Sajak-sajak ELL Mintorogo

Literasi, Puisi729 Dilihat

Wahai kau yang kurindukan

Wahai cinta yang hadir dari  berpuluh ribu tahun yang lalu

Tataplah mataku yang sepi

Dan dengarkan detak jantungku yang sekarat dalam penantian yang dingin ini

Lihatelah laut laut yang tertidur itu

Maka tak akan ada gelombang dan angin yang memberikan airmata pada kita;—

Sebelum kau datang

 

Oh tidakkah kau dengar jeritku yang keras

Rinduku telah membatu

Kisah-kisah tak memberiku kemanisan yang pernah kucicipi bersamamu

 

Aku menangis, dengan tangisan yang tak pernah terdengar oleh langit dan bumi

Sehingga pohon-pohon kurma di tepi kabahpun ikut membisu

Nafas bumipun, gelap dan sesak, semua memanggilmu, pun mataku yang letih dengan kerinduan demi kerinduanku padamu

 

Datanglah yaa datang …

singahlah sejenak wahai tamu, cintaku dari berpuluh ribu tahun yang yang lalu

Sebelum akhirnya kau kembali pergi …

 

Wahai cintaku yang dingin

 

Aku Telah Tamat Jadi Penyair

Manisku

Aku ingin bercerita padamu tentang batu

Batu yang di belah dan dihancurkan

Begitulah bunyi puisiku kini

 

Suara suara kekalahan

Seperti jerit batu yang pasrah pada nasibnya

 

Malam ini  tak akan ada lagi ciuman untukmu

Sebab bibirku telah menjadi batu

Lupakan tentang pelukan

Sebab tak akan ada lagi detak jantungku yang hampir copot

Ketika payudaramu meledakkan isi dadaku

 

Aku tak lagi bisa menulis puisi

Sebab kata kata telah menjadi batu

Pun tanah, lautan, negara dan undang undang kita

Telah menjadi batu

Dan kaupun manisku

Telah menjadi batu

 

Aku telah tamat menjadi penyair

 

Dan di detak mimpiku yang masih tersisa

Kubayangkan negriku seperti nyanyian dikamar kecilku tempo dolo

 

Seperti istana raja yang indah

Ibuku memasukkan segalanya

Akupun jadi lupa segalanya

Oh ibu

Ini sorga atau dunia

Oh Negriku

 

Ibu

Ibu adalah padang-padang mimpi

Tentang pengembaraan dogeng-dogeng masa kecil

Alif, ba, ta, tsa — yak, ku

Dan seluruh luka dan tawa perjalanan ku mengenal Allah

 

Ibu adalah sujud-sujud suriku

Ibulah itu, kesunyian abadi dalam huru hara kalbuku

Dan ibulah, getir fantasi

Dan kemabukkan-kemabukanku akan Nur Muhammad

 

Di Sepanjang Jalan Luka

Dispanjang jalan luka, masih kurintihkan kesepian dan kenyerian

Dan rasa cemas, terus membayangkan ketakutan ; Puisi dan nama-nama menjelmakan dendam

Aku diamuk diri sendiri, ketika gunung-gunung berlari menghadangku, oh, aroma rindu dari ladangladang mimpi remajaku, seperti bibir kembang desa yang kugandrungi.

Terus berbisik

 

“Bahwa luka tak harus di bayar dengar Darah”

Agar kau tak sia-sia mengenal  cinta

 

Seberapa Hari Ingin Kau Miliki

Seberapa hari ingin kau miliki

Seberapa luka ingin kau tanggung

Pelayaran demi pelayaran

Laut demi laut , Oh nyanyi pengembaraan yang letih

Tak hanya memutihkan rambutmu

Tetapi juga matamu yang kian merabun

 

Seberapa jauh jarak kematian itu

Kala suara adzan terakhir terdengar di subuh buta

Dengus nafas bumi yang hilang

Seberapa tamat riwayat

Kala puisi merajah tubuhmu

 

Oh Allah yang Maha pengasih, lagi Maha Penyayang

Hadirkanlah wajah kekasihku Rosulluloh Muhammad

Agar kepedihan di stiap inchi demi inchiil tubuhku

Sangguh kutanggung

 

Sajak ELL Mintorogo2

*) ELL Mintorogo, Alumni UIN Sunan Kalijaga, penyair dari kota Gudek Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar