
Maghfur M. Ramin
Waktu nyantri dulu, saya diajari tiga hal: mun dadi santreh, ngakan pakenyang, tedung pangiddah, ben ajar pakorang — kalau jadi santri: makan yang kenyang, tidur yang pulas, dan belajar yang kurang. Tiga rahasia agar ilmu terus mengalir tanpa merasa sudah sampai.
Wejangan ini terdengar paradoksal bagi dunia belajar, namun sejatinya selaras dengan makna daras itu sendiri — belajar, mempelajari, dan menyelidiki sesuatu dengan sungguh-sungguh. Jika kita wedarkan, ada mutiara: makan secukupnya dan merasa kenyang agar tubuh kuat dan siap menampung ilmu; tidur dengan pulas, sebab letih belajar itu mulia; dan belajar selalu merasa kurang, seolah belum tahu apa-apa, menjadikan proses belajar tak pernah selesai.
Pondok tempat kami belajar sederhana: dinding kayu, lantai semen, dan udara dini hari yang kadang menusuk tulang. Namun dari ruang-ruang seperti itulah para santri belajar sikap cukup, tentang bagaimana ilmu bukan hanya dari kitab, tapi juga dari laku keseharian — berbagi nasi di dapur, menyapu halaman, ngecor, roan, tidur tak beralas, hingga antri mengular depan kamar mandi.
Kenyang
Makan secukupnya dan merasa kenyang adalah bagian dari kesiapan diri menimba ilmu. Makan bukan sekadar urusan perut, melainkan cara manusia (baca: santri) menjaga kehidupan agar tetap bisa berpikir, menyelidiki, dan mencipta. Tidak berlebihan dalam makan berarti menghormati tubuh sebagai wadah ilmu.
Bagi santri, makan adalah laku syukur; di setiap suapan tersimpan doa, di setiap kebersamaan teranyam ikatan. Di ruang yang sempit, sepiring nasi kadang dibagi empat. Tidak ada yang merasa kekurangan, karena yang dibagi bukan sekadar nasi, tapi juga keberkahan. Melalui Ihya ‘Ulum al-Din, Al-Ghazali mengingatkan bahwa menuntut ilmu membutuhkan tubuh yang sehat, makanan yang halal dan tidak berlebihan, serta hati yang bersih dari kesibukan dunia. Perut yang terlalu kenyang mengeraskan hati dan melemahkan daya pikir.
Hal ini ditegaskan oleh Maurice Merleau-Ponty, bahwa kesadaran manusia selalu melekat pada tubuh — the body is our general medium for having a world. Artinya, tubuh bukan sekadar alat, melainkan bagian dari proses memahami realitas. Maka, menjaga keseimbangan tubuh berarti menjaga kejernihan pikiran. Kita selidiki tubuh kita sendiri, sebab perhatian adalah bentuk tertinggi kemurahan hati. Perhatian penuh hanya mungkin muncul ketika tubuh dan mental balance.
Kenyang yang benar bukan soal isi perut, melainkan kesiapan batin untuk menerima. Dalam belajar, menerima adalah puncak keaktifan. Orang yang tahu kapan berhenti mengunyah juga paham kapan harus berhenti bicara dan mulai mendengar. Dan mendengar, sering kali, adalah pintu pertama menuju pemahaman.
Pulas
Tidur dengan pulas, sebab letih belajar itu mulia. Dalam tradisi santri, tidur bukan bentuk kemalasan, tetapi tanda tubuh yang telah bekerja keras menuntut ilmu. Pulas bukan berarti lalai, melainkan istirahat yang tulus — buah dari semangat yang sudah dicurahkan sepenuhnya. Saking semangatnya belajar, lelah pun menjadi bagian dari ibadah, dan tidur pun terasa ringan. Tapi juga kadang terjadi, santri “membuat peta” di atas kitabnya saat kantuk melanda.
Dalam pandangan para pecinta kebijaksanaan, tidur memiliki rahasia yang sublim. Bagi Martin Heidegger, keberadaan manusia ditandai oleh momen “menarik diri dari hiruk pikuk dunia” — dan tidur adalah salah satu cara mengalaminya. Dalam tidur, manusia kembali pada dirinya yang paling jujur, tanpa topeng peran sosial, tanpa keinginan berlebihan selain ingin belajar lebih.
Menurut sang hujjatul Islam itu, tidur yang dilakukan dengan niat memulihkan tenaga untuk ibadah dan belajar adalah bagian dari kebaikan. Artinya, tidur pun bisa menjadi amal, sejauh ia menjadi sarana menyiapkan raga dan jiwa agar kembali kuat menyerap ilmu. Sains modern pun menguatkan hal tersebut. Matthew Walker dalam Why We Sleep menjelaskan bahwa otak justru aktif saat kita tidur — ia memilah, mengendapkan, dan menyusun ulang ingatan. Dengan kata lain, tidur merupakan bagian dari proses belajar itu sendiri.
Tidur yang pulas bukan lari dari tanggung jawab, melainkan bentuk penerimaan. Kelelahan yang bermutu tidak terletak pada lamanya waktu belajar, tetapi pada keikhlasan mengerahkan seluruh daya. Ada kehormatan dalam letih yang tulus — letih yang lahir dari upaya mencari ilmu, bukan dari mengejar pujian. Lelah lillah yang dibangkitkan rasa kurang tahu.
Kurang
Belajar yang selalu merasa kurang, seolah belum tahu apa-apa, mengantarkan pada satu titik: kuriositas. Inilah inti dari segalanya. Kesadaran kuat untuk selalu menyelidiki adalah gerbang yang sesungguhnya dalam membuka dan menembus batas-batas pengetahuan.
Di pesantren, sikap ini tumbuh dari keseharian. Santri membaca kitab bersanding kamus di bawah cahaya redup, mendengarkan penjelasan kiai dengan kepala menunduk, dan tak segan mencatat kata demi kata seolah setiap huruf bisa jadi jalan keselamatan. Tidak ada yang merasa paling tahu, sebab yang paling alim pun masih menyebut dirinya: ma ziltu thaliban — pencari ilmu.
Sokrates, dalam dialog-dialog yang diabadikan Plato, berulang kali menegaskan bahwa kebijaksanaan sejati dimulai dari pengakuan akan ketidaktahuan. Dari sanalah tumbuh kerendahan hati intelektual — sikap yang membuat seseorang terus belajar tanpa merasa paling benar.
Berbeda dengan mereka yang merasa sudah cukup, orang yang mengakui ketidaktahuannya justru tak pernah berhenti bergerak. Ia seperti air yang terus mengalir mencari tempat lebih rendah; bukan karena kalah, tapi karena ngerti bahwa hanya di tempat rendah air bisa menyejukkan banyak hal.
Di dunia digital yang serba cepat, rasa “sudah tahu” menjadi jebakan baru. Kita membaca sedikit, lalu merasa paham semuanya. Kita menonton real video, lalu merasa tak perlu menyelami isi buku. Padahal, belajar bukan soal kecepatan, melainkan kedalaman. Ilmu tidak tumbuh dari gesitnya jempol, tetapi dari sabarnya hati.
Belajar seolah belum tahu apa-apa berarti merawat kuriositas tetap hidup. Albert Einstein pernah menegaskan, the more I learn, the more I realize how much I don’t know. Semakin dalam seseorang menimba ilmu, semakin ia menyadari luasnya samudra ketidaktahuan. Dari kesadaran itulah lahir kebijaksanaan.
Mari—menjadi santri yang selalu lapar, selalu lelah, dan kian haus akan ilmu. Sebab ia bukan target yang dituju, melainkan jalan yang tak bertepi. Dan di ujung segala pencarian, yang tersisa bukan pengetahuan, melainkan kerendahan hati untuk terus daras.












