JOGJA—Sastrawan dan budayawan Seno Gumira Ajidarma (SGA) menyampaikan pidato kebudayaan dalam rangka Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2023. Pidato kebudayaan tersebut ia sampaikan pada agenda Jogja Art + Books Festival 2023 di The Ratan, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Dalam pidatonya, SGA menyoroti tentang sistem pendidikan nasional yang tak bisa lepas begitu saja dari sejarah panjang warisan dari sistem pendidikan era kolonial Belanda. Menurut SGA, diberlakukannya ordonasi sekolah liar oleh Belanda di era kolonialisme menjadi pelajaran berharga bagi pengembangan sistem pendidikan saat ini. Mengawali pidato kebudayaanya, pengajar Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu mengisahkan tentang perjuangan RM Suwardi Suryaningrat yang kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara pada 3 Februari 1928. Perjuangan yang dikisahkan oleh Seno adalah perjuangan Suwardi saat melawan sistem Ordonasi Sekolah Liar yang dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda di era 1932-1933.
Jangan Lewatkan Juga: Ribuan Orang Hadiri Jogja Art + Books Festival 2023: Dari Pagi Hingga Malam
Perlu diketahui, berdirinya Ordonasi Sekolah Liar adalah dilatarbelakangi ketidakmampuan pemerintah Hindia Belanda dalam menanggulangi pembiayaan seluruh sekolah yang ada. Kondisi ini membuat pemerintah Hindia Belanda terpaksa mengurangi sekolah yang ada dan membuat rakyat berhenti sekolah serta banyak anak terlantar pendidikannya hingga kemudian pemerintah Hindia Belanda memberikan izin pendirian lembaga-lembaga pendidikan partikelir (tak dibiyai pemerintah Hindia Belanda).
Lembaga inilah yang justru kemudian membuat Hindia Belanda semakin berkembang pesat yang mengakibatkan pemerintah Hindia Belanda khawatir akan semakin cerdasnya bangsa Indonesia. Untuk itu pemerintah Hindia Belanda menimalkan ruang gerak sekolah-sekolah dengan menerapkan Ordonasi Sekolah Liar (wilde school ordinate).
Kembali ke kisah Suwardi Suryaningrat, kata SGA, ketika Suwardi diasingkan ke Belanda selama enam tahun, kata Seno, saat itulah Suwardi banyak belajar aspek pendidikan, salah satunya adalah pemikiran Rabindranath Tagore.
“Dari sinilah terjadi perubahan pola perlawanan Suwardi. Dari gerakan politik ke pendidikan. Inilah yang disebut dengan perlawanan diam-diam. Perlawanan inilah yang kemudian menjadi prinsip perjuangan Taman Siswa [didirikan oleh Suwardi Suryaningrat pada 1922] dalam menghadapi Ordonasi Sekolah Liar,” kata Seno.
Dalam pidatonya itu, Seno menegaskan bahwa Ordonasi Sekolah Liar hanya menawarkan sistem pendidikan yang didalamnya menempatkan instansi pendidikan sebagai rumah perniagaan pengecer ilmu pengetahuan.
“Sekolahnya hanya menjual ilmu. Gurunya pun tukang dagang intelek. Sekolah pengecer ilmu,” tegas Seno. Dia pun lantas mengaitkan hal tersebut dengan kondisi sistem pendidikan nasional saat ini dengan melacaknya dengan pembuktian terbalik. “Adakah kiranya, iklim pendidikan hari ini ada cara pembelajaran tanpa subsidi pemerintah yang kehadirannya sebagai rumah pengecer ilmu, tetapi justru sebagai alternatif terhadap formasi diskursif kuasa pendidikan nasional kelas dominan?” kata dia.
Nikmati: Masa Muda tidak Terperdaya Rayuan Menunda-nunda dan Angan-angan Filsafat Pendidikan KH Hasyim Asyari
Penulis buku Negeri Senja dan Saksi Mata itu mengatakan persoalan pendidikan nasional hari ini adalah masih terbatasnya kapasitas dan kemampuan sistem itu untuk menangkap denyar-denyar keliaran kreatif yang justru kontekstual dengan zamannya. Untuk itu, dia mencontohkan metode pendidikan yang diterapkan oleh seorang guru seni rupa asal Tulungagung, Moelyono.
Moelyono, kata Seno, mengedepankan aspek pendidikan dengan mengembalikan hakikat bahwa setiap orang sejatinya adalah subjek penggubah kebudayaan, sebab jika setiap orang ditempatkan sebagai subjek pasif, mereka hanya berbuat untuk diri dan kelompoknya sendiri. Padahal sebagai subjek, mereka punya potensi berpikir kritis untuk berdialog dan menyampaikan persoalan masyarakat [miskin].
Itulah sebabnya, gagasan-gagasan yang kreatif dan subversif tentunya diperlukan di cabang ilmu pendidikan yang lain. “Mengapa tidak?” serunya. “Karena itulah, sekolah liar akan selalu ada. Maka, kehadiran saya di sini hanya untuk mengesahkan.”