Proses Samawa Sehidup Sesurga

Esai, Literasi337 Dilihat

Seputar Pendidikan #32

Aldi Hidayat

Mengapa lelaki mesti menjadi pemimpin? Ayat sebelumnya memaparkan alasan lelaki menjadi imam keluarga, yaitu kelebihan mereka atas perempuan dan tanggung jawabnya dalam memberi nafkah. Bagaimana jikalau si perempuan melebihi si lelaki, bahkan dialah yang menjadi tulang punggung keluarga? Apakah dia berhak untuk durhaka? Atau bagaimana jikalau ada perempuan terlalu nakal, sehingga sang suami lepas kendali? Esai kali ini akan menjawab tiga pertanyaan di atas.

Biarlah Layangan Saja yang Putus. Pendidikan Jangan, Solusinya: Panduan Resmi Cara Daftar KIP Kuliah 2022

Pertama, mengapa Islam mengangkat lelaki sebagai imam? Mari kita berkaca pada psikis perempuan. Rata-rata–bila enggan disebut semua–perempuan butuh perhatian. Apakah ini karena budaya patriarki (lelaki menguasai semua lini) atau murni memang kodrat perempuan? Jika memang ini budaya patriarki, tentu perempuan karir tidak akan tampil elegan. Mengapa masih tampil elegan? Karena memang watak bawaan perempuan ialah butuh perhatian. Perhatian dimaksud secara pragmatis mereka dapatkan lewat berdandan.

Selain itu, bertemu sesama perempuan pun, perempuan masih berdandan. Jikalau butuh perhatian adalah efek budaya patriarkhi, tentu perempuan tidak akan berdandan, walau bertemu sesama perempuan dalam suatu forum. Nyatanya tidak demikian. Butuh perhatian adalah watak makmum. Di pihak lain, bukankah lelaki juga butuh perhatian? Dalam konteks relasi gender, perhatian yang dibutuhkan lelaki adalah perhatian untuk dihargai. Dihargai dalam bentuk apa? Dihargai perjuangannya. Ini semakin kokoh, jika mengaca pada watak lelaki yaitu impulsif. Lelaki cenderung bergerak semaunya. Bergerak semaunya bukan sifat makmum, melainkan imam, karena imam dituntut mengendalikan keadaan, bahkan menciptakan keadaan baru yang boleh jadi membedai arus dominan. Tak ayal, para pembaharu peradaban kebanyakan dari kaum Adam. Meski begitu, takkan ada lelaki sukses kecuali di baliknya ada wanita hebat. Wanita hebat itu bukan pasangan, karena banyak lelaki hancur, lantaran pasangannya. Wanita hebat itu adalah ibu. 

Jangan Lewatkan Baca Juga: Bermain dan Belajar di Lapangan Minggiran MJ Yogyakarta

Lebih lanjut, atas dasar watak butuh perhatian ini, maka absahlah Islam menobatkan lelaki sebagai imam dan perempuan sebagai makmum. Jikalau begitu, bagaimana menangkal potensi lelaki bersikap otoriter terhadap pasangannya? Pasangan yang penulis maksud dalam hal ini ialah pasangan suami-istri, bukan pacaran.

Kedua, beberapa lelaki merasa absah menyuruh-nyuruh, mengatur, bahkan mengekang sang istri dengan berdalih dirinya adalah imam. Anggapan ini bukan memosisikan diri sebagai pemimpin, namun penguasa. Islam tidak menobatkan lelaki sebagai penguasa, melainkan pemimpin. Apa bedanya antara dua petinggi ini? Penguasa cenderung memosisikan bawahan sebagai budak, sehingga dia berhak memperlakukan sang bawahan seenaknya. Sebaliknya, pemimpin memberikan contoh dewasa melalui keteladanan. Karena itu, fiqih mengharuskan bahkan urusan rumah tangga pun di pundak lelaki, bukan perempuan. Keharusan ini tidak semestinya dipandang secara kaku. Artinya, istri boleh berdiam seenaknya, bahkan kalau perlu menyuruh-nyuruh suaminya. Ini malah lancang dan bangkang. Lalu bagaimana menyikapi ketetapan fiqih tersebut?

Mau Kuliah Luar Negeri? Beasiswa Menuju Korea Selatan

Ketiga, suami yang shaleh adalah yang memosisikan istrinya sebagai mitra. Mitra berarti betapa pun dirinya adalah pemimpin keluarga, dia tetap menganggap dirinya setara dengan istri. Jikalau setara, bahkan tidak sepantasnya dia menyuruh-nyuruh dan mengekang istrinya. Sebaliknya, dia berusaha tidak merepotkan sang istri. Karena itu, anggapan, “Saya belum siap menikah, karena belum mapan” ada benarnya. Ini dalam rangka memantapkan diri sebagai calon imam keluarga. Meski begitu, anggapan ini juga keliru, apabila kemudian membatalkan si lelaki untuk menikah.

Memperlakukan istri sebagai mitra berarti sudah siap mendapat keluhan dan omelan sang istri. Pasalnya, tugas pemimpin ialah memastikan makmumnya restu atas gaya kepemimpinannya selama ini. Apabila enggan pada kelohan dan omelan, maka suami dimaksud berarti akan memosisikan diri sebagai penguasa. Tak heran, al-Zuhayli menambahkan bahwa suami yang tidak bertanggung jawab atas kebutuhan nafkah lahir dan batin, tidak lagi memiliki wewenang atas istri. Tidak bertanggung jawab bukan berarti tidak memuaskan. Tak bertanggung jawab bisa berupa; tidak mau berusaha atau sudah berusaha, namun hasilnya dinikmati sendiri, bukan diberikan pada keluarga. Apabila suami melakukan salah satu tiadanya tanggung jawab ini, maka hilanglah sudah wewenangnya atas istri. Menyikapi suami macam ini, apa yang seharusnya dilakukan istri?

Baca Juga: KDRT yang Islami

Keempat, secara legal, istri boleh-boleh saja durhaka, selama bukan selingkuh. Meski begitu, sikap demikian tidak dewasa. Sikap istri betapa pun dia melebihi suami ialah tetap memosisikan diri sebagai makmum. Karena itu, keluhan sebisa mungkin tidak menjelma omelan. Sebagai makhluk perasa, perempuan tidak akan lepas dari argumen yang bernada sentimen. Satu sisi ini berpotensi membuat perempuan berucap sesuatu yang menyinggung perasaan. Sisi lainnya ini berpeluang membuat perempuan berujar sesuatu yang menyentuh perasaan. Karena itu, terhadap suami yang tidak bertanggung jawab atas nafkah, istri membantu memberikan bantuan. Jikalau si istri menjadi tulang punggung keluarga, maka istri memberikan bantuan modal usaha untuk suami guna mengimbangi ketimpangan tanggung jawab antarkedua belah pihak. Masalahnya, kondisi demikian membuat si istri hilang kendali, sehingga merasa benar merendahkan suami. Pun juga, dalam kondisi lain, suami juga hilang kendali. Bagaimana ini?

Kelima, hilang kendali bukan sesuatu yang sepenuhnya terlarang. Yang dilarang ialah tidak mau bertanggung jawab setelah hilang kendali. Hilang kendali bukan alasan untuk bertindak sewenang-wenang. Hilang kendali berarti pelajaran untuk lebih menata diri. Karena itu, betapa pun parahnya pertengkaran suatu keluarga, walaupun salah satu pihak telah melancarkan KDRT, Islam masih memberikan solusi paling akhir. Solusi itu ialah mengutus hakam (juru bicara) dari kedua belah pihak. Hakam di sini berupaya mengembalikan keharmonisan rumah tangga yang sudah retak. Ini artinya Islam mengajarkan bahwa hilang kendali tidak bermasalah. Masalahnya ialah ketika hilang kendali diperparah hingga ke tingkah yang lebih menakutkan, bukan malah diperbaiki melalui introspeksi dan rekonsiliasi.

Temukan Hikmah Duduk di: Kursi

Baik suami maupun istri mesti menerapkan berikut. Pertama, meluruskan, bukan menjatuhkan. Tingkat ketertarikan menentukan tingkat kekecewaan. Ejekan pasangan lebih menusuk ketimbang ejekan teman. Pasalnya, pasangan yang selama ini dianggap sumber kebahagiaan, malah memberikan ejekan, cemoohan dan hinaan. Kedua, istri salehah itu kepada orang lain kearab-araban, sedangkan pada suami kebarat-baratan. Kepada orang lain, dia berpenampilan dan bersikap tertutup, namun kepada suami, dia bersikap terbuka dan menggoda. Demikian pula dengan suami kepada istrinya. Itulah das sollen versi Islam, bahkan sebenarnya versi akal sehat manusia pada umumnya. Jika ditanya, “Pilih mana antara bahagia dengan pasangan, namun tidak menjadi pusat perhatian orang atau menjadi pusat perhatian orang, namun selalu bertengkar dengan pasangan?” Baik lelaki maupun perempuan dipastikan menjatuhkan pilihan pada yang pertama. Pasalnya, menjadi pusat perhatian sekadar sensasi, sedangkan bahagia dengan pasangan adalah kebutuhan asasi. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar