Pola Pikir Dekonstruktif

Esai, Literasi450 Dilihat

Seputar Pendidikan #49

Aldi Hidayat

Dekonstruksi adalah gagasan filosofis Jacques Derrida, filsuf Prancis berdarah Aljazair tentang bahasa. Dekonstruksi gampangnya adalah bahwa kata tidak menunjuk makna, tapi menunjuk kata lainnya. Contoh, kata “kucing” selama ini menunjuk fisik seekor binatang rumahan seperti yang kita ketahui bersama. Sebenarnya tidak demikian. Kata “kucing” adalah kata buatan manusia yang sengaja dipasangkan pada binatang tersebut. Bila mau diperjelas, kata “kucing” mesti dijelaskan lagi menggunakan kata-kata. Jadi, jika ditanya, “Apa itu kucing?”, maka kita akan menjawabnya dengan kata-kata berikut misalnya, “Kucing adalah hewan yang mengeong”. Masalahnya kemudian, dekonstruksi mempertanyakan lagi, “Apa itu adalah?”, “Apa itu hewan?”, “Apa itu yang?” dan “Apa itu mengeong?”.

Ketika kita menjelaskan masing-masing kata di atas, maka kata kucing kemudian tidak langsung menunjuk fisik binatang yang dimaksud. Akan tetapi, kata kucing malah berhubungan kata-kata lainnya. Misal, kata “Adalah” merupakan “kata penjelas”. Pertanyaan selanjutnya, “Apa itu kata?” dan “Apa itu penjelas?”. Jadi, semakin kita mempertanyakan tiap-tiap kata, kita semakin tidak menggapai makna, karena kata tidak berhubungan makna, melainkan dengan kata lainnya, bahkan “kata” sendiri mesti dijelaskan pula dengan kata-kata.

Jangan Leewatkan Baca Juga: Pola Pikir Rekonsiliatif

Tatkala demikian, lalu di manakah makna? Makna tidak lain kecuali anggapan kita belaka bahwa suatu kata maknanya pasti begini, padahal nyatanya adalah begitu. Begini dan begitu pun adalah masih berupa anggapan. Jika demikian, apakah dekonstruksi berarti hendak menghancurkan makna? Tidak…. dekonstruksi hendak menunjukkan bahwa produk kita, khususnya yang bernama bahasa tidak sepenuhnya sesuai dengan maksud kita. Bahasa memiliki dunianya sendiri, sehingga boleh jadi bertentangan dengan maksud kita.

Contoh, presiden misalkan berkata, “Pemerintahan kita sudah aman”. Maksud presiden adalah bahwa pemerintahan sudah bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Akan tetapi, kata “aman” sendiri bisa bermakna aman dari ancaman demonstrasi, sehingga bisa korupsi sesuka hati. Bolehkah pemaknaan kedua ini menurut aturan gramatikal teks tadi? Boleh, karena kata “aman” berarti seseorang merasa nyaman, tenang, tenteram, gegara tidak ada gangguan. Sangat mungkin nyaman dimaksud adalah nyaman bertindak semaunya, karena kritik rakyat berhasil dibungkam oleh berbagai aturan, seperti UU ITE, UU Anti Terorisme dan lain semacamnya.

Baca Juga: FEBI UAD Bermitra dengan JKSM

Ketika pertanyakan lagi, “Apa itu nyaman, tenang, tenteram dan seterusnya”, lagi-lagi kita berurusan dengan kata-kata. Akhirnya, sekali lagi penulis tegaskan, tidak ada makna yang sepenuhnya mapan. Kemapanan nyaris bukan karena relasi pasti antara kata dan makna, tetapi karena relasi kuasa dan makna. Bagi yang pro pemerintah misalkan, kata “aman” berarti bersih dari KKN. Mengapa dipahami demikian? Karena mereka berada di bawah kuasa pemerintah, sehingga memaknainya berbeda akan terancam oleh kuasa. Begitu pun dengan pihak oposisi (kritikus pemerintah). Aman di sini akan diartikan pemerintah “sudah” aman dari sorotan, sehingga bisa melakukan KKN semaunya. Kenapa mereka memahami begini? Karena mereka berada dalam kuasa oposisi, sehingga terdorong untuk memaknai ucapan pemerintah seperti tadi.

Kalau begitu, apakah sesuatu yang benar-benar mapan tidak ada? Dekonstruksi tidak bermaksud menghilangkan kemapanan sama sekali. Dekonstruksi adalah dorongan filosofis agar kita terus bertanya dan bertanya. Mengapa? Karena potensi monopoli makna atas makna lainnya selalu terbuka. Lebih jelasnya, penjajahan gagasan atas gagasan di luar sana senantiasa berpotensi mengemuka. Artinya, dekonstruksi merupakan gebrakan filosofis atas “zona nyaman” yang kita anggap nyaman, padahal nyatanya merupakan “zona penjajahan”.

Ambil: Beasiswa Lulusan SLTP Menuju Turki

Secara lebih dalam, dekonsruksi mengantarkan kita pada gerbang ketidaktahuan. Bagaimana itu? Selama ini tahu kita pahami sebagai tampaknya sesuatu sebagaimana apa adanya dalam benak kita. Misal, Anda sah disebut tahu Hp, kalau yang terbayang di benak Anda adalah fisik Hp sebagaimana yang diketahui selama ini. Apabila yang terbayang di benak Anda adalah fisik rumah, maka Anda belum layak disebut tahu Hp. Pun juga, jika Anda tidak bisa membayangkan sama sekali wujud Hp, Anda belum sah disebut tahu Hp. Persoalannya, kata Hp tidak sepenuhnya menunjuk wujud yang kita akui mewakili Hp. Kata ini malah berhubungan dengan kosakata lain yang justru membuat wujud Hp tidak terwakili secara langsung. Derrida menyebutnya sebagai penundaan makna.

Di kala kosakata tersebut tidak sepenuhnya mewakili makna, maka hilanglah kita untuk mendapuk diri bahwa makna ini yang paling benar. Ketika keabsahan makna tidak bisa kita gapai, maka kita berada dalam zona ketidaktahuan yang kita anggap pengetahuan. Pada titik inilah, Derrida berkoar, “Jene sais pas. Il paut croire“: Aku tidak tahu apa-apa. Aku hanya beriman. Derrida mengakui betapa dirinya, bahkan manusia lainnya takkan bisa mencapai kemapanan makna sebagai tiket untuk disebut tahu. Derrida hanya beriman bahwa pengetahuan dan kebenaran itu ada. Guna menjangkaunya, manusia harus terus memikirkannya, bukan berhenti pada satu pemahaman.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Potret Eksistensi Nama

Pola pikir dekonstruksi berfungsi mencegat fanatisme pada satu gagasan. Dengan begitu, kita bisa terbuka pada aneka ragam gagasan. Meski begitu, apakah kita tidak perlu mempunyai pegangan? Pegangan tetap ada, namun jangan sampai pegangan membuat kita alergi secara sentimental pada gagasan lainnya. Pada akhirnya, perbedaan dipersilakan. Akan tetapi, pertarungan antargagasan yang berbeda berada pada tataran argumen, bukan sentimen.

Ketika pola pikir dekonstruktif kita terapkan menjadi laku hidup, maka bisa kita singkat menjadi petuah Socrates, “Yang aku tahu hanya satu yaitu bahwa aku tidak tahu apa-apa“. Artinya, dekonstruksi adalah ajakan etis bagi kita untuk belajar hingga bodoh. Pasalnya, semakin kita mendalami pengetahuan, kita akan berjumpa sekian banyak pertanyaan yang terlalu rumit untuk dicarikan jawaban. Meski begitu, kita akan ketagihan untuk mencari terus sebuah jawaban. Dari situ, geliat hidup bisa berpusat pada pengetahuan dan wawasan. Demikian. Wallahu A’lam.

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar