Sajak-sajak Muhmmad  Ali Fakih

Literasi, Puisi114 Dilihat

Kelahiran

dan mungkin untuk selamanya

waktu mengeras di kabut dingin

sedingin kematian

di dadaku yang hening

 

waktu yang asing untuk sebuah impian

tapi begitu dekat, begitu menyekap

dan aku mengakrabinya

 

seperti mengakrabi air mata:

sesuatu yang mungkin tercipta

untuk tanahnya sendiri

tanah yang sepi dan abadi

tanah di dadaku ini

jogja, 2009

 

Di Luar Jendela

di luar jendela

suara berlagu

di luar waktu

di dasar jiwa

 

seperti suaraMu

yang mungkin hanya lewat

bertalu-talu

mengetuk pintu yang berkarat

 

ada tangis, namun tidak air mata

ada iba, tak kunjung terbalas sapa

 

lalu kamar kotor ini

dan kabut yang memberat di mata

hanya tinggal mimpi

tuhan, tinggal sebak di dada

Jogja, 2009-2010

 

Alienasi

dalam cahaya, adakah kau lihat mimpi itu

dalam kerling mataku

 

suara, adakah kau mendengarnya

antara diam dan berkata-kata

antara terang dan hitam cuaca

 

sesuatu tak mungkin terjadi, kekasihku

dalam sepi yang menyendiri

sebab pada ketakpastian

segalanya berasal

Jogja, 2009

 

Dari Lukisan Anak Pantai

–teruntuk anak bangsa

 

aku ingin keluar dari lukisan ini

melihat-lihat pantai yang ramai oleh pedagang

dan berbincang-bincang dengan para nelayan

 

sudah suntuk rasanya aku mematung diri

di tengah pantai kota di mana pengunjungnya

hanya orang-orang bercawat dan berbeha

yang tidak menganggapku manusia

hanya karena pakaianku kumal dan asalku nusantara:

sebuah negeri yang dulu pernah punya bandar-bandar besar

dan kini telah dilenyapkan

 

aku sudah bosan mencium bau tanah

yang melekat di kulit dan pakaianku;

bergumul dengan waktu yang kian menarikku ke lubang langit

memendam seluruh kenangan dan peluh kuning nenek moyang

 

aku tak sudi selalu dianggap anak kecil

yang gampang dibuat senang, sementara dukanaku menganga

aku tak rela bila kerap dibuat terlena oleh berlian-berlian

yang hanya membuatku buta

 

aku ingin merdeka dari bayang-bayangku sendiri

meski akhirnya aku terasing, aku ingin keluar dari lukisan ini

melihat-lihat pantai yang ramai oleh pedagang

dan berbincang-bincang dengan para nelayan

Jogja, 2009

 

Perantau di Jalur Bantul-Sleman

– untuk anak-anak kutub

 

selalu, di jalan ini

orang-orang tak pernah selesai

melantunkan lagu-lagu kepahlawanan

 

wajah-wajah ranum bersungging sepi

memendam luka dalam diri

tubuh-tubuh ringkih setengah baya

meremah mimpi dan rahasia

 

mereka datang dari seberang yang jauh

dengan seribu bayang-bayang tentang kota tua

yang menjanjikan damai buat semua orang

mereka datang dari masa silam

berbekal peluh dan impian

 

demi kampung halaman, katanya

dan sketsa bangsa

yang tak harus selalu merasa kalah

demi kenangan pahit

orang-orang yang diperbudak rasa sakit

 

jalan ini senantiasa menjadi saksi

betapa hidup terasa asing

untuk sebuah impian:

segala yang datang, datanglah

segala yang berlalu, sudahlah

 

hari-hari mengalir begitu saja

bantul-sleman telah jadi halaman

atau catatan perjalanan

yang semoga tak hanya kekal dalam ingatan

Jogja, 2009

 

Tiba-tiba

tiba-tiba sore menjadi kecil, dingin dan hijau

ketika gerimis datang dari sebuah hari yang jauh

teramat jauh, dalam mimpinya kala itu

 

ia tak tahu matahari tengah tersipu

tetapi pori-pori kulitnya terbuka

seperti pintu-pintu surga terbuka

untuk setiap yang memancar lewat benda-benda

meresap ke dalam dadanya

 

tiba-tiba ia merasa tak sendiri lagi

waktu mendadak lenyap dan kilometer pergi:

segala menjadi nyata, segala menjelma ia

tiba-tiba, dan hanya tiba-tiba saja

rahasia hilang makna

jogja, april 2011

 

Pada 1/3 Malam

dingin turun ke lorong-lorong dalam mataku

air mengalir ke sungai-sungai dalam jantungku

cahaya meruap ke bilik-bilik dalam heningku

 

waktu, seperti embun, amat lirih

rebah di kalbu dan ubun-ubunku

menggulung diri dalam helai-helai nafasku

 

pendar bintang, gugus galaksi

berkisah tentang hari yang jauh dan bayang-bayang

pada tubuhku, hingga aku gemetar

dan sadar: aku telah begitu lama meninggalkan-Mu

 

kini, setelah tak kuharap lagi

malam menjadi putih, kelam lenyap

ditelan suara yang bergema di mana-mana

suara keabadian yang tak lagi sebagai hampa

 

sejenak kuterdiam, ketika sesuatu turun dari langit

merasakan betapa aku telah menjadi manusia

Jogja, Juli 2011

 

Palung Waktu

– buat Ibu Yuli Annisah

 

semua akan pergi, pada akhirnya

lalu tinggal kita di sini, berselimut sepi

ditemani angin dan bayang-bayangnya

 

dan memang, yang mati tak akan hidup kembali

dan yang sudah terjadi, tak akan terulang lagi

tetapi waktu adalah mesin giling

dan kita gabah-gabah yang menyedihkan

 

kerap kali tubuh ini ingin ditinggal

lalu kita berharap terbang ke masa silam

bertemu dengan orang-orang tercinta

dan mengalami kembali saat-saat yang indah;

tetapi bukankah kita hanya sekedar manusia

 

kita hanya bisa memilin tangis

berteriak histeris dan memukul-mukul tanah

seakan-akan dengan begitu akan hilang sebak di dada

dan terbayar segala yang sia-sia pada akhirnya

 

tidurlah, bu, lelapkan hatimu

waktu memang seperti mesin giling

tetapi kita adalah manusia:

gabah-gabah yang menyedihkan itu

Jogja, Mei 2011

 

Tenggang

pada daun-daun yang terpengkur di hadapan angin

kupungut kembali kata-kataku

pada bau asing yang mengendap di jalan-jalan

pada sisa hujan di ranting-ranting yang layu

kupungut kembali kata-kataku

 

sebelum engkau pergi

biarlah kulantunkan lagu itu sekali lagi

aku ingin sejenak tenggelam

dalam hening yang hadir antara grip dan nyanyian

antara harapan dan kesia-siaan

 

sebab sudah lama kita berharap pada yang mungkin

pada segala yang membuat kita

akhirnya tak mampu menangkap isyarat

pengkur daun di hadapan angin

bau asing di jalan-jalan

sisa hujan di ranting-ranting yang layu

Jogja, Maret 2011

 

Kausal Karunia

orang-orang lari, terbirit-birit

dari runcingnya hari

aku ingat, seseorang pernah berkata:

tidakkah ini hidup amatlah berharga

 

tapi dengan apa tuan, kata mereka

harus kami hargai hidup ini

bila yang terhitung selalu angka-angka itu kembali?

 

tidak semua, memang, yang berharga dapat dibeli

tetapi waktu pada usia, cinta pada kecupan

akan senantiasa di sana, seperti sebuah karunia

jogja, februari 2011

 

Muhammad Ali Fakih, lahir di Kerta Timur Dasuk Sumenep Madura, 08 Maret 1988. Kini sedang belajar di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan bergiat di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta. Puisinya terkumpul di Mazhab Kutub (Pustaka Pujangga, 2010).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6 komentar