Seputar Pendidikan #8
Aldi Hidayat
Tujuan pendidikan dengan berkaca pada psikologi perempuan ialah mendewasakan narsisme. Demikian satu di antara bahasan esai sebelumnya. Narsisme perempuan identik dengan menampilkan keindahan badan. Mungkinkah mengalihkan narsisme perempuan dari pamer kecantikan menuju pamer kecerdasan dan kepribadian? Tentu mungkin. Akan tetapi, seberapa besar kemungkinan itu? Pada era yang kapitalis-hedonis ini, kemungkinan itu sah dibilang kecil. Meski begitu, kita tak kan kehabisan stok argumen dalam mewujudkan pendewasaan itu.
Narsisme pada hakikatnya adalah cinta diri sendiri. Konsekuensinya, perempuan berpenampilan menawan tidak lain kecuali untuk menuai kasih sayang. Karenanya, tidak berlebihan dikatakan bahwa semua perempuan pasti enggan dijadikan objek seksual, apalagi korban pelecehan seksual. Sekarang timbul pertanyaan, mana lebih potensial dalam menyerap kasih sayang antara pamer kecantikan versus pamer kecerdasan dan kepribadian?
Pikiran lelaki tentang perempuan cenderung mengarah pada seksualitas. Karena itu, jauh-jauh hari Nabi SAW menyebut faktor lelaki menikah adalah kecantikan, kekayaan, leluhur, baru kemudian agama. Hadits ini kerap diartikan secara normatif. Artinya, kalau mau cari pasangan, cari yang cantik dulu. Jika tidak, lihat dulu seberapa sejahtera keluarganya. Demikian seterusnya. Bagi penulis, Hadis ini tidak bersifat normatif, melainkan fenomenologis. Maksudnya, Nabi SAW mau menjelaskan bahwa fenomena perasaan lelaki tentang perempuan didominasi oleh seksualitas. Tak ayal, lelaki pasti mencari yang pas secara paras. Pamer kecantikan sangat berpotensi mengundang hasrat dan birahi, bukan kasih sayang dan cinta suci. Apakah ini berarti mendiskriminasi perempuan yang gemar pamer kecantikan? Penulis akan bahas secara perlahan.
Jangan Lewatkan Baca Esai Seputar Pendidikan: Imbangi Dominasi Lelaki Lewat Edukasi
Apabila perempuan memang narsis; cinta diri sendiri, maka pasti dia berharap kasih sayang, bukan dijadikan objek seksual belaka. Apalagi, kriteria utama nyaris–jika enggan disebut semua–perempuan tentang pasangan idaman ialah perhatian dan tanggung jawab. Perhatian macam apa yang dibutuhkan perempuan? Tentu saja perhatian yang bersifat menyayangi, bukan sekadar menikmati. Bagaimana jika yang didapat adalah perhatian dalam bentuk menikmati? Sudah menjadi hukum alam bahwa apa dan siapa saja pasti akan mencapai titik bosan. Secantik apa pun perempuan tentu akan membosankan, apabila sudah menjadi kepunyaan dalam jangka waktu yang panjang. Ketika sudah bosan, maka langkah selanjutnya ialah mencari sensasi baru yang lebih memuaskan. Itu berarti perhatian dalam bentuk menikmati rentan membuat lelaki memperlakukan perempuan tak ubahnya pepatah, “Habis manis, sepah dibuang.” Artinya, perhatian macam ini kelebihan hasrat, kekurangan setia.
Pasalnya, yang dicari adalah senang. Senang itu satu padu dengan candu. Artinya, harus selalu ada yang baru agar tidak membawa malas, bosan dan jenuh. Akan tetapi, kebersamaan dalam jangka waktu yang lama tidak menjamin sensasi yang selalu baru. Di situlah, perpecahan hubungan harus ditangani. Apa bahan bakar guna menanggulanginya? Di sinilah, setia dibutuhkan. Dapatkah setia didapat dari nafsu belaka? Bisa saja, namun sangat kecil kemungkinannya atau sama sekali tidak ada. Itu karena nafsu selalu menuntut hal baru yang harus lebih nikmat dari sebelumnya.
Jangan Lewatkan: Info-info Lomba Nasional
Pertanyaan berikutnya, mengapa Nabi mengakhirkan dan memprioritaskan kriteria agama sebagai pemicu pernikahan? Ini menarik diulas lebih panjang. Pertama, manusia–meminjam gagasan Martin Heidegger, filsuf Jerman–sangat sering pra-reflektif. Artinya, manusia menjalani kehidupan secara mengalir saja tanpa penalaran lebih dalam. Mengalir saja berarti santai-santai saja. Bukankah rata-rata manusia ingin mudah dalam setiap urusannya, bukan mumet-mumet mengernyitkan dahi? Karena sifat ini begitu dominan, maka wajar, jikalau manusia malas berpikir, tatkala dihadapkan pada kenikmatan, sehingga kriteria agama secara fenomenologis berada di posisi terakhir. Akhirnya, yang menjadi prioritas utama lelaki atas perempuan ialah kecantikannya. Di sisi lain, hidup ini terus memaksa kita untuk tidak larut dalam zona santai. Pasalnya, santai rawan membuat kita abai dan lalai akan penentu kebahagiaan yang sesungguhnya. Itulah mengapa Nabi mewanti-wanti kriteria pasangan yang utama adalah agama, yakni memilih pasangan berdasarkan pertimbangan akal sehat, bukan berdasarkan pertimbangan birahi dan hasrat.
Kedua, pamer kecantikan satu sisi memang mendatangkan kenikmatan. Akan tetapi, adakah ia menjamin kebahagiaan? Yuval Noah Harari lewat bukunya, Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, melansir laporan penelitian bahwa ternyata kecantikan dan ketampanan hanya menyumbang 5% bagi kebahagiaan pasangan. 95% ditentukan oleh sikap masing-masing pihak yang menjalin hubungan. Sikap itu adalah nama lain dari agama. Mengapa? Karena agama bukan hanya urusan ritual saja. Lebih dari itu, agama adalah bagaimana Anda memperlakukan manusia, khususnya pasangan Anda. Kira-kira apa bekal dalam membangun agama? Apakah kecantikan atau kecerdasan plus kepribadian? Inilah salah satu rahasia mengapa Islam mengharuskan perempuan menjaga penampilan. Bukan dalam rangka mengekangnya, tetapi untuk menyadarkan bahwa kasih sayang, selaku kebutuhan utama perempuan lebih efektif diperoleh melalui make up kepribadian tinimbang make up kecantikan. Tak heran, Gus Miftah berpesan, “Cantiknya wajahmu akan membuat lelaki menatap, tapi cantiknya akhlakmu akan membuat lelaki menetap.”
Cari Info Lowongan Kerja? Ini Kesempatan Loker Jogja
Apakah perempuan yang tidak berhijab layak dicacimaki, dicela dan didiskriminasi? Tunggu dulu….! Kalau Islam disebut agama rahmat, maka terhadap perempuan yang tidak berhijab, bukan sentimen yang digunakan, melainkan argumen. Dakwah itu mesti menyentuh hati, bukan menyulut emosi. Selama ini, keislaman kita surplus dalil. Pokoknya Islam bilang begini, maka harus diikuti! Tidak ada pilihan lagi! Akan tetapi, bukankah Islam agama fitrah? Salah satu syarat fitrah ialah masuk akal dan menyentuh perasaan. Bagaimana bisa masuk akal, apalagi menyentuh perasaan, jika penyampaiannya dengan metode, “Pokoknya… pokoknya…”? Apabila Islam menegaskan diri sebagai agama fitrah, maka muslim, selaku cerminan Islam, mau tidak mau harus terbuka. Terhadap pemikiran luar yang terkesan mengancam, sikap yang dikedepankan bukan sedikit-sedikit haram. Hal itu justru mencoreng nama baik Islam. Sikap yang manusiawi ialah sportif. Apabila ada gagasan yang menurut kita mengidap kelainan, maka hadapi pula dengan gagasan.
Setelah mengulas rasionalitas make up kepribadian, kira-kira apa bantahan yang berpeluang datang? Kasus pelecehan seksual barangkali bantahan yang akurat. Bukankah akhir-akhir ini pelecehan seksual banyak menimpa perempuan berhijab? Itu kan berarti urusan penampilan terserah perempuan? Suka-suka perempuan lah mau pamer kecantikan atau tidak. Masalahnya bukan pada penampilan, tetapi pada pikiran lelaki yang suka melayang. Benar kan? Kira-kira bagaimana menjawab bantahan ini? Akhirnya, esai bersambung ke episode berikutnya. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta
1 komentar