Wahai kau yang kurindukan
Wahai cinta yang hadir dari berpuluh ribu tahun yang lalu
Tataplah mataku yang sepi
Dan dengarkan detak jantungku yang sekarat dalam penantian yang dingin ini
Lihatelah laut laut yang tertidur itu
Maka tak akan ada gelombang dan angin yang memberikan airmata pada kita;—
Sebelum kau datang
Oh tidakkah kau dengar jeritku yang keras
Rinduku telah membatu
Kisah-kisah tak memberiku kemanisan yang pernah kucicipi bersamamu
Aku menangis, dengan tangisan yang tak pernah terdengar oleh langit dan bumi
Sehingga pohon-pohon kurma di tepi kabahpun ikut membisu
Nafas bumipun, gelap dan sesak, semua memanggilmu, pun mataku yang letih dengan kerinduan demi kerinduanku padamu
Datanglah yaa datang …
singahlah sejenak wahai tamu, cintaku dari berpuluh ribu tahun yang yang lalu
Sebelum akhirnya kau kembali pergi …
Wahai cintaku yang dingin
Aku Telah Tamat Jadi Penyair
Manisku
Aku ingin bercerita padamu tentang batu
Batu yang di belah dan dihancurkan
Begitulah bunyi puisiku kini
Suara suara kekalahan
Seperti jerit batu yang pasrah pada nasibnya
Malam ini tak akan ada lagi ciuman untukmu
Sebab bibirku telah menjadi batu
Lupakan tentang pelukan
Sebab tak akan ada lagi detak jantungku yang hampir copot
Ketika payudaramu meledakkan isi dadaku
Aku tak lagi bisa menulis puisi
Sebab kata kata telah menjadi batu
Pun tanah, lautan, negara dan undang undang kita
Telah menjadi batu
Dan kaupun manisku
Telah menjadi batu
Aku telah tamat menjadi penyair
Dan di detak mimpiku yang masih tersisa
Kubayangkan negriku seperti nyanyian dikamar kecilku tempo dolo
Seperti istana raja yang indah
Ibuku memasukkan segalanya
Akupun jadi lupa segalanya
Oh ibu
Ini sorga atau dunia
Oh Negriku
Ibu
Ibu adalah padang-padang mimpi
Tentang pengembaraan dogeng-dogeng masa kecil
Alif, ba, ta, tsa — yak, ku
Dan seluruh luka dan tawa perjalanan ku mengenal Allah
Ibu adalah sujud-sujud suriku
Ibulah itu, kesunyian abadi dalam huru hara kalbuku
Dan ibulah, getir fantasi
Dan kemabukkan-kemabukanku akan Nur Muhammad
Di Sepanjang Jalan Luka
Dispanjang jalan luka, masih kurintihkan kesepian dan kenyerian
Dan rasa cemas, terus membayangkan ketakutan ; Puisi dan nama-nama menjelmakan dendam
Aku diamuk diri sendiri, ketika gunung-gunung berlari menghadangku, oh, aroma rindu dari ladangladang mimpi remajaku, seperti bibir kembang desa yang kugandrungi.
Terus berbisik
“Bahwa luka tak harus di bayar dengar Darah”
Agar kau tak sia-sia mengenal cinta
Seberapa Hari Ingin Kau Miliki
Seberapa hari ingin kau miliki
Seberapa luka ingin kau tanggung
Pelayaran demi pelayaran
Laut demi laut , Oh nyanyi pengembaraan yang letih
Tak hanya memutihkan rambutmu
Tetapi juga matamu yang kian merabun
Seberapa jauh jarak kematian itu
Kala suara adzan terakhir terdengar di subuh buta
Dengus nafas bumi yang hilang
Seberapa tamat riwayat
Kala puisi merajah tubuhmu
Oh Allah yang Maha pengasih, lagi Maha Penyayang
Hadirkanlah wajah kekasihku Rosulluloh Muhammad
Agar kepedihan di stiap inchi demi inchiil tubuhku
Sangguh kutanggung
*) ELL Mintorogo, Alumni UIN Sunan Kalijaga, penyair dari kota Gudek Yogyakarta.
1 komentar