
ejogja.ID | Kamis malam, 28 Agustus 2025. Jalanan di sekitar Gedung DPR/MPR, Jakarta, dipenuhi hiruk-pikuk yang tak pernah benar-benar reda sejak sore. Ribuan orang turun ke jalan menuntut pencabutan RUU yang dianggap mengancam hak-hak warga. Di antara teriakan massa, sirene aparat, dan lampu berkelip kendaraan taktis, seorang anak muda berjaket hijau menyelinap dengan motornya.
Jangan Lewati: Awan Panas di Senayan: Saat Massa Menantang Gedung Parlemen
Namanya Affan Kurniawan, 21 tahun. Ia bukan demonstran. Ia hanyalah pengemudi ojek online yang sedang mengantarkan pesanan. Riwayatnya berakhir di situ juga.
Saat kerumunan ricuh, kendaraan taktis Brimob jenis Barracuda melaju kencang. Affan terjatuh ke aspal. Bukannya berhenti, rantis itu terus bergulir. Roda baja seberat puluhan ton menggiling tubuhnya. Dalam hitungan jam, nyawa Affan melayang walau sempat dibawa ke RSCM. “Kami sudah teriak-teriak, ‘Berhenti! Ada orang!’ Tapi kendaraan itu tetap jalan. Seolah-olah nyawa manusia bukan apa-apa,” kata seorang mahasiswa saksi mata.
Wajah di Balik Jaket Hijau
Di rumah duka, suasana berkabung tak kunjung reda. Helm dan tas hijau Affan kini tergeletak di sudut ruang tamu. Ibunya duduk terdiam, menatap kosong pada peralatan kerja anak sulungnya itu. “Dia selalu bilang, ‘Mak, sabar sebentar lagi. Kalau kerja keras, nanti bisa bahagiain keluarga,’” tutur ibunya.
Jangan Lewati: Tewas! Dua Nyawa Melayang: Demo Rakyat Pati Berbalas Duka
Affan bukan hanya tulang punggung keluarga, tapi juga anak yang berpendidikan. Ia menamatkan SMA di Jakarta, lalu melanjutkan kuliah D3 Manajemen Informatika di sebuah perguruan tinggi swasta. Meski sempat menginjak semester akhir, ia memilih berhenti karena harus membantu ekonomi rumah tangga. “Dia sering bilang sebenarnya pengen lanjut S1, tapi keadaan tidak memungkinkan. Terakhir, dia tetap rajin belajar komputer otodidak dan mengajarkan adik-adiknya,” kata seorang tetangga.
Bagi Affan, menjadi ojol adalah jalan rezeki yang sederhana tapi bermakna. Ia bekerja lebih dari 12 jam sehari, berkeliling Jakarta dengan motor tuanya. Hidupnya adalah kisah banyak anak muda kelas pekerja di ibu kota: berjibaku dengan kemacetan, hujan, panas, dan aplikasi digital yang kadang tak berpihak.
Negara yang Berhutang
Kematian Affan memicu gelombang kemarahan. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo buru-buru muncul di hadapan kamera. “Kami sangat berduka dan memohon maaf atas insiden ini. Saya telah memerintahkan Propam untuk memproses kasus ini secara terbuka dan transparan. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi,” ujarnya.
Jangan Lewati: Maknyus! Profil 5 Kampus NU Terakreditasi Unggul BAN-PT
Namun publik skeptis. Terlalu banyak kasus kekerasan aparat yang berakhir tanpa kejelasan. Dari Trisakti 1998, Semanggi, hingga operasi keamanan di Papua—semua meninggalkan jejak luka.
Bagi sebagian orang, Barracuda yang melindas Affan bukan sekadar kendaraan taktis. Ia simbol: betapa mudahnya negara melupakan rakyat kecil ketika berhadapan dengan kekuasaan.
Suara yang Menolak Senyap
Koalisi Masyarakat Sipil menyebut tragedi Affan sebagai lonceng kematian demokrasi. “Kematian Affan adalah bukti brutalitas aparat yang harus segera dihentikan. Polisi ada untuk melindungi rakyat, bukan membunuh rakyat. Negara harus bertanggung jawab,” kata seorang aktivis HAM.
Kompolnas berjanji mengawasi penyidikan. Kami ingin memastikan proses hukum berjalan adil dan transparan. Tidak boleh ada impunitas,” ujar anggota Kompolnas, Poengky Indarti.
Jangan Lewati:Anies: Ngalah, Ngalih, Ngamuk
Namun janji itu tak meredakan duka keluarga. Ayah Affan berkata lirih: Anak saya kerja untuk hidup, bukan untuk mati di jalan. Kalau ini bisa terjadi pada Affan, besok bisa siapa saja.
Solidaritas Virtual
Kematian Affan membelah ruang digital. Tagar #JusticeForAffan dan #BarracudaMaut menembus trending topic X (Twitter). Ribuan unggahan menyuarakan amarah, simpati, dan solidaritas.
“Dia bukan demonstran, dia hanya cari nafkah. Ini bukan kecelakaan biasa, ini tragedi kemanusiaan,” tulis seorang pengguna X.
Komunitas ojol pun bereaksi. Di Instagram, tersebar foto helm hijau berdampingan dengan lilin digital. Grup WhatsApp ojol menggalang doa bersama, bahkan ada yang membatalkan orderan massal sebagai bentuk protes simbolis. Di TikTok, video Affan terakhir kali mengendarai motor dengan jaket hijau viral, ditonton jutaan kali.
Seorang ojol senior menulis di Facebook: Hari ini Affan, besok bisa kami. Kami ini hanya pengemudi, bukan musuh negara.
Jejak Panjang Kekerasan Negara
Sejarah mencatat, bentrokan aparat dan warga sipil bukanlah hal baru di republik ini. Dari Malari 1974, Mei 1998, hingga Reformasi 2019—setiap gelombang protes selalu meninggalkan korban. Kini Affan masuk dalam daftar panjang itu, meski ia bahkan bukan demonstran. Barracuda bukan sekadar kendaraan, ia simbol represif. Dan ketika simbol itu melindas seorang pekerja yang bahkan bukan demonstran, maka negara sedang menciptakan musuh baru: rakyatnya sendiri.
Jangan Lewati: Mahasiswi Meme Jokowi-Prabowo ‘Ciuman’ Ditangkap
Dari Jalan ke Kenangan
Hari ini, di rumah sederhana Affan, keluarga masih menunggu jawaban: apakah kematian anak mereka akan benar-benar diusut, atau sekadar catatan kasus yang perlahan hilang dari pemberitaan?
Helm dan tas hijau itu kini tinggal kenangan. Dari jalan raya, Affan telah berpulang.
Namun kisahnya tak berhenti di situ. Di jalanan dan dunia maya, namanya terus bergema. Ia menjadi simbol betapa rapuhnya nyawa rakyat kecil di hadapan roda negara yang terus melaju tanpa rem.
Affan mungkin hanyalah satu dari ribuan ojol di Jakarta. Tetapi kematiannya bukan sekadar kabar duka. Ia adalah cermin: betapa tipisnya batas antara mencari nafkah dan kehilangan nyawa di negeri yang masih belajar menghargai demokrasi dan kemanusiaan.
Pasang iklan di ejogja.ID, klik: Pasang Iklan