Pola Pikir Apresiatif

Esai, Literasi308 Dilihat

Seputar Pendidikan #44

Aldi Hidayat

Beberapa orang terkadang mudah anti terhadap sesuatu yang sudah berlumur stigma. Kalau dalam doktrin agama misalnya, orang Islam Aswaja mudah anti terhadap Wahabi, Syi’ah, Ahmadiyah dan lain sebagainya. Jika menyangkut ideologi, kita mudah anti pada komunisme. Saat masuk ranah susila, kita mudah anti pada LGBT dan PSK. Masih banyak lagi anti-anti yang tanpa kita sadari membekas dalam diri. Pada saat yang sama, orang Wahabi, Syi’ah, mungkin pula Ahmadiyah mudah anti pada Ahlus Sunnah. Komunisme mudah anti pada kapitalisme atau mungkin juga pada Pancasila, meskipun Pancasila bukanlah ideologi, melainkan dasar negara. LGBT dan PSK mungkin pula anti pada mereka yang hidup normal dengan sumber ekonomi yang lancar.

Persoalannya, apakah anti itu manusiawi? Jika manusiawi diartikan sebagai sesuatu yang lumrah menjangkiti manusia, maka jelas anti adalah manusiawi. Apabila manusiawi diartikan sebagai berperikemanusiaan, maka izinkan penulis menghela nafas barang sejenak! Mengapa? Pertanyaan ini butuh penjabaran lebih luas. Esai kali ini mencoba menjawabnya.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Masa Kian Maju, Rasa Kian Layu

Seandainya ada orang Syi’ah bilang, “Syariah itu solusi bagi problem kehidupan“, apakah kita sebagai orang Ahlus Sunnah akan menolaknya, hanya karena si pembicara Syi’ah? Bilamana orang Wahabi berkata, “Nabi melarang bid’ah”, apakah kita menyesatkan ucapannya hanya karena dia Wahabi? Apabila Ahmadiyah berkata, “Islam mengajarkan kasih sayang”, apakah kita akan menilai ucapannya menyimpang hanya karena dia Ahmadiyah? Bilamana orang liberal berkata, “Islam itu agama kemanusiaan”, apakah kita bakal menyingkirkan ucapannya hanya karena dia liberal? Demikian pula dengan Pancasila. Apakah Pancasila itu berbahaya hanya karena tidak mencantumkan nama Allah, Nabi Muhammad, para sahabat dalam sila-silanya?

Di pihak lain, bilamana ada gagasan bahwa, “Kita harus memikirkan kebaikan bersama“, adakah kita bakal menganggapnya salah, hanya lantaran pengucapnya adalah seorang komunis? Jika seorang kapitalis berkata, “Manfaatkan sebaik mungkin masa mudamu untuk mendulang kesuksesan di masa depan!”, adakah kita akan menuduhnya salah kaprah, hanya karena si pengucap adalah kapitalis? Atau bagaimana dengan pentas seni yang menampilkan lakon tentang indahnya kebersamaan? Adakah kita menganggapnya bid’ah, hanya karena Nabi SAW tidak mencontohkannya?

Baca juga: Cara Daftar LPDP 2022 Gelombang 1

Semua pertanyaan itu hendak menunjukkan bahwa siapa dan apa saja adalah sumber kebenaran. Karena itu, membatasi diri pada satu pemahaman berseberangan dengan kodrat kehidupan. Beragam adalah kodrat. Jika ia memang kodrat, lalu untuk apa kita berhasrat untuk memberantas? Pertanyaan susulannya adalah untuk apa kodrat kehidupan itu mesti beragam? Karena Tuhan itu Maha Luas, maka manifestasi dari keluasan-Nya ialah beragamnya kehidupan. Demikian jawaban secara teologis. Jika dijawab secara teoantroposentris (ketuhanan dan kemanusiaan), kita bisa berpegang pada tujuan utama manusia, yaitu sebagai khalifah atau pengelolal dunia dalam arti gampangnya. Sebagai pengelola, maka manusia memang seyogianya membuka diri pada apa dan siapa saja. Tanpa berpikir terbuka, maka manusia tidak akan bisa mengelola. Pada gilirannya, alih-alih mau mengelola, ternyata dia memberantas yang lainnya.

Pola pikir apresiatif ialah berusaha mencari sisi benar, sisi baik dan sisi indah dari sesuatu yang kita nilai salah, buruk dan jelek. Al-Qur’an jauh-jauh hari mengisyaratkan:

…رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هذَا بَاطِلًا….

……Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia…. (QS. Ali ‘Imran [3]: 191).

Nikmati Juga: Episode 2 Gibah yang Islami

Jika tidak ada yang sia-sia, maka seburuk-buruk perkara pasti ada baiknya, sesalah-salah data pasti ada benarnya dan sejelek-jelek karya pasti ada indahnya.

Apabila ini kita terapkan dalam dunia sosial, maka kebencian pada seseorang tidak pantas berlebihan. Hadits Nabi SAW tentang ini berbunyi:

أحبب حبيبك هونا ما عسى أن يكون بغيضك يوما ما وأبغض بغيضك هونا ما عسى أن يكون حبيبك يوم ما!

Cintailah kekasihnya secara biasa saja, karena boleh jadi dia akan menjadi musuhmu suatu saat nanti! Bencilah pada musuhmu secara biasa saja, karena bisa saja suatu waktu dia menjadi kekasihmu!

Tidak jarang seseorang enggan mengakui sisi benar, baik dan indah dari seseorang, lantaran dia membenci orang itu. Benci yang buta memang membutakan mata dan hati akan sisi positif dari apa dan siapa yang dibenci. Pola pikir apresiatif adalah obat penawar bagi dia yang mengidap anti terhadap sesuatu. Orang fundamental mudah anti pada pluralisme. Orang pluralis mudah anti pada fundamentalisme. Dua-duanya keliru, karena sama-sama mengidap sikap anti. Karena itu, kedua belah pihak mesti menganut pola pikir apresiatif.

Tonton: Pembaacaan Puisi Ibu oleh D Zawawi Imron

Secara praksis, bagaimana menerapkan pola pikir apresiatif? Pola pikir ini setidaknya terbagi pada tiga tingkatan. Pertama, menghargai pihak lain yang berbeda. Kedua, berdialog dengan pihak yang berbeda. Ketiga, mempelajari pihak yang berbeda guna memperbaiki diri sendiri.

Aliran A berpendapat begini, sedangkan aliran B berpendapat begitu. Islam berpendapat begini, sedangkan Barat berpendapat begitu. Bagaimana pola pikir apresiatif yang mesti terjalin antara kedua belah pihak? Pertama, masing-masing saling menghargai dengan cara tidak menilai satu sama lain sebagai salah total (tidak ada benarnya sama sekali). Kedua, kedua belah pihak berdialog guna menemukan duduk perkara. Ketiga, tiap-tiap pihak saling mempelajari satu sama lain guna memperbaiki diri dalam rangka memperbaiki diri masing-masing.

Sering kita berkoar kebenaran hanya milik Tuhan. Apa ini maksudnya? Maksudnya adalah bahwa yang benar sama sekali tanpa ada salahnya hanyalah Tuhan. Sesama ciptaan pasti mengidap benar sekaligus salah. Kalau begitu, keterbukaan yang berupa saling apresiasi adalah keharusan. Mengapa diharuskan, karena ia adalah kebutuhan yang selama ini belum membekas dalam kesadaran. Jadi, ia diharuskan agar kita sadari bahwa pola pikir apresiatif adalah kebutuhan. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar