Pendidikan Permakultur untuk Masa Depan Makmur

Esai, Literasi138 Dilihat

Seputar Pendidikan #22

Aldi Hidayat

Ramalan malaikat yang dikutip QS. Al-Baqarah [2]: 30 bukan isapan jempol belaka. Merusak alam yang disinyalir malaikat telah menjadi kegemaran manusia. Pemanasan global adalah salah satu dampak dari hasrat eksploitatif manusia atas Sumber Daya Alam (SDA). Apa dan bagaimana pemanasan global? Esai ini hendak melansir sejenak tentangnya.

Berkaca pada laporan CNBC, tertanggal 10 November 2021, produksi Karbondioksida (C02) dewasa ini 10 kali lipat lebih besar dibanding produksinya 800.000 tahun lalu. Dari sekian banyak negara produsen C02 terbesar, Indonesia menduduki peringkat ke-5. Pemanasan global tidak hanya ditengarai oleh produksi karbon besar-besaran. Di sisi lain, ia juga dilatarbelakangi oleh pembabatan hutan. Karbondioksida adalah sampah. Sampah ini tidak bisa dilenyapkan kecuali oleh campur tangan tanam-tanaman. Pasalnya, tetanaman dan tetumbuhan menyerap karbon lalu mendaurulangnya menjadi oksigen, selaku kebutuhan utama manusia dan makhluk hidup lainnya. Karena itu, suasana di pegunungan yang masih setia dengan tetumbuhan terasa lebih sejuk dan segar dibanding suasana di perkotaan yang sesak oleh asap kendaraan.

Selain itu, teknologi pertanian masa kini sudah tidak tabu lagi dengan bahan-bahan kimiawi. Bahan-bahan itu satu sisi memudahkan produksi pangan, karena hama bisa dibinasakan. Sisi lainnya, bahan kimiawi itu juga membunuh serangga lain, sebagai tetangga hama. Serangga lain itu akhirnya menjadi korban yang dibunuh tanpa dosa. Ini adalah dampak sederhana dari eksploitasi manusia terhadap alam. Dampak lebih besarnya ialah punahnya hewan, karena bumi semakin kekeringan. Dari bumi semakin kering, binatang herbivora terancam punah. Selanjutnya, binatang karnivora tidak mendapatkan bahan makanan, sehingga ikut musnah. Pada gilirannya, manusia menjadi korban dari kerakusaannya sendiri dalam berulah.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Gegara Digital, Pendidikian Kian Dangkal

Pembabatan hutan, asap industri, pembangunan rumah kaca dan hilir-mudik kendaraan berbahan bakar minyak adalah pemicu dan pemacu utama pemanasan global. Semua itu susah dihentikan, karena para pemiliknya adalah kalangan ber-uang–yang semoga saja tidak menjadi beruang. Ketika dihadapkan dengan uang, semua orang–meminjam pendapat Voltaire, filsuf Prancis–akan bersatu tanpa memandang agama, rasa, etnis, identitas, budaya dan lain seumpamanya. Meski begitu, ada celah harapan dalam menata kembali kehidupan yang lebih sejuk dan segar dengan ekosistem yang bertemali secara simbiosis nan familiar. Harapan itu adalah permakultur.

Disaripatikan dari artikel Muhammad Ali Fakih, bertajuk, “Permakulturisasi Pesantren sebagai Solusi Ekologis Kaum Sarungan untuk Perubahan Iklim di Masa Depan: Model Bumi Langit Institute”, permakultur adalah akronim dari dua kata; permanent dan agriculture. Permanent berarti berkelanjutan, sedang agriculture berarti pertanian. Jadi, permakultur secara leksikal adalah pertanian yang berkelanjutan. Akan tetapi, permakultur menjangkau ruang lingkup lebih dari cakupan makna etimologisnya. Permakultur adalah cara pandang hidup dengan cara memanfaatkan alam sekadarnya, bukan untuk memperkaya. Lebih dari itu, permakultur menetapkan bahwa apa yang kita berikan pada alam mesti melebihi apa yang kita dapat dari alam. Ini karena bumi sudah kehilangan banyak kekayaannya yang mampu menopang kelangsungan seluruh ekosistem di dalamnya. Karena itu, guna mengembalikan kembali kekayaan alam, pemberian lebih atasnya tidak boleh tidak diupayakan. Semisal, tebang 1 pohon diganti dengan tanam 2 pohon atau setidaknya 1 pohon, bukan hanya ditebang tanpa memikirkan nasib anak-cucu dan ekosistem ke depan.

Stop! Dengarkan Dulu Suara Asli Gus Mus untuk Nasehat Ramadan 2022

Permakultur adalah pengetahuan praktis. Ia lebih berupa praktek menjaga kelangsungan makhluk hidup. Lantaran ditekankan pada praktek, maka pendidikan permakultur berarti kampanye cinta lingkungan oleh lembaga pendidikan kepada seluruh unsurnya, baik staf administratif, guru, murid maupun masyarakat. Secara sederhana, penulis akan mengutip contoh Ali Fakih tentang potensi pesantren dalam menghidupkan pesantren permakultur.

Data per Agustus 2021 Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag R.I.) mencatat ada 30.495 pesantren di seluruh Nusantara. Total ada 4.373.694 santri dan 474.865 ustadz. Andaikata setiap pesantren memiliki luas tanah 1 hektar, maka akan ada kawasan permakultur seluas 30.495 hektar. Luas ini adalah 24% dari luas tanah Jawa, yaitu 128.297 hektar. Jikalau setiap santri dan ustadz menanam pohon sekali dalam setahun, maka dalam setahun akan ada 4.848.559 pohon. Seandainya yang ditanam adalah pohon manggis yang daya serapnya terhadap karbondioksida sebesar 0,60 gram, maka 4 juta lebih pohon manggis dapat menyerap 29.091.354 gram karbondioksida. Ini masih pohon manggis.

Jangan Lewati! Ikuti Lomba-Lomba Berkelas di Raja Lomba #solusiprestasimu

Bagaimana jikalau yang ditanam adalah pohon lain yang daya serapnya terhadap karbondioksida lebih besar? Ali Fakih meneruskan jikalau dalam 1 hektar tanah, ditanami 200 jenis pohon, maka dalam satu dekade (10 tahun), semua pohon itu mampu menyerap karbondioksida sebesar 36.594.000. Jelas ini merupakan sumbangsih pesantren terhadap penyejukan kembali alam yang didambakan Paris Agreement. Paris Agreement adalah perjanjian 196 negara yang menyadari betapa lingkungan saat ini sudah dalam keadaan sangat darurat. Lain lagi dengan lembaga pendidikan non-pesantren. Tentu saja, kolaborasi setiap instansi pendidikan akan mengembalikan dunia pada suasana yang familiar antara manusia dan makhluk bumi lainnya.

Permakultur akan mengurangi pemanasan global. Pemanasan global bukan hanya mengancam binatang dan tanaman, tapi juga mengancam ekonomi umat manusia. Pasalnya, pemanasan global akan menghambat, bahkan menggagalkan panen pertanian. Data 2017 menunjukkan bahwa gagal panen di Jawa Timur mencapai angka sebesar Rp. 3 triliun. Gagal panen itu–dari sekian banyak sebabnya–tentu tidak bisa dilepaskan dari sebab berupa pemanasan global. Pasalnya, tanaman membutuhkan asupan air, sedang pemanasan global membuat air kian menyusut. Jadi, permakultur adalah paradigma baru dalam menata dan menatap masa depan yang lebih makmur. Meski begitu, adakah kendala dalam menerapkan paradigma ini? Jelas ada. Tapi, akan penulis bahas di esai berikutnya. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar