Seni Hidup Minimalis

Esai, Literasi3723 Dilihat

Seputar Pendidikan #24

Aldi Hidayat

Surplus demografi adalah salah satu ancaman bagi proyek permakulturisasi. Esai sebelumnya telah menegaskan betapa pertambahan penduduk meniscayakan pertambahan tempat tinggal, sarana-prasarana pendidikan dan lapangan kerja. Dapatkah keniscayaan ini didegradasikan menjadi kemungkinan? Artinya, mungkinkah pertambahan penduduk tidak menyuburkan eksploitasi kapitalis terhadap alam, melainkan menyemaikan interaksi biosentris dengannya?

Sebelum menjawabnya, Donald B. Calne, dalam bukunya, Batas Nalar, menyebut bahwa pikiran itu fleksibel. Ia diperintah oleh watak bawaan dan sifat yang tertanam dalam diri manusia. Islam menyebutnya hati dan nafsu. Akal selalu berada dalam pilihan dilematis antara kemauan hati dan kemauan nafsu. Lantaran fleksibel, maka kemauan nafsu pun bisa dipoles secara masuk akal. Gegara masuk akal, maka tindakan kriminal pun bisa saja dibenarkan. Taruhlah misal rasisme Adolf Hitler. Dia terus mengampanyekan harapan akan ras unggul yang menguasai bumi. Karena itu, manusia dengan ras “kurang bermutu” mesti diberangus. Pada gilirannya, pembunuhan massal atas 6-7 juta orang Yahudi Jerman menjadi sah dilaksanakan. Ini sekilas contoh betapa kehendak nafsu dapat menjadi benar, karena akal manusia bersifat fleksibel, sehingga bisa mempermak keinginan nafsu menjadi kebenaran.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Pendidikan Permakultur Terancam Hancur

Kebenaran nafsu akan semakin kokoh, ketika dipadukan dengan otoritas, baik koersif maupun persuasif. Semakin kebenaran tersebut dikampanyekan, maka ia akan mengendap dalam alam bawah sadar untuk kemudian menggerakkan alam sadar. Kita beralih ke contoh lain. Mengapa generasi masa kini akan gelisah saat lepas dari Hp? Tidak sampai satu hari, satu jam pun terasa bagai berada di ambang depresi. Ada apa gerangan? Itu karena pikiran kita selalu dicecar dengan kenikmatan digital, sehingga lepas darinya seolah nyawa tinggal sejengkal. Jika memang hidup dengan kemewahan digital membawa lebih banyak kebahagiaan, mengapa justru penyakit mental tumbuh subur di masa generasi milenial? Yuval Noah Harari dalam Homo Deus, mewartakan bahwa kebahagiaan orang Jepang modern (sebagai misal) tidak jauh beda dengan orang Jepang klasik yang masih belum mengenal kecanggihan teknologi masa kini. Lalu apa ini artinya?

Dalam diri manusia, sudah tertanam watak bawaan, antara lain cinta kemudahan dan kenikmatan. Watak ini semakin liar semenjak teknologi menghidangkan aneka sensasi dan fantasi. Hidangan sensasional dan fantasional itu ternyata lebih menggiurkan daripada kesenangan menurut standar masa silam. Akibatnya, manusia berbondong-bondong menyemarakkan tawaran mewah dan megah teknologi. Tak ayal, orang kaya kemudian terdoktrin secara psikis bahwa rumahnya harus megah, kendaraannya harus mewah dan gaya hidupnya secara keseluruhan mesti wahh. Semua itu lantas ditahbiskan sebagai tidak ketinggalan zaman, maju, berperadaban, update dan seabrek stempel lain yang melenakan. Akhirnya, dari pola hidup semacam itu, terciptalah tanpa kita sadari, sila, “Keuangan yang Maha Esa”.

Tatkala uang nyaris dipertuhankan, maka hubungan sosial berubah menjadi hubungan kontraktual. Apabila tidak bisa mendatangkan keuntungan ekonomis, maka dengan sendirinya bakal tersingkirkan. Kearifan lokal yang sarat dengan kehangatan hubungan atas asas kemanusiaan kemudian diancam oleh sila kedua, “Kemanusiaan yang Bedil dan Biadab”. Karenanya, atas nama keuntungan ekonomis yang bertopeng kemajuan zaman, maka diperbolehkan eksploitasi terhadap alam, walaupun alam sudah sejak lama intim dengan kearifan lokal. Lantas bagaimana menyikapinya?

Ambil Beasiswa: Rp 99,10 Triliun Dana Abadi LPDP

Duduk perkaranya ialah watak bawaan manusia yang mendamba kebahagiaan. Kebahagiaan identik dengan menumpuk kesenangan sebanyak mungkin, bahkan tanpa batas, sehingga tak apalah mengeruk kekayaan alam, sekalipun dampaknya membahayakan ekosistem, bahkan manusia itu sendiri. Akankah yang demikian betul-betul membahagiakan? Cobalah kita jawab dengan contoh sederhana. Mana lebih nikmat antara makan secukupnya dan makan apa saja tanpa mempertimbangkan batas perut? Kekenyangan membuat orang sesak napas, tubuh menjadi malas dan menghambat segenap aktivitas. Jika memang kekenyangan merupakan prioritas utama, mengapa banyak orang sukses justru tidak memperbanyak makan, tapi memperbanyak kegiatan? Contoh sederhana ini merupakan bukti bahwa kebutuhan manusia ada batasnya. Karena itu, memenuhi kebutuhan secara berlebihan akan beresiko mencipta ketimpangan untuk kemudian kehancuran. Yang lebih manusia butuhkan tinimbang senang adalah tenang. Mengapa beberapa artis malah terjerat narkoba? Bukankah mereka sudah bergelimang senang? Itu karena mereka belum mencapai tenang. Demi tenang, beberapa dari mereka salah kaprah dalam memilih jalan. Akhirnya, kepada narkoba pilihan dijatuhkan.

Ikuti: Raja Lomba #solusiprestasimu

Guna menggapai tenang, manusia sedari belia mesti didoktrin tentang prinsip bahwa kebutuhan ada batasnya. Pemenuhan kebutuhan yang melampaui batas meniscayakan perampasan terhadap kebutuhan orang dan makhluk lain. Ketika hak orang lain dirampas, maka puncaknya ialah memberontak. Berontak mengundang kegundahan, sehingga tenang, selaku kebutuhan paling utama tergadaikan. Demikian pula dengan alam. Saat hak alam dirampas, maka alam melawan. Perlawanannya dalam bentuk bencana, seperti banjir, longsor, pemanasan global, punahnya binatang, gagal panen dan lain seterusnya.

Bencana ini seketika merobohkan bangunan harapan yang sudah lama bersemayam. Dalam keadaan di mana bangunan harapan runtuh tiba-tiba, maka stress, depresi hingga bunuh diri datang menuntut tumbal. Pada saat yang bersamaan, kriminalitas menemukan momentum segar. Pasalnya, runtuhnya harapan menuntut kekecewaan. Kekecewaan menuntut balasan. Balasan sering meniscayakan kesegeraan. Kesegeraan membuat orang gelap mata. Dalam artian, tidak penting lagi memikirkan nasib orang lain, karena diri sendiri sedang terancam. Itulah rentetan kausalitas, bilamana pemenuhan kebutuhan tidak berdasarkan batas, namun berdasarkan hasrat memeras.

Baca Juga: PPDB MA Darul Ulum Muhammadiyah Galur 2022-2023

Pendidikan adalah jalur paling utama dalam menangkal tabiat eksploitatif. Kemajuan yang selama ini identik dengan kekayaan, penguasaan atas alam dan alat produksi, memperluas investasi serta masih banyak lagi mesti diganti. Kemajuan bukan saat tabiat manusia mampu berkuasa atas hampir segalanya, namun saat manusia sadar bahwa setiap orang dan setiap makhluk berhak hidup berdampingan secara adil dan makmur dengannya. Itulah seni hidup minimalis. Pendidikan adalah corong utama dan pertama yang bisa menanamkan prinsip dan tabiat itu. Akan tetapi, cukupkah pendidikan mengajarkan begitu? Masih belum. Apalagi yang mesti diajarkan dan ditanamkan. Kita bersambung ke edisi berikutnya. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *