Seputar Pendidikan #2
Aldi Hidayat
Paternalisme masih kental dalam pendidikan kita. Paternalisme gampangnya adalah relasi atasan-bawahan tak ubahnya relasi orang tua-anak. Anak tidak boleh mengkritik orang tua, karena itu lancang dan bangkang. Pendidikan bangsa menganggap kritik sebagai hal yang tabu. Karenanya, susah ditemui perdebatan alot antara guru-murid, kiai-santri dan lain sebagainya. Mengapa bisa demikian? Karena kritik identik dengan lancang. Adakah ini memang diajarkan oleh Islam?
Hadis dan literatur klasik memang sesak oleh pesan dan wejangan untuk hormat pada yang lebih tua, apalagi orang tua dan guru. Salah satu Hadis yang viral berbunyi:
ليس منا من لم يوقر كبيرنا ولم يرحم صغيرنا
Bukanlah golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan tidak menyayangi yang lebih muda.
Hadis ini–tidak berlebihan diucapkan–mewakili sifat dasar manusia, yakni kesadaran akan keharusan dan kebutuhan menghormati-dihormati dan menyayangi-disayangi. Hanya saja, relevankah pemaknaan hormat sebagai anti kritik terhadap atasan, baik atasan pendidikan, politik, agama, budaya maupun lain sebagainya?
Hadis lain berbunyi:
الإنسان محل الخطأ والنسيان
Manusia adalah tempat salah dan lupa.
Jika manusia pasti pernah salah dan lupa, maka dengan sendirinya kritik harus ada tanpa pandang bulu. Artinya, orang tua dan guru pun boleh dikritik (dengan tetap bertatakrama), apalagi politisi. Jika kritik terhadap tiga pihak tadi dianggap lancang, maka akan terjadi dua resiko besar. Pertama, kesalahan mereka kita benarkan. Kedua, kebenaran dari pihak lain tersingkirkan. Jika Allah dan Rasul-Nya menduduki peringkat pertama dalam penghormatan, itu artinya kita harus kritis terhadap siapa saja, sekalipun atasan, dalam rangka membedakan mana kebenaran hakiki yang disimbolkan dengan Allah dan Rasul-Nya dan mana hasrat atasan yang dipoles layaknya kebenaran.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Sekolah demi Uang adalah Keharusan
Di satu sisi, kritik adakalanya diidentikkan dengan caci maki. Kritik adalah koreksi, sedangkan caci maki adalah emosi. Kritik adalah argumen, sedangkan caci maki adalah sentimen. Kritik adalah meluruskan, sedangkan caci maki adalah menjatuhkan. Kritik berdasarkan akal sehat, sementara caci maki berlandaskan emosi dan hasrat. Hadis Nabi merangkumnya:
الكريم يصلح واللئيم يفضح
Orang mulia memperbaiki (meluruskan), sedang orang hina mempermalukan.
Tidak jarang orang berargumen, “Ngapain ngurus orang lain? Urus saja diri Anda!” Argumen ini benar, tetapi salah, jika dipukul rata kepada semua situasi dan kondisi. Urusan privat tidak perlu dicampurtangani, sedang urusan publik harus dan butuh diintervensi. Mengapa? Karena urusan publik adalah urusan bersama. Siapa pun, bahkan bajingan sekalipun, berhak menyuarakan kritik mengenai urusan publik, entah di sekolah, kampus, masyarakat atau lain sebagainya. Jika kita meyakini kebenaran hanya milik Tuhan, itu artinya Tuhan membagi-bagikan kebenaran kepada siapa saja agar tidak ada satu orang yang dipertuhankan. Bukankah sekurus-kurusnya ikan ada dagingnya dan segemuk-gemuknya ikan ada tulangnya? Bukankah seburuk-buruknya manusia ada baiknya dan sebaik-baiknya manusia ada buruknya? Lalu mengapa kita anti terhadap kritik dari bawahan, orang awam, rakyat jelata, padahal Islam mengajarkan rendah hati yang berarti sadar betapa kebenaran Tuhan ada di mana, kapan, apa dan siapa saja?
Ada pula argumen, “Saya masih buruk. Ngapain saya kritik orang lain?” Selama itu urusan privat, ada benarnya argumen ini dipakai. Akan tetapi, jika itu urusan publik, maka argumen ini sudah basi. Menjadi manusia baik bukan berarti hidup sendiri, menghindar dari hingar-bingar dan lain-lain. Menjadi manusia baik artinya berbaur dengan yang lain, memberi jasa dan karya untuk sesama. Jika berbaur, maka konsekuensi yang niscaya adalah kritik. Artinya, kritik adalah unsur paten dalam kehidupan bersama. Tabu terhadap kritik sama seperti orang ingin raganya tidak perlu ginjal, padahal ginjal adalah unsur paten dalam raga. Mau melepas sesuatu yang sudah menjadi kodratnya.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Info Kursus Jogja
Pendidikan kita selama ini cenderung monolog, bukan dialog. Kalaupun ada dialog, itu sebatas bumbu penyedap. Guru masih mendominasi intelektualitas. Susah–jika enggan disebut mustahil–ditemukan murid mempertanyakan materi kepada guru hingga ke akar-akarnya. Itu karena tradisi paternalistik masih kental. Sebagai perlawanan atas sistem pendidikan paternal, Paulo Freire, pemikir Brazil mencetuskan conscientizacao, yaitu pendidikan pembebasan. Pendidikan ini menitikberatkan dialog sebagai poros utama pendidikan.
Jika ini diterapkan secara serius, maka akan ada dua tantangan sekaligus harapan. Pertama, guru akan tertantang belajar lebih serius, tidak sekadar baca LKS. Dari situ, muncul harapan untuk mendalami ilmu lebih serius. Dari situ pula, tradisi literasi yang begitu langka di Indonesia bisa dihidupkan. Kedua, murid akan tertantang untuk rajin belajar, karena diberi kesempatan untuk aktif, bukan pasif (sekadar mendengar, planga-plongo di kelas dan lain-lain). Dengan begitu, lulusan sekolah diharapkan tidak lagi mengambang, yakni tahu, namun sebatas permukaan.
Sebagai penutup tulisan, Rocky Gerung berkata:
“Jadi, sistem pendidikan kita mau menghindari ketajaman argumentasi. Seolah-olah menganggap kalau tajam argumentasi, itu tidak sopan. Sekarang saya terangkan, sopan santun itu bahasa tubuh. Pikiran tidak memerlukan sopan santun. Pikiran yang disopan-santukan dalam politik adalah kemunafikan.”
Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakartta
2 komentar