Sekolah demi Uang adalah Keharusan

Esai, Literasi179 Dilihat

Seputar Pendidikan #1

 Oleh Aldi Hidayat

Tiga pilar kehidupan, baik beragama maupun berbangsa adalah pendidikan, ekonomi dan politik. Tiga lini ini berkelindan, bertungkus-lumus dan bertemali dalam membingkai kehidupan, entah dulu, kini atau nanti. Tulisan ini akan membidik lini pendidikan Indonesia.

Pendidikan menurut rata-rata orang adalah adiluhung, bermartabat dan kunci menuju masa depan yang cerah. Akan tetapi, tidak sedikit yang memberi stigma, seperti, “Ngapain sekolah tinggi-tinggi, kalau tidak jadi presiden, gubernur, bupati dan lain-lain?” Begitu banyak pemuda enggan kuliah dan memilih kerja, karena stigma bahwa kuliah hanya menghabiskan uang, sedangkan kerja mendatangkan uang. Stigma demikian dalam pandangan mainstream barangkali disebut irasional. Meski demikian, tidak ada salahnya kita merangkul alasan mereka berstigma demikian.

Berpatokan paragraf sebelumnya, tidak bisa dipungkiri betapa ekonomi sah dikata mencengkeram dua sektor sisanya. Apalagi, Gus Dur dalam karyanya, Tuhan Tak Perlu Dibela, menyebut bahwa rata-rata manusia bercita-cita bertahan hidup. Tak ayal, mayoritas – untuk tidak menyebut semua – orang memiliki cita-cita yang berujung ke sana, seperti mempunyai karier dan menyejahterakan keluarga. Secara radikal, boleh diasumsikan bahwa seseorang berminat menjadi guru, dosen dan seumpamanya, bukan karena niat luhur, yaitu menyebarkan pengetahuan dan wawasan, melainkan karena faktor yang terselubung, yakni mengais uang demi bertahan hidup. Sayangnya, hal demikian selama ini dianggap sebagai sesuatu yang agak menyimpang dari jalur konvensional. Ironisnya, gaji guru kerap jauh dari menyejahterakan dengan mengatasnamakan bahwa mengajar itu harus ikhlas.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Nadzmu al-Mathlab: Pesan Moral dan Kreatifitas Untuk Pendidik

Adakah niat semacam demikian disalahkan menurut Islam? Tatkala Islam menegaskan dunia adalah ladang menuju akhirat, maka konsekuensi logisnya kebutuhan duniawi harus tercukupi demi kematangan beragama. Jauh-jauh hari, Nabi SAW pernah menegaskan, “Kada al-faqr an yakuna kufran“: hampir saja kefakiran menjelma kekufuran. Secara sederhana ini, berarti krisis ekonomi membuat seseorang tidak akan lagi berpikir tentang pendidikan secara umum, bahkan halal-haram secara khusus. Maraknya korupsi, kolusi, nepotisme dan penipuan tidak bisa dipungkiri berakar salah satunya pada krisis ekonomi.

Pejabat koruptor tidak selamanya dipicu oleh kerakusan akan harta, tetapi boleh jadi, bahkan sangat dipacu oleh hutang gegara ingin menjadi pejabat. Bukankah dosa sering tidak lantaran kesengajaan, melainkan karena kesempatan, bahkan sebenarnya karena keterpaksaan? Spiritualitas yang mewujud dalam bentuk kemanusiaan – mengutip Dan Hamer dalam bukunya, Gen Tuhan – adalah watak dasar manusia. Itu artinya, aneka tindak kerakusan yang berakibat merugikan orang sejatinya tidak dikehendaki oleh setiap orang. Akan tetapi, oleh sebab aneka keterpaksaan, mereka terseret untuk bertindak kriminal.

Jika disepakati bahwa menuju Allah butuh perantara, maka apa pun itu boleh dijadikan motif dalam berpendidikan, selama ia tidak melanggar norma sosial. Bolehkah mengharap ijazah menurut Islam? Boleh, selama ijazah dijadikan sarana menuju kerja. Motif kerja boleh, selama ia dipakai sebagai alat untuk ketenangan dan kematangan dalam beragama. Orang sangat mungkin – jika enggan disebut mustahil – berpikir tentang ibadah, apalagi membantu keluarga, sanak kerabat, bahkan orang yang kekurangan, jika dia tidak mandiri secara ekonomi. Bukankah membantu tiga pihak tadi amat keramat dalam Islam? Mengapa pula sarana menuju ke sana acapkali dianggap alergi dalam dunia pendidikan atau setidaknya dalam perspektif sebagian agamawan?

Jangan Lewatkan Ambil: Rp. 35 Juta dari Beasiswa Lazada di Tahun Baru

Sayangnya, beberapa penceramah gemar menviralkan, “Buat apa kaya? Toh, dunia hanya sementara..” Islam tidak mencela kaya, namun mencela foya-foya. Dakwah yang islami menyadarkan umat akan tantangan zaman. Tantangan kekinian adalah kapitalisme. Kapitalisme menggarap semua, termasuk harga diri menjadi komoditas. Yang dipertuhankan bukan lagi Sang Eksistensi Supranatural, melainkan uang. Dalam zaman di mana uang hampir menjadi Keuangan Yang Maha Esa, relevankan konsep zuhud dan ikhlas diartikan anti uang, anti kerja, anti kaya? Apakah Islam tidak mampu merangkul kecenderungan zaman lalu mendewasakannya? Jika Islam diyakini sebagai shalih li kull zaman wa makan (akan selalu relevan dengan ruang dan waktu), maka arus zaman bukan seharusnya ditepis dan disingkirkan. Arus zaman semestinya dirangkul untuk kemudian diperbaiki sana-sini.

Jangan Lewatkan Nikmati: Perantau di Jalur Bantul-Sleman

Kaidah fiqih berbunyi:

ما لا يغتفر في المقاصد، يغتفر في الوسائل

Sesuatu yang tidak boleh dijadikan tujuan, maka boleh dijadikan perantara.

Islam mengharuskan cari ilmu demi Allah. Akan tetapi, demi Allah tidak bisa didapat serta-merta. Terdapat jalinan perantara duniawi menuju ke sana. Guru tak akan semangat mengajar, jika gajinya tidak mencukupi. Justru dia akan mencari kerja lain, sehingga mengurangi kinerjanya dalam pendidikan. Murid bakal enggan sekolah, jika lulusannya hanya menjadi sang pertapa, enggan kerja, menyendiri di gua dan lain sebagainya. Itu artinya, berharap duniawi dalam kegiatan ukhrawi tidak bisa dielakkan. Berharap duniawi tidak bermasalah, selama ia – berdasarkan kaidah tadi – hanya sebagai perantara, bukan sebagai tujuan akhir. Zuhud bukan berarti tidak boleh kerja siang-malam demi uang, tetapi tidak boleh menjadikan uang sebagai tujuan akhir. Ikhlas bukan berarti anti uang, tetapi anti menobatkan uang sebagai Tuhan. Uang dalam pusaran ikhlas adalah sarana menuju bakti sosial. Bakti sosial adalah pengabdian paling efektif demi Tuhan.

Jika pendidikan terus mencekcoki pikiran untuk anti duniawi, maka agama akan terkesan sebagai dilema; antara menjalankan keharusan atau memenuhi kebutuhan. Ketika al-Qur’an menyebut agama ini sebagai fithrah (watak dasar manusia), maka konsekuensi logisnya, Islam tidak menyalahkan niat cari kerja lewat cari ilmu, karena kerja adalah kebutuhan. Islam datang untuk mendewasakan kebutuhan. Kebutuhan kerja tidak diarahkan untuk foya-foya, karena foya-foya tidak dewasa. Kebutuhan kerja diarahkan untuk kemanusiaan, sebab kedewasaan adalah nama lain dari kemanusiaan. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar