Seputar Pendidikan #5
Aldi Hidayat
Esai sebelumnya telah mengupas kelemahan dua kriteria cita-cita; bergengsi dan ber-uang. Kini kita masuk dalam tawaran solutif mengenai cita-cita. Ada dua kata kunci dalam esai ini, yakni gengsi dan dedikasi. Gengsi gampangnya adalah terlihat woww di mata orang. Adapun dedikasi ialah pengabdian, meski terlihat biasa saja di mata orang. Lantas apa maksud gengsi karena dedikasi dan dedikasi karena gengsi? Penulis akan memulainya secara terbalik.
Dedikasi karena gengsi berarti menjadikan gengsi sebagai tujuan, sedangkan dedikasi sebagai tunggangan. Contoh kecilnya, banyak orang mudah terpukau sama jabatan, bukan pada kinerja? Jabatanmu apa? DPR, misalnya. Woww… seketika penanya tercengang. Pertanyaannya, apakah kalau sudah menjadi DPR, seseorang dimaksud pasti disiplin, patut diteladani, memberi pengaruh positif? Tidakkah banyak pembesar hanya mentereng jabatannya, namun kinerjanya masih tidak lebih dari anak TK?
Jabatan Anda apa? Guru Besar… luar biasa. Memangnya kalau sudah jadi Guru Besar akan mampu menetaskan karya-karya berbobot, berpikir lebih rasional dan berlelaku lebih disiplin? Mana lebih hebat antara orang yang menulis puluhan karya disertai ratusan referensi pada tiap buku dengan orang yang menyandang gelar Guru Besar, tetapi karyanya masih terhitung jari? Kita seringkali terpaku pada jabatan dan pangkat, bukan pada kinerja.
Taruhlah misal lainnya, banyak orang mengejar beasiswa ke luar negeri. Alasannnya macam-macam, mulai dari mengasah pola pikir, mencoba tantangan baru, menambah jaringan dan lain-lain. Persoalannya ialah apakah kalau sudah kuliah di luar negeri, seseorang tersebut bisa melahap 10 buku dalam sebulan? Apakah bilamana lulus dari luar negeri, dia akan menulis puluhan buku dan ratusan artikel? Atau akankah dia menulis buku fenomenal yang melampirkan 500 referensi dalam daftar pustaka? Hamka hanya lulusan kelas 2 SD lalu berhenti sekolah. Kuliah tidak pernah dirasakannya. Akan tetapi, sosok yang tidak mengenyam pendidikan ini menulis 108 karya. Beliau tidak pernah mencicipi nikmatnya gengsi dalam pendidikan. Akan tetapi, mengapa beliau bisa menetaskan karya sebanyak itu, bahkan memeroleh doktor Honoris Causa dari al-Azhar dan gelar professor dari universitas Moestopo Beragama? Bukankah untuk mendapat gelar sebesar itu, harus menempuh sekolah dan kuliah, bahkan kalau perlu ke luar negeri? Itu karena penentu masa depan bukan seberapa bergengsi lembaga tempat Anda belajar, namun seberapa dahsyat kinerja Anda dalam berjuang.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Cita-Cita antara Gengsi dan Dedikasi
Penulis tidak bermaksud mencemari jalur-jalur lumrah dalam mencapai kesuksesan. Hanya saja, cukup memprihatinkan, apabila tolok ukur kesuksesan ialah gengsi, bukan dedikasi, kinerja dan usaha. Bukankah lebih baik tidak bergelar, tetapi memiliki pemikiran yang brilian, argumen yang rasional, bahkan memberi jasa dan karya untuk bangsa? Mengapa penulis bestseller kurang menuai perhatian lebih dibanding atlet sepak bola yang mencetak satu gol saja? Apakah sepak bola dapat menambah wawasan bangsa dalam beragama dan bernegara? Bukankah wawasan kemanusiaan lahirnya dari gagasan, bukan dari olahraga yang sensasional?
Pendidikan yang manusiawi membuka mata akal dan mata batin pelajar untuk “menuhankan” dedikasi, kinerja dan kedisiplinan, bukan popularitas, reputasi dan gengsi. Gengsi akan memaksa seseorang untuk lihai berpura-pura dan bercitra. Agar terlihat benar, maka argumen bawahan disanggah dengan, “Memangnya kau siapa? Belum jadi siapa-siapa sudah berani-beraninya melontarkan pendapat seperti itu?”. Jika memang mau berdedikasi, maka argumen logis dibalas secara logis, bukan secara paternalistik dan feodalis. Jika demikian, maka apa dan bagaimana gengsi karena dedikasi?
Secara sekilas, gengsi karena dedikasi berarti menjadikan gengsi sebagai bonus, sedangkan dedikasi sebagai perhatian utama. Bagaimana itu? Cita-cita bukan lagi berdasarkan kriteria ber-uang dan bergengsi, tetapi berdasarkan dedikasi dan kreasi. Itu artinya, jangan lagi meremehkan profesi petani, peternak, nelayan, tukang bengkel dan lain-lain! Karena yang terpenting bukan seberapa berkilau profesinya, namun seberapa maksimal kinerja, dedikasi dan kreasi Anda dalam profesi yang Anda geluti. Tidak penting apakah Anda kuliah atau tidak, karena yang penting Anda tekun membaca dan menulis buku-buku berkualitas, bahkan sekaliber disertasi. Tidak penting Anda juara lomba atau tidak, karena yang penting Anda disiplin mengajar, memberi kritik dan solusi serta menawarkan pembaharuan yang lebih progresif untuk lembaga tempat Anda mengajar.
Ambil Kerja: Daerah Yogyakarta, Ini Info Lokernya
Tidak penting profesi Anda memanen uang besar-besaran, karena yang penting Anda mendapatkan uang secara halal lalu menyisihkannya sebagai tabungan guna mengentaskan mereka yang kekurangan dari pengangguran. Tidak penting pekerjaan yang membuat lawan jenis terpana, karena yang penting pekerjaan yang membuat Anda mandiri dan membantu orang tua. Tidak penting Anda kuliah dengan beasiswa, karena yang penting Anda kuliah sambil kerja, sebab lebih menguji intelektual dan mental Anda sebagai manusia.
Tidak perlu mempersoalkan mau jadi apa, karena yang perlu seberapa bertanggung jawab Anda saat meraih impian dan cita-cita. Tidak perlu bercerita tentang prestasi, karena tidak dibutuhkan oleh yang simpati dan tidak dipercayai oleh yang membenci. Yang perlu adalah seberapa maksimal kinerja, sebab hasil yang hebat akan menyebar dengan sendirinya. Tidak perlu membeberkan apakah Anda hebat, karena yang betul-betul hebat akan dicari oleh umat.
Cita-cita sejati adalah saat Anda fokus proses, bukan pada sukses, pada perjuangan, bukan pada capaian, pada gugatan, bukan pada sanjungan. Jika hidup ini adalah perjuangan, maka sejatinya tidak ada kesuksesan selama belum meninggal. Kesuksesan sesungguhnya ialah dia yang kematiannya ditangisi serta jasa dan karyanya menginspirasi dan berguna secara abadi! Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta