Seputar Pendidikan #48
Aldi Hidayat
Pola pikir rekonsiliatif berarti mendamaikan gagasan-gagasan yang bertentangan. Kaidah umum kehidupan adalah bahwa setiap hal satu sama lain mempunyai persamaan dan perbedaan. Dari persamaan tercipta perdamaian. Dari perbedaan tercipta peperangan. Juga, dari dua kaidah ini, mana kaidah yang sesuai watak bawaan manusia? Sebelum menjawabnya, penting kita pertanyakan apakah manusia berwatak senang perdamaian atau senang permusuhan? Guna mengeceknya, silakan cek perasaan Anda saat berpapasan orang asing! Rata-rata–jika enggan disebut semua–orang tidak berpikir untuk memusuhi orang asing. Paling tidak apa yang mereka rasakan saat berjumpa orang asing ialah biasa saja, kurang nyaman dan lain seterusnya. Nyaris tidak ada rasa ingin memusuhi.
Mengapa mesti dicontohkan orang asing? Karena saat berjumpa orang asing, perasaan dan pikiran manusia belum terisi pengalaman-pengalaman tertentu. Perasaan dan pikirannya masih jernih. Saat itulah, watak asli bisa muncul. Orang asing yang penulis maksud murni orang asing, bukan orang yang sebelumnya memiliki hubungan sejarah dengan Anda, seperti misalnya orang negara penjajah dan orang negara jajahan.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Pola Pikir Ekstensifikasi
Walau demikian, perbedaan kerap mengguncang damai selaku watak bawaan. Mendapati hal ini, tentu usaha kita kembali pada watak bawaan. Artinya, betapapun tajamnya perbedaan, damai tetaplah harus menjadi tujuan. Hanya saja, beberapa orang tidak mengindahkan watak ini, sehingga memperlama sengitnya perbedaan yang kemudian berujung peperangan. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan pola pikir yang sesuai watak bawaan, yaitu pola pikir rekonsiliatif. Bagaimana contoh penerapannya?
Dalam pada ini, akan penulis contohkan sesuatu yang sederhana sebagai terminal menuju hal-hal yang lebih ruwet. Pertama, frasa “membaca buku” dan “tidak membaca buku” adalah bertentangan. Dalam logika atau ilmu mantiq, ini disebut oposisi kontradiktoris, yakni pertentangan yang tidak memiliki jalan tengah. Artinya, tidak ada pilihan lagi selain keduanya. Gampangnya, “membaca buku” itu bukan “tidak membaca buku”. “Tidak membaca buku” bukan “membaca buku”. “Tidak membaca buku” berarti aktivitas apa pun yang bukan “membaca buku”, seperti menulis, bercengkrama, olahraga dan lain sebagainya.
Baca Juga: Pola Pikir Kontekstualis
Beda halnya dengan “tidur” dan “sadar”. Adakah keadaan selain “tidur” dan “sadar”? Ada, yaitu “pingsan”. Pingsan tidak sama dengan tidur, karena tidur adalah aktivitas tak sadar yang disengaja, sedangkan pingsan adalah aktivitas tak sadar yang tak disengaja. Pingsan tidak datang karena kemauan, sedangkan tidur datang karena kemauan. Jadi, jalan tengah atau pilihan ketiga selain “tidur” dan “sadar” adalah “pingsan”. Pertentangan yang masih memungkinkan adanya jalan tengah ini dalam logika disebut oposisi kontraris. Andaikan pilihannya berupa, “sadar” dan “tidak sadar”, maka tentu tidak ada pilihan ketiga, karena “tidur” dan “pingsan” sama-sama masuk sebagai keadaan “tidak sadar”.
Persoalannya kemudian, apakah “membaca buku” dan “tidak membaca buku” sama sekali tidak bisa didamaikan? Misal, Anda bertanya ke teman Anda, “Habis ini, kamu mau ngapain?” Teman Anda menjawab, “membaca buku dan tidak membaca buku”. Tentu jawaban ini membingungkan. Bagaimana bisa “membaca” dan “tidak membaca” bisa dilakukan seseorang pada saat yang bersamaan? Sebenarnya tidak bertentangan, karena boleh jadi orang itu membaca buku. Di sela-sela membaca, dia jeda sejenak. Jeda itu adalah “tidak membaca buku”. Jadi, “membaca” dan “tidak membaca” memiliki waktunya masing-masing.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Menyingkirkan Debu Hasrat
Kedua, penulis contohkan sesuatu sederhana lainnya. Pernyataan “Indonesia maju sekaligus tidak maju” adalah bertentangan. Tidak mungkin Indonesia maju sekaligus tidak maju pada saat yang bersamaan. Mungkin ini bisa dijawab bahwa masuk akal juga maju dan tidak maju itu terjadi pada saat yang bersamaan. Pasalnya, bisa diperjelas “maju” dari segi apa dan “tidak maju” dari segi apa. Akan tetapi, bagaimana jika yang disebut “maju sekaligus tidak maju” berlaku untuk semua segi. Maksudnya, bisakah kita mendamaikan pernyataan “Indonesia maju sekaligus tidak maju dalam semua segi, lini, sektor, bidang dan apa pun itu tanpa kecuali”?
Jawabannya, bisa. Bagaimana penjelasannya? Pernyataan “maju dan tidak maju” belum menjelaskan mana yang potensi dan mana yang aksi. Potensi itu peluang, sedangkan aksi adalah yang lagi-lagi terjadi sekarang. Sekarang ini, Indonesia memang tidak maju. Akan tetapi, meskipun faktanya memang tidak maju, Indonesia sekarang ini pula memiliki “potensi” atau peluang untuk maju. Jadi, di balik kemunduran Indonesia, ada peluang kemajuannya pada saat yang sama. Dengan demikian, “maju sekaligus tidak maju” bisa kita pertemukan.
Telusuri Juga: FEBI UAD Bermitra dengan JKSM
Contoh sederhana itu adalah titik berangkat guna melihat gagasan-gagasan besar di luar sana yang selama ini dianggap bertentangan. Di antara pertentangan itu adalah “Pancasila vs Khilafah”, “Islam vs Sekularisme”, “Islam vs Liberalisme”, “Islam vs Komunisme”, “Tauhid vs Ateis” dan masih banyak lagi. Bisakah konsep-konsep raksasa ini kita pertemukan? Tentu bisa. Pasalnya, pertentangan tidak jarang berdasarkan kesan, bukan berdasarkan pikiran. Acapkali orang mengira, “Kalau sudah sekuler, maka pasti tidak ada islami, kalau sudah pancasilais, maka pasti bukan khilafah, kalau sudah komunis, maka pasti tidak islami dan pancasilais”. Tidak bisa sesederhana itu kita mengambil kesimpulan, karena semua konsep di atas begitu besar, sehingga tidak mudah asal menetapkan kesimpulan.
Nikmati Puisi Ibu D Zawawi Imron
Dua contoh sebelumnya (“membaca buku dan tidak membaca buku” atau “maju sekaligus tidak maju”) adalah contoh sederhana. Sesuatu yang sederhana biasanya tidak membuka peluang pembacaan baru, karena kesederhanaannya. Artinya, dua contoh itu sudah jelas dan tegas. Akan tetapi, mengapa masih bisa didamaikan? Itu adalah fahw al-khithab, jika kita pinjam istilah Ushul Fiqh. Artinya, jika sesuatu sederhana yang bertentangan saja dapat kita pertemukan, padahal ia sudah jelas dan tegas, maka apalagi dengan konsep-konsep raksasa yang mengandung banyak ambiguitas. Konsep raksasa membutuhkan banyak analisa. Dari banyaknya analisa itu, terbuka kemungkinan lebar untuk perdamaian dan pertemuan antargagasan. Itulah sekapur sirih tentang pola pikir rekonsiliatif. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta
1 komentar