Joshua dan Segala Harapan Kita

Esai647 Dilihat

Rusdi

Apa yang paling diingat Joshua Hutabarat beberapa detik sebelum senjata itu benar-benar menyalak dan merenggut nyawanya? Barangkali di saat itu ia mengingat kedua orangtuanya, kekasihnya atau mungkin saja ia mengingat seluruh perjalanan waktu yang dihabiskan di rumah pimpinannya itu dengan segenap pengabdian yang sudah dilakukannya sebagai sebuah kewajiban.

Atau, mungkin saja ia sempat bertanya-tanya tentang kesalahan apa yang sudah ia lakukan sampai harus ditebus dengan sepotong nyawa miliknya satu-satunya.

Apa yang paling diingat Elezer saat dirinya harus menarik pelatuk senapannya untuk mengakhiri nyawa Joshua di sebuah rumah yang justru menjadi tempat ia biasa bercengkerama dengannya? Mungkin ia mengingat selintas wajah sahabatnya itu sebelum kemudian lupa oleh perintah pimpinannya. Atau mungkin ia sempat bertanya-tanya apakah menghabisi nyawa teman sendiri merupakan pilihan paling tepat ketimbang menolak perintah pimpinan yang mungkin saja dapat mengorbankan nyawanya sendiri meskipun bisa saja perintah itu salah.

Jangan Lewatkan: Guru, Utopia

Hidup memang seringkali menyuguhkan pilihan-pilihan yang rumit, namun kelak sejarah akan memberikan jawaban-jawabannya.

Dan seperti yang kita tahu hari ini, Joshua pun pergi untuk selamanya. Sebuah kepergian yang tidak hanya meninggalkan duka dan simpati, melainkan juga perasaan geram bagi banyak orang terhadap mereka yang terlibat atas kematiannya. Ya, semua orang geram. Bukan hanya atas tindakan penembakan itu, melainkan atas berbagai alasan yang direkayasa untuk membenarkan sebuah kejahatan dan tindakan keji seorang pimpinan kepada bawahannya sendiri.

Andai benar alasan mereka bahwa Joshua melakukan sebuah kesalahan, namun nyawa tidak harus selalu menjadi alat tukar yang pantas untuk menebusnya. Dari sini kita ingat sebuah doa menggelitik dari Omar Khayam, “Tuhan, kalau Kau membalas kejahatanku dengan hukuman, lalu apa bedanya Kau dan aku.” Bagi Khayam, Tuhan jangan sampai membalas kejahatan dan kesalahan hamba-Nya dengan hukuman dan siksaan karena dalam sejarahnya manusialah yang justru gemar menyiksa sesamanya sendiri.

Ambil saja: Beasiswa BRILiaN Scholarship

Dibunuhnya Joshua adalah lembaran kesekian yang memperlihatkan bahwa terkadang sejarah manusia seperti hanya menyajikan dua pilihan; membunuh atau terbunuh, menjadi setan atau masih sebagai manusia. Dan pada tahun 2011, Fahd Djibran menulis sebuah buku, Yang Galau Yang Meracau! Buku ini menarik perhatian pembaca dan best seller terutama karena isinya yang memotret tentang ‘pudarnya’ eksistensi setan dalam kehidupan manusia. Setan galau dan meracau karena manusia terlalu kreatif merespon godaannya sehingga keburukan dan kejahatan yang dilakukan manusia jauh melampaui ekspektasi setan sendiri.

Jangan Lewatkan: Kristal Kehidupan

Dan ketika peristiwa dibunuhnya Joshua merebak dengan segenap kejanggalan-kejanggalan di dalamnya serta berikut kasus pembunuhan pengikut Habib Rezieq yang terduga dilakukan oleh dalang yang sama, kita seperti menemukan kebenaran atas asumsi jenaka Djibran dalam bukunya. Manusia terlampau maju, bukan hanya dalam menciptakan sebuah peradaban melainkan juga dalam merancang kejahatan.

Hingga detik ini, kita semua menunggu apakah kasus ini akan diselesaikan dan diputuskan dengan jujur atau akan dibiarkan lenyap secara perlahan. Dan kita menaruh harapan begitu besar kepada pemerintah, khususnya Polri, bahwa mereka masih bisa menunjukkan kebenaran entah sebesar apapun tantangan dan resiko yang harus dihadapi.

Kita belum capek untuk berharap dan tidak ingin putus asa dengan harapan-harapan akan keadilan. Belum waktunya mungkin bagi kita mengikuti kata-kata suram Neruda, “Aku kok capek jadi manusia” karena kita percaya bahwa masih ada orang baik yang mampu menjelaskan kasus ini dengan sejujur-jujurnya, memutus seadil-adilnya.

 

Rusdi, Guru MAN 4 Kebumen

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar