KDRT yang Islami

Esai, Literasi367 Dilihat

Seputar Pendidikan #32

Aldi Hidayat

Akhir-akhir ini, ustadzah Oki Setiana Dewi diduga melegalkan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) melalui penggalan ceramahnya. Hanya saja, legalitasnya atas KDRT perlu dipertanyakan. Penggalan ceramah yang polemik itu hanya mencuplik kisah seorang istri yang berusaha menutupi aib suami di hadapan orang tuanya. Dalam kisah itu, si suami sempat menampar istri hingga menangis. Meski terluka lahir, terutama batin, si istri berhasil menutup kesedihannya dengan menyebut bahwa tangisnya, lantaran rindu pada orang tua, bukan karena tengkar dengan suami. Hanya saja, beberapa netizen menilainya sebagai pembolehan KDRT. Penulis tidak akan menyinggung perihal ustadzah Oki atau penilaian netizen. Penulis hendak membaca tanggung jawab suami atas istri yang seringkali diplesetkan menjadi KDRT. Penulis akan berpatokan pada dalil Qur’ani mengenai konflik suami-istri. Al-Qur’an mengajarkan:

….وَالتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ…..

Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (durhaka), hendaklah kamu menasihati mereka, tinggalkan mereka di tempat tidur (pisah ranjang) atau (kalau perlu) pukullah mereka. (QS. Al-Nisa’ [4]: 34).

Penulis hendak mengutip penafsiran Wahbah al-Zuhayli, salah satu tokoh tafsir dan fiqih terkemuka abad ini. Dalam karyanya yang berumbul al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, al-Zuhayli memaparkan beberapa poin. Pertama, ayat di atas menyebut “Perempuan yang kalian khawatirkan durhaka”. Ini artinya, potensi keretakan rumah tangga sudah diawasi sejak semula, bukan membiarkannya, sehingga bisa menjadi bom waktu yang kapan-kapan bisa meledak. Jika demikian, itu artinya pasutri sedari awal mesti terbuka satu sama lain. Selanjutnya, terbuka dimaksud harus dalam bentuk apa?

Kedua, al-Qur’an menggunakan redaksi, “fa’izhuhunna“. Ini terdiri dari tiga kata, yaitu fa, ‘izh, wawu jam’ dan hunna. Kata ‘izh berakar dari kata wa’zhu atau maw’izhah. Wa’zhu adalah nasihat yang menimbulkan rasa takut. Mengapa mesti berupa nasihat yang menimbulkan rasa takut? Pasalnya, keretakan rumah tangga acapkali dipicu oleh keadaan di mana salah satu pihak merasa nyaman dengan sesuatu yang bukan bagian dari rumah tangga, sebutlah misal lebih suka berdandan saat ke kondangan, bukan saat di depan suami. Selain itu, relasi pasutri sedari awal sudah terbiasa dengan kenikmatan. Artinya, kedua belah pihak sudah saling menikmati satu sama lain. Dalam pada itu, bosan dan malas berpotensi menyergap. Karenanya, cara paling efektif untuk meredamnya bukan dengan menampilkan sisi lain yang lebih nikmat, karena kesan kedua belah pihak, “Saya sudah lama menikmatimu. Apa lagi yang lebih nikmat?” Sebaliknya, rasa takut selama ini kurang familiar dalam kehidupan mereka berdua. Oleh sebab itu, sesekali penting rasa takut ini hilir mudik dalam perasaan mereka, agar mereka tidak berlama-lama dalam kenikmatan yang melenakan. Selanjutnya, bagaimana jikalau si istri masih tetap dalam kenakalannya?

Ketiga, suami memilih pisah ranjang. Secara umum, ini berarti sikap cuek dan apatis terhadap istri. Pertengkaran dalam dunia pernikahan adalah keniscayaan, walaupun kedua belah pihak pada hakikatnya enggan. Karena itu, dalam keadaan di mana pertengkaran menyala, salah satu pihak harus siap menjadi “air”. Pertengkaran ibarat api. Api melawan api akan menimbulkan kobaran yang lebih parah. Karena itu, salah satu pihak mesti bersedia menjadi air pemadam. Sikap apatis dan cueknya lelaki bisa mendatangkan trauma tersendiri bagi perempuan, karena kebutuhan utama mereka ialah perhatian. Dalam konteks pertengkaran, Nabi SAW dan beberapa sahabat, seperti ‘Umar ibn al-Khaththab ra memilih diam. Sayangnya, diamnya suami saat bertengkar sering dianggap sebagai, “Suami takut istri”. Anggapan ini kian memperkeruh das sollen (yang seharusnya) menurut Islam. Mengapa sekaliber Nabi SAW dan ‘Umar memilih diam? Karena suami sudah diberi posisi yang lebih tinggi dari istri. Karena itu, guna mengimbangi keluh kesah istri, suami memilih diam. Jika suami membalas dengan api kemarahan, tentu istri akan menjadi korban. Pasalnya, marahnya lelaki rentan berupa kekerasan fisik. Sebaliknya, marahnya perempuan cenderung berupa omelan. Omelan dan kekerasan fisik tidak sepadan. Dalam pada itu, suami bisa saja menjadi diktator, bukan pemimpin. Islam tidak mengajarkan suami menjadi diktator, melainkan pemimpin. Salah satu kriteria pemimpin ialah menghadapi persoalan dengan kepala dingin alias kejernihan pikiran, bukan gejolak perasaan. Jadi, diamnya suami saat bertengkar bukan karena takut istri, namun karena takut mencederai istri. Tidak ada suami yang takut istri. Yang ada suami yang takut istrinya tidak bahagia. Diam, cuek, apatis hingga pisah ranjang adalah langkah islami guna memantapkan kepemimpinan dalam diri suami. Jikalau ini tidak mempan, bagaimana langkah selanjutnya?

Keempat, pukulan. Pukulan di sini adalah langkah paling akhir. Artinya, jikalau kenakalan istri belum bisa dibendung oleh berbagai cara, maka pukulanlah jalan terakhirnya. Sebagai pemimpin keluarga, suami sebisa mungkin menghindari kekerasan macam ini. Kendati terpaksa harus memukul, pukulan tersebut mesti menghindari kepala. Selain itu, pukulan tersebut tidak boleh menimbulkan luka dan cedera. Pukulan dimaksud hanya menimbulkan efek jera dan sebisa mungkin tidak melukai raga. Jikalau sampai berakibat luka dan cedera, maka suami wajib bertanggung jawab atasnya.

Persoalannya, bagaimana bisa suami mengendalikan emosi di saat sedang panas-panasnya? Apakah dalam konteks ini, tidak ada dispensasi? Di pihak lain, uraian di atas masih menampilkan tanggung jawab suami terhadap istri yang nakal. Bagaimana jikalau si suami yang nakal, seperti tidak bertanggung jawab akan kebutuhan ekonomi keluarga dan lain sebagainya? Penulis akan mengulasnya di esai edisi selanjutnya. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar