Seputar Pendidikan #29
Aldi Hidayat
Esai sebelumnya sempat membahas rivalitas dan viralitas. Esai kali ini akan menjadikannya sebagai fokus ulas. Salah satu dorongan utama untuk bangkit ialah adanya saingan. Dalam terminologi yang lebih keren, saingan disebut rival. Itulah memang kodrat kehidupan. Makanya, Hegel memformulasikannya menjadi gagasan dialektika. Bahwa hidup ini selalu berupa ketegangan antara tesis dan antitesis. Dia kemudian menerjemahkannya menjadi relasi tuan-budak. Karl Marx kemudian mengembangkan dan memvulgarkannya sebagai dialektika materialis. Dialektika materialis kemudian disodorkannya dalam satu seruan, “Kaum buruh di dunia, bersatulah!” Artinya, lawanlah para petinggi industri! Mengapa mesti melawan? Jika dikembalikan pada kodrat kehidupan, ya karena persaingan adalah sebuah keniscayaan.
Hanya saja, persaingan acapkali berbumbu kecurangan. Berkenaan persaingan, Islam memperkenalkan dua konsep yang hampir mirip, tetapi salah satunya positf, sedangkan lainnya negatif. Dua konsep itu hasad dan ghibthah. Hasad adalah iri dan dengki. Al-Ghazali membagi hasad pada tiga. Pertama, tidak senang atas kenikmatan yang dimiliki seseorang, entah berupa prestise atau prestasi. Prestise dan prestasi akan penulis paparkan lagi di bagian nanti. Kedua, berencana jahat terhadap seseorang, karena kenikmatan yang dia rasakan. Dalam bahasa Indonesia, ini disebut dengki, sedangkan hasad kategori pertama disebut iri. Ketiga, tidak mau mengakui kelebihan seseorang dan lebih memilih, “Kita setara saja”. Demikian paparan al-Ghazali yang dicuplik oleh al-Nawawi dalam Syarh al-Arba’in al-Nawawiyyah li al-Ahadits al-Shahihah al-Nabawiyyah. Islam melarang rivalitas macam ini. Alasan yang populer ialah karena yang demikian berarti mengingkari ketentuan Ilahi.
Ini alasan teosentris, yakni alasan yang bertolok ukur pada Tuhan. Adapun secara antroposentris atau kemanusiaan, hasad sangat berpotensi mematikan sportifitas. Persaingan yang terjadi sangat mungkin atas dasar tipu muslihat, bukan berpatokan akal sehat. Disebut sangat mungkin, karena akal manusia dikendalikan oleh rasa. Apabila merasa tidak suka, maka akal akan cari-cari alasan guna membenarkannya. Gegaranya, kebenaran dari pihak yang didengki tidak dihargai, sehingga terjadilah monopoli, yakni pendengki mau memaksakan keinginannya sendiri.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Hidup antara Mau atau Mampu
Meski melarang, Islam bukan berarti hendak menghapus persaingan. Islam tidak datang untuk memberantas watak bawaan, tetapi untuk mendewasakannya. Hasad adalah persaingan yang tidak dewasa. Karena itu, Islam tetap memelihara rasa persaingan sekaligus mendewasakannya. Bagaimana pendewasaan Islam terhadapnya? Dilansir dari al-Tajrid al-Sharih, disebutkan bahwa Nabi SAW membolehkan “hasad” terhadap dua hal. Hasad yang bertanda petik ini tidak dalam arti yang sebenarnya, namun dalam arti yang sudah dewasa. Hasad yang dewasa bertitel ghibthah. Ghibthah adalah rivalitas yang menjunjung tinggi nilai sportifitas. Dalam dunia sepak bola misalnya, klub kalah tidak boleh menonjok klub yang menang, karena jelas itu tidak sportif. Klub yang kalah mesti membalasnya di leg kedua misalnya atau di pertandingan lain di waktu selanjutnya. Sportifitas berlaku di semua lini. Merasa tersaingi dalam bidang bisnis maka harus dengan mengembangkan bisnisnya lebih baik, bukan melarang produk industri lain dalam penjualan.
Seringkali industri yang sudah sukses besar melarang industri kecil untuk eksis, walaupun sebatas untuk menyambung tali kehidupan. Merasa tersaingi dalam dunia intelektual, maka harus dengan mengembangkan pengetahuan dan wawasan, bukan dengan menjelek-jelekkannya di hadapan orang lain. Sportifitas justru dijunjung tinggi di Barat, kawasan yang sudah lama alergi terhadap agama. Sebaliknya, Indonesia, selaku agama yang kental dengan agama, malah bertaburan kecurangan dan pencitraan. Karya ilmiah di Barat tidak sesak dengan biodata lengkap dengan prestasi penulisnya. Pasalnya, yang demikian tidak ilmiah. Ilmiah itu dibuktikan dengan referensi dan data, bukan dengan testimoni dan citra. Di Indonesia, tulisannya masih masih sekelas rata-rata, sudah pamer biodata lengkap dengan prestasinya. Seolah akal sehat pembaca bisa dibius oleh citra. Nah, pendidikan kita masih terperangkap dalam prestise, sehingga abai pada prestasi. Apa dan bagaimana dua hal ini? Sebelum menjawabnya, penulis bakal mengawalinya dengan ulasan tentang mengapa banyak orang ingin viral.
Ambil: Beasiswa Pascasarjana ke Italia
Viral itu gampangnya terkenal. Akan tetapi, terkenal bukan tujuan utama. Jika itu tujuan utama, maka maling yang tertangkap kamera justru bisa bahagia. Sayangnya, yang terjadi bukan demikian. Viral dalam konteks ini adalah viral sebagai orang yang diorangkan. Artinya, manusia selalu ingin menampilkan diri bahwa inilah saya. Abraham Maslow menyebutnya aktualisasi diri. Lebih jauh, Nietzsche meradikalkannya dengan menyebut manusia berhasrat untuk berkuasa. Hasrat kuasa inilah yang mendorong manusia untuk bersaing guna menjadi yang lebih baik. Tidak hanya itu, kalau perlu menjadi yang terbaik selamanya. Memang, hasrat ini barangkali tidak mengendap dalam diri semua, namun pastinya ia bersemayam dalam sebagian manusia. Adakah Islam melarang hal ini? Tidak, tapi Islam mendewasakannya. Bagaimana pendewasaannya? Penulis akan menjawabnya dengan pendahuluan berikut.
Pendidikan kita sebagaimana telah penulis ujarkan di esai edisi-edisi sebelumnya selalu menganggap sukses itu nama lain dari prestise. Prestise itu sesuatu yang mengesankan, tapi minim kegunaan. Contoh, kekayaan, gelar, penghargaan dan lain sebagainya. Ini prestise tingkat atas, karena diperoleh dengan kerja keras. Ada prestites tingkat rendah, seperti kecantikan, ketampanan, leluhur dan lain sebagainya. Disebut rendah, karena prestise ini diperoleh tanpa usaha. Ini saklek sebagai bonus Tuhan sejak kelahiran. Prestise ini pada era sinetronik begini, semakin diakui. Karenanya, di zaman sekarang, banyak media tidak mengejar kualitas seseorang, tapi mengejar seberapa cantik atau tampan dia. Kalau dia cantik misalnya, rangkul saja! Perkara berkualitas atau tidak itu urusan belakangan. Santai saja!
Jangan Lewatkan Baca Juga: Seminar Moderasi Beragama di MAN 1 Yogyakarta
Prestise tidak akan menciptakan iklim hidup yang produktif. Pasalnya, orang digiring untuk menuhankan kesan, bukan nalar. Banyak akademisi berebut lalu pamer gelar, dari doktor hingga guru besar. Untuk apa? Agar terkesan dirinya itu pintar, bahkan paling pintar. Kalau sudah begitu, orang lain akan manggut-manggut serba membenarkan. Sebabnya, kritisitas hanya tinggal semboyan. Yang ada, paternalisme yang menjelma fanatisme. Pokoknya, kalau yang bilang guru besar, pasti benar. Tidak perlu disanggah, apalagi dilawan. Apakah prestise macam ini benar menurut Islam? Benar-benar saja, tapi ada yang lebih baik dan lebih dewasa. Sayangnya, ini jarang diperhatikan, bahkan dianggap buang-buang waktu saja. Ini adalah apa yang penulis sebut prestasi. Apa itu prestasi?
Prestasi adalah capaian yang membawa kegunaan. Dalam literasi misalnya, prestise itu penghargaan, sedangkan prestasi itu karya. Penghargaan hanya membuat orang terkesan. Karya membuat orang dapat pengetahuan dan wawasan. Mana yang lebih berguna? Jelas pengetahuan dan wawasan. Mana mungkin kita membangun peradaban dari kesan? Peradaban itu butuh pengetahuan dan wawasan.
Artinya, pendidikan bukan memotivasi anak didiknya untuk menjadi apa, tapi untuk memberi apa. Tidak penting kamu bergelar atau tidak. Yang penting, kamu bisa menerbitkan karya-karya berbobot sebanyak-banyaknya. Tidak penting kamu kaya atau tidak. Yang penting, kamu bisa membantu walau 1 orang selamat dari pengangguran. Tidak penting kamu cantik atau tampan. Yang penting, kamu bisa membuat orang lain merasa dihargai dan dimanusiakan. Percuma bergelar, tapi karyanya sebatas kelakar. Apalah arti kaya, tapi tidak memikirkan nasib kaum fakir-miskin dan papa. Percuma memesona, tapi memperlakukan orang lain seolah bukan siapa-siapa. Jadilah terkenal, karena jasa dan karya, bukan karena gelar dan kaya! Itulah viral yang dewasa. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta
3 komentar