Kuswaidi Syafiíe
Kenapa posisi rohani keengkauan Allah Ta’ala yang disandang oleh Sang Nabi Terakhir Saw lebih tinggi daripada pencapaian-pencapaian yang diraih oleh para nabi yang lain? Itu tak lain karena pada posisi rohani keengkauan itu Dia memproklamasikan diriNya jauh lebih nyata dan lebih lengkap dibandingkan dengan posisi-posisi rohani yang lain.
Ibaratnya begini. Setiap nabi, rasul, wali, sufi dan seluruh kaum beriman, semuanya itu adalah cermin Ilahi. Artinya adalah bahwa Allah Ta’ala itu bisa menyaksikan sifat, perilaku dan realitas namaNya sendiri pada diri mereka. Karena mereka memang diberi kesanggupan untuk memantulkan semua hal tersebut. Nah, cermin yang paling bening dan paling luas itulah yang paling mulia dan paling tinggi derajatnya.
Sangat masuk akal, bukan? Hal itu tidak lain karena cinta yang menjadi penghubung antara pecinta dengan kekasih itu mutlak dibangun melalui adanya konvergensi. Tanpanya, cinta akan kehilangan argumentasi untuk eksis dan karenanya akan menjadi impossible untuk ditegakkan dan dirayakan.
Ketika konvergensi sedemikian kukuh dan arus di antara keduanya begitu kuat, maka dapat dipastikan bahwa tarikan cinta dari masing-masing keduanya itu pasti sangat hebat. Nah, hal itu telah terjadi dengan sangat sempurna antara Allah Ta’ala dengan kekasihNya. Keduanya bisa saling bercermin dalam pengertiannya yang hakiki.
Dalam konteks percintaan yang suci dan sublim seperti itu, ketika sang pecinta memanggil kekasihnya dengan sebutan engkau, sesungguhnya secara substansial dia sedang memanggil dirinya sendiri. Demikian pula sebaliknya. Akan tetapi jelas bahwa keduanya tidak sepenuhnya lebur. Antara Allah Ta’ala dengan Nabi Muhammad Saw hanya dipisahkan oleh dua garis yang dalam Al-Qur’an diistilahkan dengan dua busur panah. Itulah garis kemutlakan dan garis kenisbian yang sangat berdekatan.
Wallahu a’lamu bish-shawab.
Penulis adalah penyair, juga pengasuh PP. Maulana Rumi Sewon Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta.
1 komentar