Sketsa Hidup
Sudah banyak aroma kehidupan dihirup
Tapi tak ada satu pun memabuk,
Sudah banyak warna kehidupan di kertas
Tapi tak ada satu pun melekat,
Seperti halnya burung terbang menelusuri samudra
Tapi hanya angan saja, satu bulu pun tak ada.
Sedangkan ribuan daun jatuh menghianati pohon,
Menari anggun dengan luasnya rasa kebebasan
Meninggalkan penciptanya karena sebuah tanah lapang,
Yang tak menjamin akan kehidupan,
Tapi pohon. tak pernah menyesal
Karena hidup pasti berbuah penghianatan.
Ketika matahri lari ke ufuk Barat
Membuat kehidupan tanpa tangisan
dan kematian tanpa kesedihan,
Setiap hari ribuan juta korban diasingkan.
Tanpa terasa, semuanya sudah usai,
Banyak orang melihat semudra luas dalam angan
Tapi buta akan kenyataan di balik telapak tangan.
Sedangkan seorang anak merintih di kolong jembatan
Dengan teriyakannya membelah lautan
Banyak orang datang, tapi mereka tuli akan pendengaran.
Yogyakarta, 2021 M.
Nikmati Juga: Selamat Idul Fitri 1444 | Ramadan 2023 | KH Amad Mustofa Bisri | Pengasuh Raudlatut Thalibin Rembang
Luka itu
Cahaya redup mualai terang
Menampakkan deretan sajak yang sudah buram
Mebuka mata lama di tempat penuh kenangan
Membangkitkan luka berbau kematian
1945
Sebelum proklamasi kemerdekaan
Angin-angin menderu
Menggugurkan daun-daun muda
Merobohkan tiang-tiang kehidupan
Membungkam mulut serangga malam
Dengan bunyi senapan
Senapan yang haus akan nyawa.
Dari mulut orang-orang,
ada sajak yang keluar, perihal akan keadilan
Dengan nyawa sebagai taruhan.
Luka itu
Semakin lama semakin terang
Dengan sajaknya menjadi sejarah pengetahuan.
Yogyakarta, 2021 M.
Sebuah Suara
Tang… sebuah suara
Dari jam menara ibu kota
Merambat ketelinga setiap manusia
Membangkitkan hasrat
Sudah lama terkubur dalam jiwa.
Tang… sebuah suara
Membasuh jiwa berlumuran luka
Membuat kerasukan akan bunga
Semua orang dahaga akan tahta.
Tapi, beberapa detik semunya sudah sirna
tak ada satu jejak langkah tersua.
bunyi itu pun tak lagi bergejola
sebagian orang berlutut mencucurkan air mata
sebagian orang mati akan rasa percaya
bahwa ada bunga tumbuh di taman ibu kota.
Yogyakarta, 2021 M.
Tentang Dia
Di bulan penuh kedehagaan
Aku bertemu seorang perempuan
Dengan wajahnya seperti rembulan syahdu
Menghangatkan hati yang lama kaku.
Senyuman bibirnya, Memadamkan api suciku
Mengeringkan lautan hati
Membuat semua bidadari tak ada artinya lagi.
Suaranya, Membawa kehidupan
Membangkitkan jiwa jiwa mati
Sehingga burung-burung malu berkicau lagi.
Tatapan matanya, Membelah gunung fuji
membuat udara hilang tanpa durasi
sehingga mataku enggan terkatup lagi.
Dengan berjalannya waktu
Aku ukir namanya dalam kalbu
Hingga ahirnya dia pun pergi dalam hidupku
dan jejak kakinya
Sekarang, menjadi sebuah rindu.
Yogyakarta, 2021 M.
Nikmati: Puisi Ibu D Zawawi Imron
Sebuah Kebencian
Anjing liar menggonggong di tepi sungai
Dengan suara keras berbau kebencian
Membungkam mulut-mulut hewan di hutan
Sedangkan air sungai menjadi asin
Batu-batu meleleh seperti lilin
Sebab setetes liur anjing
Terlihat wajah di sungai yang asin
Dengan mata jadi sumber air
Dengan Leher panjang tertusuk bambu runcing
Dengan mulutnya muntah akan taik kambing
Aku diam dengan aksara menggelintar
Membuat hati tawar akan kasih sayang
Mentabiri mata akan penghormatan
Wahai kau, akan aku genggam suaramu
Sampai kau mati bersama suara itu
Dan menjadi sejarah dalam kisah letupan api dalam hidupku.
Yogyakarta, 2021 M.
Zainun Nafis KZ, kelahiran Sumenep, nyantri di PPM Hasyim Asy’ari Yogyakarta, akktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) dan kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.