Gerry Katon Mahendra
Menuju satu tahun perjalanan pandemi virus Covid-19 dan belum ada tanda-tanda penurunan kasus yang signifikan, khususnya di Indonesia. Namun ternyata, hal tersebut tidak menyurutkan langkah pemerintah Indonesia untuk tetap melaksanakan dan membuka kembali beberapa agenda besar yang justru diangap berpotensi menimbulkan klaster-klaster baru penyebaran virus Covid-19.
Agenda besar tersebut diantaranya dibukanya kembali beberapa destinasi wisata dan kegiatan ekonomi penunjangnya di berbagai daerah, pelaksanaan pemilihan kepala daerah tahun (Pilkada 2020) hingga yang sedang dipertimbangkan saat ini adalah rencana untuk melaksanakan kembali pembelajaran tatap muka di sekolah.
Agenda pertama mendapat pemakluman karena sangat terkait erat dengan kebutuhan ekonomi dasar dari pihak yang berkecimpung didalamnya. Agenda kedua, meskipun sudah terlaksana, namun cenderung mendapat penolakan dari berbagai pihak karena dianggap belum memiliki tingkat urgensi yang mendesak. Sedangkan, agenda ketiga terkait dengan rencana pembelajaran tatap muka pada awal tahun 2021 cenderung mendapatkan respon galau dan gugup baik pihak pemerintah daerah, penyelenggara pendidikan, dan orang tua murid, meskipun kebijakan tersebut tetap dikembalikan pada kesiapan pemerintah daerah masing-masing dengan melihat grafik perkembangan kasus Covid-19.
Galau dan gugup, mungkin dua kata yang menggambarkan keadaan terkini terkait rencana pembelajaran tatap muka. Kegalauan tersebut muncul ketika pemerintah pusat melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadien Makarim menyampaikan Pengumuman Penyelenggaraan Pembelajaran Semester Genap TA 2020/2021 di Masa Pandemi Covid-19 melalui akun Youtube resmi Kemendikbud RI.
Dengan melihat tren penambahan kasus baru Covid-19 yang stabil di angka 4.000-5.000 kasus per hari, kebijakan untuk membuka kembali pembelajaran tatap terasa muka seolah menjadi tambahan pekerjaan baru yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah, sekolah dan orang tua dalam upaya bertahan menghadapi pandemi Covid-19.
Meskipun, keluhan yang tak kalah hebatnya pun terlontar ketika pembelajaran tatap muka dihentikan pada awal 2020 dan digantikan dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kuota internet melonjak drastis, konsumsi listrik meningkat, capaian pembelajaran yang tidak tercapai, hingga keluhan orang tua yang merasa “dipaksa menjadi guru” untuk anak-anaknya selama PJJ berlangsung.
Pada akhirnya, saat ini pemerintah dan pelaksana pendidikan dihadapkan pada situasi yang serba salah. PJJ dengan segala keunikannya dianggap terlalu memberatkan orang tua murid karena “harus menjadi guru pembimbing” dan bekerja memenuhi kebutuhan keluarga disaat yang bersamaan.
Pun di saat rencana pembelajaran tatap muka yang rencananya akan dibuka pada awal 2021 kembali menimbulkan kekhawatiran orang tua murid terkait potensi penularan, hingga terkadang dalam hati muncul pertanyaan “sebetulnya maunya bagaimana? ”
Sebelum memberikan kesimpulan mengenai perlu tidaknya pembelajaran tatap muka kembali dibuka pada awal tahun 2021, tentu semua pihak dalam hal ini pemerintah daerah sebagai pihak yang dapat memutuskan boleh tidaknya pembelajaran tatap muka dan penyelenggara pendidikan (sekolah) di daerah harus mampu melakukan mitigasi, identifikasi, dan analisis situasi yang komprehensif. Hal ini mutlak dilakukan agar apapun kebijakan terkait pendidikan (pembelajaran tatap muka atau tetap PJJ) nantinya diambil berdasarkan analisa situasi dan pertimbangan yang matang.
Andai pemerintah daerah kemudian memutuskan pembelajaran tatap muka kembali diperbolehkan pada awal 2021 mendatang, maka beberapa hal penting berikut mutlak dilakukan. Pertama, membaca dan menganalisis tren penyebaran kasus harian terkini. Jika grafik positif terus meningkat drastis dan grafik sembuh cenderung masih rendah atau bahkan menurun, maka harus menjadi pertimbangan matang. Kedua terkait dengan pemetaan kasus berdasarkan wilayah. Hal ini penting mengingat pada umumnya murid berasal dari daerah yang tidak terlampau jauh dari tempat sekolah dan untuk mencari tahu serta memetakan daerah mana saja yang masih dianggap zona merah, kuning, hijau dan putih.
Zona merah dan kuning tentu harus menjadi pertimbangan untuk menunda pembelajaran tatap muka. Ketiga, bagi daerah yang memiliki kesimpulan kondisi yang baik dan mendukung pada dua poin di atas kemudian perlu menyiapkan pedoman pelaksanaan secara teknis secara mendetail dalam mempersiapkan pembelajaran tatap muka. Mulai dari penerapan dan pengawasan protokol kesehatan yang ketat dan konsisten beserta sarana dan prasarana pendukung; pembagian kelas dan murid yang proporsional; dan hal-hal yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan selama menuju sekolah, saat disekolah, dan ketika pulang sekolah.
Upaya tersebut mutlak diadakan secara mendetail dan dikerjasamakan bersama sebagai upaya pencegahan yang maksimal. Keempat, persetujuan berbagai pihak. Persetujuan pihak yang terkait mulai dari pemerintah daerah, sekolah, hingga orang tua dan murid menjadi penting dan mendasar. Apabila ketiga poin diatas sudah dapat dipenuhi dengan baik, maka harus difinalisasikan dengan adanya aturan dan persetujuan antara pihak-pihak yang tersebut diatas.
Aturan yang dibuat oleh pemerintah daerah harus kuat berdasarkan aturan paying dari Kemendikbud dan harus bersifat fleksibel mengikuti dinamika perkembangan kasus Covid-19. Di sisi lain, orang tua murid dan murid bersangkutan juga harus mampu memahami dan taat pada aturan yang berlaku, sembari tetap diberikan keleluasaan untuk tidak mengikuti pembelajaran tatap muka sementara waktu ketika kedaaan sekitar tidak mendukung (terkait dengan pandemi).
Memang, memutuskan kebijakan untuk tidak atau membuka kembali pembelajaran tatap muka memang bukanlah perkara yang mudah. Ketidakmudahan ini begitu tampak ketika Kemendikbud pun pada akhirnya menyerahkan pilihan keputusan finalnya kepada pemerintah daerah sesuai keadaan di wilayah masing-masing.
Berbagai indikator dasar dan pendukung harus dipenuhi dan dilaksanakan dengan konsisten. Mengingat kegiatan pendidikan secara langsung dilakukan secara intensif (pagi sampai sore, Senin sampai Jumat/Sabtu).
Jangan sampai niatan untuk mengembalikan capaian luaran dan standar pendidikan sesuai aturan pemerintah pada akhirnya berbalik menjadi buah simalakama dan melahirkan klaster baru yang membuat tenaga kesehatan dan layanan kesehatan semakin kewalahan. Pada akhirnya, setuju atau tidak setuju akan dibukanya kembali pembelajaran tatap muka harus didasari dengan alasan-alasan dan argumentasi yang objektif berbasis data.
Jangan sampai, kita hanya mampu mengkritik dan menolak kebijakan ini tanpa didahului proses identifikasi, analisa, dan penyimpulan keadaan secara menyeluruh. Tugas berat menanti pemerintah daerah, sekolah, dan sekali lagi orang tua murid guna memutuskan dan memastikan proses pendidikan terbaik untuk para generasi penerus bangsa. Mari kita dukung, mari kita bantu dengan tetap berperilaku sehat dan tertib dalam mensikapi keadaan pandemi Covid-19 saat ini. (ADV)
*) Adalah dosen Administrasi Publik UNISA Yogyakarta.