Maghfur M. Ramin
Nama diri mengandung makna praktis sekaligus magis. Tidak hanya tersurat melainkan juga tersirat. Ada yang meyakini, nama adalah doa bagi penyandangnya. Nama menyimpan keindahan dan kenangan, serta mengalamatkan kebangsaan, suku, kelas sosial, agama, dan seterusnya. Kita menyadari, bahwa nama dan pemiliknya bertalian erat, yang pada gilirannya akan menunjukkan eksistensi dirinya. Nama termasuk salah satu pagina immateri yang memperteguh keberadaannya di tengah masyarakat, bahkan lebih langgeng daripada pemiliknya.
Pada periode awal sejarah bahasa, kata-kata pertama yang dikenal adalah nama. Demikian Potter (1973) menegaskannya. Tak heran kemudian, dalam pemberian nama pada seorang anak mesti memiliki maksud tertentu. Lebih-lebih bagi anak pertama, penyematan nama menghadirkan makna tersendiri bagi keluarganya, terutama bagi kedua orangtuanya. Tak disangkal, bahwa proses pemberian nama merupakan pranata khusus dalam masyarakat. Selain kedua orangtua sendiri yang memberikan nama, banyak juga di antara mereka yang memintakan nama momongan barunya pada empu masyarakat yang dicap kredibilitas. Di Madura misalnya, jika hendak mengubah nama yang sudah ditetapkan sebelumnya maka orangtua harus mengadakan ritual khusus, yaitu nyabis ke tokoh masyarakatnya dengan membawa beras dan ayam putih.
Ambil: Beasiswa ke Luar Negeri untuk SLTA dan SLTP
Mengapa sedemikian sakralnya?
Karena, nama merupakan salah satu fitur linguistik yang menginformasikan eksistensi dirinya. Contoh konkret, kita mendengar nama Bung Karno, yang muncrat dari benak kita: dialah presiden RI pertama yang telah menyulut spirit kemerdekaan Indonesia. Dalam suatu pidatonya, Bung Karno menyebutkan: Nama saya sendiri, Soerkarno. Apakah audiensi tidak mengenalnya? Oh tidak. Siapapun telah tahu betul tokoh sang proklamator itu. Namun, sesunguhnya dengan menyebutkan nama diri hendak menyatakan: inilah aku. Ketika mendengar namanya, kita tidak hanya mengecap dia sebagai orator ulung, melainkan juga keturunan Jawa.
Nama kecilnya, Koesno Sosrodihardjo. Karena di usia lima tahun, ia sering sakit maka diganti dengan Soekarno. Istilah jawa: keabotan jeneng. Dalam jawa, Soe/Su berarti ‘baik’. Kata ‘Karno’ oleh orang tuanya diambil dari nama panglima perang dalam kisah Bharata Yudha, yaitu Karna. Karena Jawa, ‘a’ berubah ‘o’, menjadilah Karno. Final: Soekarno. Dengan nama baru ini, orangtuanya berharap anaknya menjadi super hero bagi bangsa Indonesia sesuai namanya. Akhirnya: nama Soekarno yang sekaligus doa terealisasi sebagai pemimpin yang bestari.
Baca Juga: Pola Pikir Kontekstualis
Nama Ki Hajar Dewantara, ingatan kita disentak bahwa dia pelopor pendidikan bagi kaum pribumi pada masa kolonial Belanda. Kita mendengar nama Agustinus Adisutjipto, maka otak terpatri dia pahlawan nasional dan seorang komodor udara Indonesia. Dia pula yang mendirikan Sekolah Penerbang di Yogyakarta, yang di kemudian hari diganti dengan nama Bandara Adisutjipto untuk mengenang jasanya. Nama RA. Kartini, memori kita menyatakan bahwa dia sosok wanita yang menginspirasi kebangkitan perempuan pribumi lainnya. Juga nama Rendra, kita langsung mengingat bahwa dia sang penyair dan sastrawan yang dijuluki Si Burung Merak. Dia yang menyuarakan perlawanan terhadap pemerintah dengan puisi-puisinya. Nama mereka abadi dalam lempeng sejarah. Walau nyawa telah direnggut dari kandung badan, namun mereka tetap dianggap ada. Ini karena kesadaran mereka untuk membagaimanakan keberadaannya seoptimal mungkin. Nilai bejat dalam diri ditekan habis-habisan, namun yang dijunjung adalah nilai luhur. Selain nama yang telah disebut, kenalkah pada Muhammad SAW? Penulis pastikan: pembaca bisa menjawab.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Pola Pikir Ekstensifikasi
Kalau sudah selesai meneropong siapa Muhammad SAW itu, mari kita menjelajah nama Jawa lagi pada era 70an dan sebelumnya. Banyak orang Jawa yang menamai anaknya dengan nama khas Jawa. Jenis nama laki-laki: Ngatimen, Paimo, Paijo, Panut, dan lain-lain. Puniem, Saminten, Sanikem, Lasikem, Musiyem, Tuminem, Saminem, Painah, Painem untuk nama perempuan, serta sejumlah nama lainnya yang serupa. Nama-nama tersebut menggigil di pojok sejarah nama anak yang lahir di masa sekarang. Alasan sederhanya: adalah karena nama yang demikian terkesan primitif, tak berpendidikan, dan tidak mengikuti tren masa kini. Ini sesungguhnya mengisyaratkan eksistensi generasi yang sudah abai terhadap nama-nama yang khas budaya sendiri. Kemudian, beranjak membebek nama yang disinyalir selangkah lebih maju. Modern. Apa ndak kacau?
Di zaman kekinian ini, produksi nama banyak diserap dari bahasa asing agar dianggap manusia maju. Padahal dalam menunjukkan eksistensi diri tidak karena nama semata melainkan bagaima dirinya mengada dengan sejumlah kearifan. Namun apa boleh buat, banyak masyarakat kita bernama Arab, Inggris, India, dan lain-lain. Misal, Arab: Saifullah, Inggris: Go to School, India: Anjay, dan seterusnya. Tak cukup demikian, terjadi pula hibridasi antara nama lokal, nasional, dan internasional. Arab-Spanyol: Muhammad Tino, Arab-Perancis: Asma Nadiya, Jerman-Indonesia: Julia Peres, dan seterusnya. Jika ditelusuri lebih jauh, asal nama ini tidak hanya dari negara tersebut bisa yang lain.
Selain Potret Eksistensi Nama, Ambil Juga: Beasiswa S1 atau S2 di Nottingham Trent University Inggris
Ada juga yang mempoles nyama dheging (Madura: nama diri) dengan gaya nama Barat yang dianggap lebih menarik. Contoh, Siapa Ebiet G. Ade? Penyanyi sekaligus penulis lagu dengan tema alam dan duka kelompok yang terpinggirkan. Demikian respon serentak kita mendengar nama itu disebut. Tapi tahukah nama lengkap Ebiet G. Ade? Ini banyak di antara kita yang menggelengkan kepala sebagai pertanda ketidaktahuannya. Lengkapnya: Abid Ghoffar bin Aboe Dja`far, lalu disulap menjadi Ebiet, Ghoffar disingkat G., dan nama ayahnya: Aboe Dja`far di-ringkes AD dengan penulisan berdasarkan bunyinya, Ade. Hasilnya: Ebiet G. Ade. Nama ini yang dikenal publik mengenai eksistensi sosok putra Banjarnegara Jawa Tengah itu.
Nama disebut tidak berarti dicatut melainkan untuk dipotret dan dipastikan, bahwa nama diri mewakili eksistensi pemiliknya di tengah masyarakat. Penyair papan atas, William Shakespeare memantapkan dengan ungkapannya: What’s in a name? Apapun jenis dan makna nama diri akan bermuara pada satu titik yang berupa eksistensi pemiliknya. Kredo Arab: Hâ anâ dza!
Maghfur M. Ramin, Penikmat Kopi Santri Pendowo Yogyakarta
5 komentar