Oleh Ahmad Muchlish Amrin
Segala sesuatu di dunia ini punya telinga. Mereka mendengarkan kata-kata yang menggeliat dari bibir fisik dan hati kita.
Bumi yang kita pijak, angin yang membelai, daun-daun yang bergoyang di hadapan, batu-batu yang berdiam, semut-semut yang berbilir menuju lubang persembunyian, memiliki telinga yang selalu bersiap sedia untuk mendengarkan.
Kita saksikan padi-padi merunduk dan bergoyang, mendengarkan segala dendang segala gumam. Air yang mengalir dari hilir, punya telinganya sendiri yang selalu rida mendengarkan keluh kesah kita; kadang mereka sedih kadang gembira.
Mereka menyediakan telinga untuk kita, tapi pernahkah kita menyediakan telinga untuk mereka?
Nabi Sulaiman dan bala tentara berkuda yang siap berangkat perang; kaki-kaki kuda menghamburkan pasir. Mereka tiba-tiba berhenti di lubuk jalan. Sang Nabi tersenyum melihat komunitas semut yang hendak lewat. Sang Nabi khawatir mereka dilukai kaki kuda yang ditungganginya dan bala tentaranya.
“Oh. Semut-semut yang mulia. Masuklah kalian dalam rongga-rongga dan lubang-lubang. Tentara Sulaiman hendak lewat”.
Para semut tersenyum dan mengucapkan salam keselamatan kepada sang Nabi. Begitu barisan semut itu berselingkung dalam persembunyian, Sulaiman sang Nabi dan bala tentaranya melanjutkan perjalanan dan mengangkat biduk pedang.
Jangan Lewat Baca Juga Belajar Mendengarkan
Tentu. Ya, tentu tidak setiap telinga sanggup mendengarkan dan tidak sedikit dari kita hanya ingin didengarkan—untuk tidak mengatakan lebih senang ngompyang dari pada meresapi segala sesuatu yang didengarkan. Artinya menjadi pendengar yang baik adalah lambang kerendah-hatian, kepedulian, penghormatan, cinta, dan kasih sayang.
Setiap bunyi adalah nasihat bagi pemilik telinga; bunyi dari bunyi maupun bunyi dari sunyi.
2 komentar