Perempuan Hamil atau Menyusui Tidak Puasa?

Esai, Literasi116 Dilihat

KH. Heri Kuswanto

1) Menurut madzhab syafi’i,
Abdurrahman al-Juzairi dalam al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah:

اَلشَّافِعِيَّةُ قَالُوا اَلْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا بِالصَّوْمِ ضَرَرًا لَا يُحْتَمَلُ سَوَاءٌ كَانَ الْخَوْفُ عَلَى أَنْفُسِهِمَا وَوَلِدَيْهِمَا مَعًا أَوْ عَلَى أَنْفُسِهِمَا فَقَطْ أَوْ عَلَى وَلَدَيْهِمَا فَقَطْ وَجَبَ عَلَيْهِمَا الْفِطْرُ وَعَلَيْهِمَا الْقَضَاءُ فِي الْأَحْوَالِ الثَّلَاثَةِ وَعَلَيْهِمَا أَيْضًا اَلْفِدَيَةُ مَعَ الْقَضَاءِ فِي الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ وَهِيَ مَا إِذَا كَانَ الْخَوْفُ عَلَى وَلَدِهِمَا فَقَطْ

Perempuan hamil dan menyusui ketika puasa khawatir bahaya baik (dirinnya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja), maka dalam ketiga kondisi ini mereka wajib meninggalkan puasa dan wajib meng-qadla`nya.

Namun dalam kondisi ketiga yaitu ketika puasa itu dikhawatirkan membayahakan anaknya saja, maka (selain mengqadha) juga diwajibkan fidyah”

Ibu hamil atau menyusui yang tidak dapat berpuasa pada bulan Ramadan terbagi dalam tiga kelompok:

1. Ibu hamil dan menyusui yang khawatir terhadap kesehatan dirinya jika berpuasa:

2. Ibu hamil dan menyusui yang khawatir terhadap kesehatan dirinya dan bayinya sekaligus jika ia berpuasa:

3. Ibu hamil dan menyusui yang khawatir terhadap kesehatan janin atau bayinya saja jika ia berpuasa.

– Untuk kelompok pertama dan kedua, ibu hamil atau menyusui tersebut dapat meninggalkan puasa Ramadan kemudian mengqadanya sejumlah hari yang ditinggalkan, di luar bulan Ramadan.

– Sedangkan kelompok ketiga, selain mengqada puasa di luar Ramadan, juga membayar fidyah sejumlah hari yang ia tinggalkan.

Pendapat berbeda:

– pendapat ulama Mazhab Hanafiyah menuliskan, bahwa perempuan hamil atau menyusui yang tidak berpuasa secara penuh pada Ramadan wajib menggantinya dengan membayar fidyah sejumlah hari ia tidak berpuasa.

– tidak perlu mengganti puasa tersebut pada hari lain selepas bulan Ramadan. Fatwa ini dirujuk dari QS al-Baqarah ayat 184.

أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

2) Fidyah:

– Satu mud (makanan pokok) untuk setiap hari yang ditinggalkan yang diberikan kepada miskin atau faqir.

– Satu mud kurang lebih 675 gram beras, dibulatkan 7 ons.

– Muhammad Khatib asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj:

وَلَهُ صَرْفُ أَمْدَادٍ مِنْ الْفِدْيَةِ إلَى شَخْصٍ وَاحِدٍ لِأَنَّ كُلَّ يَوْمٍ عِبَادَةٌ مُسْتَقِلَّةٌ

teknis pembayaran fidyah boleh diberikan kepada satu orang miskin. (misal jika yang ditinggalkan 10 hari maka ia wajib memberikan 10 mud. diberikan boleh kepada satu orang miskin atau fakir.

– membahayakan atau tidak, berdasarkan kebiasaan sebelumnya, keterangan medis atau dugaan yang kuat.

– As-Sayyid Sabiq

مَعْرِفَةُ ذَلِكَ بِالتَّجْرِبَةِ أَوْ بِإِخْبَارِ الطَّبِيبِ الثِّقَةِ أَوْ بِغَلَبَةِ الظَّنِّ

Untuk mengetahui apakah puasa tersebut bisa membahayakan (bagi dirinya beserta anaknya, dirinya saja, atau anaknya saja), bisa melalui kebiasaan sebelum-sebelumnya, keterangan dokter yang terpecaya, atau dengan dugaan yang kuat.

 

KH. Heri Kuswanto, Pengasuh Pondok Pesantren Lintang Songo, A’wan Syuriah PWNU DIY sekaligus dosen IIQ An Nur Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *