
ejogja.ID | Senayan bukan sekadar kawasan politik. Ia berubah menjadi panggung besar pertarungan suara: suara rakyat yang bergemuruh, dan suara kekuasaan yang mencoba menahannya dengan semburan air dan asap.
Langit Jakarta yang Berat
Pukul 12.40 WIB, suasana di depan Gedung DPR/MPR RI mulai menegang, Senin, 25 Agustus 2025. Udara panas, diselingi mendung tipis, seakan mengabarkan badai akan datang. Di sepanjang Jalan Gerbang Pemuda hingga depan gerbang utama, ribuan massa memadati aspal. Mayoritas mahasiswa, sebagian pelajar, ada juga ojek online yang ikut bersuara.
Jangan Lewati: Maknyus! Profil 5 Kampus NU Terakreditasi Unggul BAN-PT
Mereka membawa spanduk, poster, hingga pengeras suara portabel. Slogan yang digemakan hampir seragam: potong gaji anggota DPR. Bagi massa, gaji yang disebut “fantastis” itu menjadi simbol jarak menganga antara rakyat yang berjuang sehari-hari dengan elit politik yang nyaman di kursi parlemen.
“Rakyat makan mi instan, kalian makan mewah di Senayan!” teriak salah seorang mahasiswa, disambut riuh massa.
Antara Aspirasi dan Barikade
Tak jauh dari mereka, ribuan aparat kepolisian sudah berjajar. Barikade pagar kawat berduri terpasang, disokong kendaraan taktis dan mobil water cannon. Tameng-tameng polisi membentuk dinding manusia, seakan ingin berkata: tak ada jalan masuk menuju Senayan. Ketegangan itu seperti menunggu percikan api.
Dan percikan itu akhirnya datang. Saat orasi memanas, kerumunan mulai merapat ke barikade. Polisi memberi imbauan agar mundur, tapi sorakan massa justru makin nyaring. Lalu terdengar dentuman: gas air mata ditembakkan. Kepulan asap kekuningan menjalar cepat, membuat demonstran batuk, menangis, bahkan ada yang roboh menahan pedih di mata.
Jangan Lewati: Dari Zakat untuk Petani Bawang: Harapan Baru dari Pesisir Bantul
Tak berhenti di situ. Water cannon menyembur deras, menghantam barisan mahasiswa yang berpegangan tangan. Spanduk basah kuyup, poster tuntutan sobek, dan lagu perjuangan yang semula lantang berubah tercekat. Namun banyak yang tetap bertahan.
“Turunkan gaji DPR! Bubarkan korupsi!” teriak mereka, meski suara terputus-putus ditelan gas dan air.
Benturan yang Tak Terhindarkan
Situasi kian panas. Massa melemparkan botol, kayu, bahkan kerikil ke arah aparat. Polisi membalas dengan tembakan gas tambahan. Beberapa orang terjengkang, sebagian berusaha mengevakuasi kawan yang pingsan.
Seorang pelajar berseragam putih abu-abu tampak terduduk di trotoar, matanya merah, sementara kawannya menuangkan air mineral ke wajahnya. Di sisi lain, seorang ojek online berteriak marah, “Kalian lupa dibayar rakyat!”
Benturan itu bukan sekadar fisik. Ia adalah simbol: rakyat yang menuntut, dan negara yang merespons dengan kekuatan.
Mengapa Gaji DPR Jadi Isu?
Aksi ini tak muncul tiba-tiba. Beberapa minggu terakhir, publik dibuat geger oleh laporan mengenai tingginya gaji dan tunjangan anggota DPR. Di tengah ekonomi rakyat yang serba sulit—harga kebutuhan naik, lapangan kerja menyempit—isu itu menjadi pemantik api kemarahan rakyat.
Jangan Lewati: Dari Ladang ke Piring Sekolah: Menatap Rp 335 Triliun Program MBG 2026
Bagi mahasiswa, tuntutan memotong gaji DPR bukan sekadar angka. Ia adalah lambang ketidakadilan. “Kalau rakyat masih banyak yang susah makan, bagaimana wakil rakyat bisa hidup berlebihan?” kata Ahmad, mahasiswa salah satu kampus di Jakarta, kepada awak media Indonesia yang berkumpul.
Sejumlah analis menilai protes kali ini adalah gelombang ketidakpuasan yang lebih dalam: bukan cuma soal gaji, tapi juga soal jarak antara rakyat dan elit politik yang makin melebar.
Refleksi dari Jalanan
Menjelang sore, aparat berhasil memukul mundur massa. Jalan raya kembali relatif lengang, menyisakan botol air, spanduk sobek, dan genangan air bekas semprotan. Namun, jejaknya tak mudah hilang.
Demonstrasi 25 Agustus bukan sekadar keributan jalanan. Ia adalah cermin dari keresahan yang nyata: tentang politik yang dianggap abai, tentang rakyat yang merasa tak didengar. Bagi sebagian orang, hari itu hanyalah bentrokan. Tapi bagi mereka yang hadir, itu adalah hari suara rakyat tumpah ke jalan.
Aksi ini mengingatkan satu hal: aspirasi rakyat bukan barang yang bisa dibasuh air atau diusir gas. Setiap teriakan di jalanan adalah tanda, bahwa ada suara yang tak sampai ke ruang rapat parlemen. Dan selama suara itu tak dihiraukan, jalanan akan terus menjadi panggung rakyat.
Pasang iklan di ejogja.ID, klik: Pasang Iklan
















