Seni Hidup Maksimalis

Esai, Literasi407 Dilihat

Seputar Pendidikan 25

Aldi Hidayat

Apalagi yang mesti ditanamkan oleh pendidikan selain prinsip memenuhi kebutuhan ala kadarnya? Tidak cukupkah ini dalam menangkis tumbuh-kembang tabiat eskploitatif atas alam? Secara individual, prinsip ini sudah memadai. Akan tetapi, prinsip ini cukup kerap mengerangkeng manusia dalam zuhud individualis. Zuhud individualis ialah cukup memenuhi kebutuhan diri dan keluarga atau paling banter kelompok sendiri. Sementara itu, problem kemanusiaan dan lingkungan di luar sana tidak mampu dan tidak mau dijamah. Inilah kecenderungan banyak manusia, tidak terkecuali muslim. Walau begitu, bisa dipastikan bahwa nyaris–jikalau enggan disebut semua–manusia akan mengacungkan sepakat, tatkala diajak untuk berguna bagi umat manusia. Demikian pula, hampir–bilamana kaku dikata seluruh–manusia akan mengiyakan pentingnya merawat lingkungan.

Kesetujuan hingga kesiapan untuk berjuang demi kebaikan bersama pernah dibuktikan secara genetik oleh Dean Hamer. Dari tiga pertanyaan cetusan Robert Cloninger, pertanyaan ketiga berupa kesiapan berkorban demi kebaikan bersama. Rata-rata menyebut siap berkorban. Dengan demikian, potensi dedikasi sudah tertanam dalam diri manusia. Potensi ini mesti diperhatikan, dilestarikan dan dikembangkan. Pendidikanlah yang mampu mewujudkan. Gampangnya, membantu sesama tidak boleh tidak terus dikembangbiakkan dalam dunia pendidikan. Pertanyaannya, bukankah yang demikian sudah lumrah tidak hanya di lembaga pendidikan, tapi hampir di semua lini kehidupan? Lalu apa pentingnya menyinggung itu dalam ini tulisan? Baiklah…. kita masuk ke inti tulisan.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Seni Hidup Minimalis

Kecenderungan beberapa orang, tidak terkecuali pihak berwenang terhadap mereka yang kekurangan ialah meristokrasi. Meristokrasi adalah bantuan siap pakai. Karena siap pakai, maka bantuan itu hanya bisa digunakan sekali, bukan berkali-kali, sementara, bukan berjangka lama, dan pasif, bukan membantu penerima untuk produktif. Contoh, bantuan sembako bagi orang miskin. Bantuan sembako hanya bisa digunakan sekali, sementara dan penerima bersifat pasif dalam memakainya. Pasalnya, bantuan sembako tidak bisa menghasilkan kebutuhan-kebutuhan lain. Ia adalah bantuan konsumtif, sehingga tinggal langsung dinikmati. 

Bantuan meristokratif mengidap dua kelemahan. Pertama, penerima bantuan tidak memiliki harapan jelas mengenai nasibnya ke depan. Pasalnya, bantuan tersebut hanya sekali pakai. Bagaimana nasib penerima saat bantuan sembakonya sudah habis? Jelas dia akan kembali pada keadaan semula, yakni bontang-banting tanpa kepastian akan penghasilan. Kedua, bantuan meristokratif bisa mengerdilkan potensi kreatif penerima. Pasalnya, bantuan demikian tidak bisa diolah lebih lanjut dalam menyambung tali hidup. Selain itu, bantuan tersebut tidak sesuai dengan watak manusia, yaitu aktif. Setiap manusia berwatak aktif. Tak ayal, seseorang pasti merasa tidak nyaman, saat dia selalu diberi bantuan, padahal dirinya tidak memberi umpan balik berupa pekerjaaan. Mengapa saat menginjak remaja, seseorang merasa kurang betah bersama orang tua? Apa karena dia mau durhaka? Tidak, tapi karena watak aktifnya mulai mengemuka. Pada gilirannya, dia memilih keluar dalam rangka menghidupakan watak aktifnya itu. Dari situ, dia hendak merealisasikan diri sebagai manusia yang mandiri. Kemandirian membuatnya menemukan jati diri.

Baca Juga: Kabar Seputar Pendidikan

Selama perjalanan, setiap manusia akan tersandung oleh kendala dalam menegaskan watak aktifnya. Saat itulah, dia–betapa pun berambisi untuk mandiri–membutuhkan uluran bantuan dari pihak lain. Bantuan itu sekali lagi bukan bantuan meristokratif. Bergantung pada orang tua bagi remaja dan fase awal dewasa sudah terasa kadaluwarsa. Ia butuh penegasan atas siapa dirinya. Jikalau manusia dalam fase ini enggan bergantung pada orang tua, maka apalagi bergantung pada selain orang tua. Lalu bantuan macam apa yang dia butuhkan? Tidak lain dan tidak bukan selain bantuan produktif dan simbiosis-mutualistis. Dia butuh bantuan yang tetap menyisakan ruang kinerja bagi dirinya. Dengan begitu, terciptalah kerja sama dan sama kerja. Itulah kebutuhan utama remaja, apalagi orang dewasa.

Kesadaran memberi bantuan produktif semakin terkikis oleh pola hidup individualistis. Kebebasan, selaku promosi utama semenjak zaman modern tiba telah menggiring manusia untuk mengejar karir tinggi tanpa menyadari betapa banyak orang lain yang butuh resep untuk menjadi seperti dirinya. Seni hidup maksimalis ialah memberi sebanyak mungkin dorongan, tatacara dan peluang bagi siapa saja guna hidup sejahtera secara mandiri. Apa hubungan seni hidup maksimalis dengan kapitalisme, selaku akar eksploitasi manusia terhadap alam, bahkan manusia lainnya?

Kapitalisme menobatkan keuntungan tanpa batas sebagai Tuhan. Karena itu, demi keuntungan, apa dan siapa saja boleh dijual. Pertanyaannya, bagaimana berseni hidup maksimalis tanpa harus terjerembab dalam jurang kapitalis? Tidakkah di zaman yang serba rival ini, manusia dituntut untuk memiliki daya tawar? Apalagi yang bisa ditawarkan, bilamana hampir segala kehebatan sudah terlebih dahulu dijual orang lain?

Jangan Lewatkan Ambil: Beasiswa Pascasarjana ke Australia

Seni hidup maksimalis adalah menebarkan bantuan produktif agar orang lain bisa hidup secara minimalis. Kapitalisme telah menyuburkan hasrat berkuasa. Karena itu, orang-orang milenial bersaing untuk saling menguasai. Oleh sebab kekuasaan yang dituju, maka tentu bentrokan antarhasrat kuasa meniscayakan klimaks yang pilu. Kekerasan, fitnah, kebencian dan apalah-apalah berpeluang menjelma sesuatu yang tidak tabu. Akibatnya, berlakulah homo homini lupus; manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya. Pada era di mana kapitalisme sudah menancapkan pengaruh sedemikian kokohnya, adakah celah solutif guna membuat orang lain sejahtera tanpa ikut-ikutan memanjakan hasrat akan kuasa?

Seorang kapitalis selalu terdorong melebarkan pundi-pundi kekayaannya. Tentu itu harus dengan merekrut pekerja sebanyak-banyaknya. Seseorang siap menjadi pekerja, bahkan tanpa disadari menjadi budak seorang kapitalis, tatkala dia tidak menemukan mata pencaharian lagu kecuali dari kapitalis tadi. Guna menyelamatkan generasi dari cengkreman kapitalis yang mengesahkan eskploitasi atas alam tanpa henti, maka potensi kreatif seseorang mesti dimunculkan lalu dikembangkan. Jadi, seni hidup maksimalis ialah membantu seseorang menemukan kreativitasnya agar bisa bekerja sendiri, bukan menjadi pekerja. Ketika banyak orang sudah bisa demikian, maka kapitalis akan kekurangan calon pekerja baru. Saat itulah, hasrat kapitalisnya bisa diredam, sehingga tidak penting baginya menumpuk kekayaan, tapi cukup dengan memenuhi kebutuhan.

Jika kapitalis membantu orang menjadi pekerja, maka seni hidup maksimalis membantu orang untuk merdeka. Penting dicamkan bahwa bantuan itu bukan untuk menjadikan orang lain sebagai kapitalis baru, tapi sebagai pelaku minimalis dalam hidupnya dan pelaku maksimalis dalam membantu sesama. Terakhir, bagaimana mengejawantahkan seni hidup ini di lembaga pendidikan? Bilamana dikaitkan dengan Islam, teknik sederhana macam apa yang dikandung Islam guna dipoles sebagai gerbang pendidikan untuk hidup secara minimalis-maksimalis? Tunggu kelanjutannya di edisi mendatang! Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar