Cerita Aib Sendiri Bukan Rendah Hati

Esai, Literasi316 Dilihat

Seputar Pendidikan #35

Aldi Hidayat

Beberapa orang mengira bahwa menceritakan dosa pribadi adalah biasa saja. Bahkan, lelaku ini dianggap rendah hati, karena menunjukkan bahwa diri ini masih berlumur dosa. Mari kita ukur ini berdasarkan hadis sahih berikut.

كُلُّ أُمَّتِيْ مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ. وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَيَقُوْلُ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ .

Semua umatku akan dimaafkan kecuali pelaku dosa yang terang-terangan. Di antara dosa terang-terangan ialah seperti halnya seseorang berdosa di waktu malam lalu Allah menutupinya dari orang lain. Pagi harinya, orang itu bercerita, “Kawan, tadi malam aku berbuat begini dan begini”, padahal tadi malam Allah tutup dosanya, tapi dia sendiri malah membeberkannya.

Hadis ini setidaknya mengandung dua poin. Pertama, berbuat dosa secara terang-terangan. Dosa macam apakah di sini? Kalau seperti merampok, bukankah yang demikian memang terang-terangan? Bukankah kalau sembunyi namanya mencuri? Dosa yang dimaksud di sini adalah dosa individual, yaitu dosa pada Tuhan. Dosa pada Tuhan memang sifatnya privat. Karena itu, dosa macam ini ketika dilakukan secara terang-terangan berarti sudah melampaui batas. Jikalau mengaca pada bunyi tekstual hadis di atas, maka dosa yang bablas ini susah, bahkan tidak berpeluang menuai ampunan.

Kedua, menceritakan dosa sendiri. Dosa macam apa yang tidak boleh diceritakan? Sekali lagi, dosa pada Tuhan. Kalau dosa kemanusiaan, seperti membunuh, mencuri dan lain seragam tentu butuh penceritaan. Pasalnya, hal tersebut demi memenuhi tuntunan keadilan si korban. Jikalau berupa dosa pada Tuhan atau tertentu pada 1-2 orang yang penyelesaiannya tidak perlu melibatkan pihak lain, maka tentu tidak boleh kita ceritakan. Mengapa dosa-dosa privat tidak perlu diceritakan?

Jangan Lewatkan Baca Juga: Konsisten yang Impoten

Manusia itu makhluk konformitas. Ketika Anda menceritakan dosa sendiri, maka kesan yang timbul dalam diri lawan bicara ialah dukungan tidak langsung untuk berbuat dosa pula. Artinya, manusia seringkali terpengaruh oleh kenyataan bersama. Taruhlah misal tunangan. Di tanah kelahiran, Madura, penulis mendapati informasi bahwa tunangan pada era silam enggan pertemuan. Bahkan, saat tunangan pria bertandang, tunangan wanita memilih bersembunyi, bukan menemui. Kenapa mesti menghindar? Apa karena tidak mau? Bukan, tetapi karena kecenderungan bersama kala itu ialah merawat hubungan dalam jalinan islami, bukan jalinan berahi. Sebaliknya, mengapa sekarang banyak tunangan di Madura ketemuan, boncengan, berduaan, bahkan kadang hamil di luar pernikahan? Karena kecenderungan bersama telah melegalkan mesra sebelum akad terucap. Tak ayal, orang tua masa kini di Madura bahkan menyuruh anaknya boncengan dengan sang tunangan. Ini adalah contoh konkret betapa manusia itu makhluk konformitas alias makhluk yang mengekor pada keinginan bersama.

Menceritakan dosa sendiri pada orang lain adalah bibit dari terciptanya kecenderungan bersama akan suatu dosa. Dosa yang pada mulanya bersifat privat lambat laun akan menjadi dosa umat. Saat seseorang menceritakan dosanya, akan timbul setidaknya dua kesan. Pertama, pencerita terkesan rendah hati. Kedua, ceritanya akan menjadi legitimasi sosial bahwa dosanya itu sah-sah saja dilakukan. Memang, dosa bukan berarti hilang dari kesadaran. Akan tetapi, kesan legitimasi sosial justru mengurangi sakralitas dosa yang diceritakan. Seolah-olah dosa itu bukan dosa yang parah-parah amat. Jadi, lakukan saja! Dengan demikian, ada dua kesan yang mengemuka, rendah hati dan legitimasi sosial akan dosa yang diceritakan. Rendah hati yang malah menimbulkan legitimasi terhadap dosa pada hakikatnya bukan rendah hati, melainkan rendah diri.

Rendah hati bukan menceritakan dosa pribadi. Yang demikian adalah merendahkan diri. Tidak rendah di sisi manusia, tapi rendah di sisi Tuhan. Pasalnya, pelaku tidak menghargai betapa Tuhan telah menutupi aibnya, dia sendiri malah membukanya. Dampak lanjutan dari bercerita dosa pribadi ialah pesan ‘Ali ibn Abi Thalib ra:

سرك أسيرك. فإذا تكلمت به، كنت أسيره.

Rahasiamu adalah tawananmu. Jika kau membeberkannya, maka kau akan menjadi tawanannya.

Baca Juga: Kampus UMKM Shopee di Yogyakarta

Salah satu watak bawaan manusia ialah ingin menjadi baik dan memperbaiki. Karena itu, sebenarnya tidak ada orang yang tanpa sabab-musabab mau menjadi orang jahat. Orang jahat acapkali karena terpaksa, tidak dihargai, dikucilkan, dikecewakan dan perlakuan lain yang tidak berperikemanusiaan. Dari situ, muncul rasa dendam yang menjadi bahan bakar bagi kejahatan.

Watak bawaan untuk menjadi baik akan tersumbat oleh penilaian orang tentangnya, gegara dia sendiri dulu pernah menceritakan aibnya. Parahnya, niat, pengetahuan dan wawasannya yang berorientasi kemanusiaan akan dicurigai sebagai kedok belaka. Alih-alih mau memberi sumbangan, yang terjadi malah ketidaklakuan. Akhirnya, muncul kecewa yang kemudian menjadi dendam. 

Masalahnya, tanpa menceritakan aib sendiri, bukankah yang demikian membuat kita akan dikeramatkan? Jika dikeramatkan, tidakkah kritisitas akan hilang? Pola pikir demikian masih bergentayangan dalam benak bangsa yang masih kental dengan paternalisme ini. Seakan lelaku yang barometernya adalah etika bisa memengaruhi gagasan yang barometernya adalah logika. Etika berurusan dengan pantas atau tidak. Logika berhubungan dengan benar atau salah. Keduanya memang berhubungan, tetapi bukan menyatu. Karena itu, tolok ukur kebenaran mestinya tidak terlalu mengacu pada etika seseorang, namun pada muatan logis gagasan yang dia sampaikan. Percuma kita berkoar-koar tugas kita saling mengingatkan, apabila kita masih gugup dan gagap mengkritik orang keramat lalu kita apatis mengambil sisi benar dari kelompok sesat. Percuma kita histeris bahwa tak ada manusia yang sempurna, jika kritik masih dianggap lancang dan bangkang. Percuma pula kita berteriak kebenaran ada di mana saja, bilamana terhadap orang jahat, kita menilainya buruk dan salah total. Seakan tidak ada baik dan benarnya.

Cari Info Lowongan Kerja? Loker Guru MBS Prambanan Sleman Yogyakarta

Itu artinya kritisitas tetap harus, walaupun terhadap orang yang aibnya belum terungkap. Demikian pula, tidak perlu membeberkan aib sendiri supaya diri ini tidak dikeramatkan. Yang lebih penting lagi, tidak penting menceritakan aib sendiri agar dianggap rendah hati. Rendah hati bukan membeberkan dosa pribadi, tapi menjadi luar biasa, namun gaya hidupnya seperti orang biasa. Rendah hati adalah menjadi penguasa, namun pergaulan dan penampilannya setara dengan rakyat jelata. Rendah hati adalah menjadi pemuka agama, namun tidak pernah menjaga jarak dari umat paling bejat pun di luar sana. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *