberi, sistem ekonomi yang menentukan harga, bahkan doa yang kadang kita ucapkan sebelum menyantapnya. Makan adalah tindakan etis dan spiritual sekaligus: ia mengajarkan syukur, kesadaran, dan tanggung jawab.

Simone Weil pernah menulis bahwa tindakan memberi makan orang lain adalah bentuk tertinggi solidaritas manusia. Menempatkan relasi dengan “yang lain” sebagai inti keberadaan kita. Dalam konteks ini, makan bukan hanya urusan tubuh sendiri, tapi juga cara kita mengakui keberadaan orang lain yang membuat hidup kita mungkin.

Di Indonesia, makan selalu punya dimensi sosial dan spiritual. Dalam tradisi slametan atau tumpengan, makanan bukan sekadar santapan, tetapi simbol kebersamaan, doa, dan syukur. Makan menjadi ruang sakral tempat manusia meneguhkan relasi dengan Tuhan, sesama, dan alam. Namun, ketika modernitas mengubah makna itu menjadi sekadar konsumsi, kita kehilangan rasa urip iku mangan bareng — hidup adalah makan bersama.

Ketika Makan Menjadi Racun

Ketika makan kehilangan makna, ia berbalik arah: dari sumber kehidupan menjadi sumber kerusakan. Racun di sini bukan hanya kimiawi, tapi simbolik dan eksistensial.

Pertama, racun ekologis.  Sistem pangan global mendorong eksploitasi tanah, air, dan manusia. Kita makan dengan nyaman, tanpa sadar bahwa kenyamanan itu dibayar oleh rusaknya ekosistem dan petani kecil yang terpinggirkan. Food and Agriculture Organization (FAO) mencatat, lebih dari sepertiga produksi pangan dunia terbuang sia-sia setiap tahun, sementara bumi menanggung beban limbah dan emisi gas rumah kaca yang meningkat. Apa yang kita sebut murah di meja makan, sesungguhnya mahal bagi bumi.

Kedua, racun sosial. Di satu sisi, sebagian orang bergelimang makanan berlebih; di sisi lain, jutaan orang kelaparan. Dunia yang mampu memproduksi lebih banyak kalori daripada kebutuhan manusia justru gagal memberi makan secara adil. Di Indonesia, masih ada sekitar 7–8 persen penduduk yang mengalami kekurangan gizi kronis. Di sini, makan menjadi simbol ketimpangan yang paling sunyi.

Ketiga, racun spiritual. Dalam budaya konsumeristik, makan sering menjadi pelarian dari kekosongan makna. Kita makan bukan karena lapar, tapi karena cemas, sepi, atau bosan. Kita tidak hanya menelan makanan, tapi juga ilusi kendali dan kepuasan semu. Akibatnya, tubuh kenyang, tapi jiwa tetap lapar.

Jika diperluas, sebenarnya kita makan lebih dari sekadar makanan. Kita makan informasi, gambar, suara, opini, bahkan ideologi. Kita menelan berita tanpa verifikasi, menelan kebencian tanpa refleksi, menelan nilai tanpa pertimbangan. Maka, dunia digital hari ini bisa disebut meja makan besar — tempat semua orang makan, tapi tak semua sadar apa yang sedang mereka santap.

Makan dengan Kesadaran

Lalu, bagaimana agar makan tidak menjadi racun? Jawabannya sederhana tapi mendalam: makanlah dengan kesadaran.

Makan dengan kesadaran berarti menghadirkan diri sepenuhnya pada tindakan itu. Menyadari dari mana makanan berasal, siapa yang terlibat dalam prosesnya, dan bagaimana tubuh serta bumi saling berhubungan. Ini bukan sekadar ajakan moral, tapi latihan ontologis: menyadari keberadaan melalui hal paling dasar — makan.

Dalam banyak tradisi spiritual, makan adalah bagian dari ibadah. Ucapan doa sebelum makan, misalnya, bukan sekadar kebiasaan, tapi cara menjaga makna. Ia mengingatkan bahwa yang kita makan bukan milik kita sepenuhnya, melainkan titipan yang harus dijaga. Dalam kesadaran itu, setiap suapan menjadi doa, bukan racun malapetaka.

Makan dengan kesadaran juga berarti mengelola apa yang kita makan secara mental. Tidak semua informasi pantas ditelan. Tidak semua ide layak dicerna. Seperti tubuh, pikiran pun perlu memilih asupan sehat dan membuang tumpukan racun.

Ungkapan lama mengatakan, kita adalah apa yang kita makan. Tapi barangkali, yang lebih tepat: kita adalah apa yang kita maknai dari yang kita makan. Makanan tidak otomatis memberi kehidupan; maknalah yang membuatnya demikian. Sama seperti pengetahuan, cinta, dan keyakinan — semua bisa jadi racun jika salah ditelan.

Maka, di dunia yang serba cepat dan bising ini, barangkali tugas paling pokok kita adalah belajar makan kembali — dengan hati yang hidup, dengan pikiran yang sadar, dengan rasa syukur yang jernih. Sebab kehidupan yang baik selalu dimulai dari hal yang paling sederhana: cara kita makan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *