Seputar Pendidikan #23
Aldi Hidayat
Permakultur adalah paradigma solutif bagi masa kini yang amat eksploitatif. Meski begitu, permakultur bukan ilmu teoritis yang cukup diperbincangkan di ruang kelas, warkop, cafee atau tempat publik lainnya. Ia lebih berupa ilmu praktis yang butuh penerapan. Tidak hanya itu, permakultur tidak bisa dilepaskan dari modal, setidaknya modal uang. Pasalnya, permakultur butuh lahan dan bibit tanaman yang mau ditumbuhkan. Persoalannya, seberapa banyak lahan yang tersedia dan seberapa besar peluang untuk menanami lahan tersebut? Inilah dua poin utama esai edisi ini.
Pertama, seberapa banyak lahan yang tersedia. Lahan paling pokok bagi permakultur adalah hutan. Pasalnya, hutanlah yang mengandung oksigen terkaya dibanding daerah pemukiman. Disebut demikian, lantaran oksigen diproduksi oleh tanaman, sedangkan daerah pemukiman secara kuantitas, mengandung tanaman yang jauh lebih sedikit tinimbang hutan. Diliput oleh CNN Indonesia, tertanggal 10 November 2021, Arie Rompas, selaku ketua Tim Kampanye Greenpace menuturkan bahwa angka deforestasi (pembabatan hutan) akhir-akhir ini mencapai 3,5 kali lipat luas pulau Bali. Secara detail, pada 2015-2016, deforestasi memakan lahan seluas 629,2 ribu hektar.
Pada periode 2016-2017, deforestasi menelan lahan seluas 480 ribu hektar. Tahun 2017-2018, deforestasi menghabiskan lahan seluas 439,4 ribu hektar. Pada 2018-2019, deforestasi mengunyah 462,5 ribu hektar dan pada 2019-2020, deforestasi mengalami penurunan, yakni melahap 115,5 ribu hektar. Penurunan ini ditegaskan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia. Penurunan ini diapresiasi, karena merupakan penurunan deforestasi tertinggi selama 20 tahun terakhir. Akan tetapi, penurunan ini mesti kita kaitkan dengan situasi Indonesia dan dunia selama 2019-2020, yakni pandemi Covid-19 yang membuat laju industri menurun. Jadi, penurunan ini belum pantas mendapat apresiasi, mengingat hal demikian dipicu oleh bencana global, bukan murni kebijakan penguasa.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Pendidikan Permakultur untuk Masa Depan Makmur
Walaupun deforestasi menurun, yang paling dibutuhkan oleh permakultur bukan penurunannya, tetapi reforestasi alias penanaman hutan kembali. Penurunan tanpa penanaman kembali tidak akan mengubah situasi global yang kian panas. Sebaliknya, hal itu akan mempertahankan, bahkan meningkatkan pemanasan global. Disebut meningkatkan, lantaran penyebab pemanasan global tidak hanya pembabatan hutan, namun laju industri, pembuangan limbah sembarangan, pembangunan rumah kaca, asap kendaraan dan masih banyak lagi. Pada 2020, luas hutan Indonesia–meminjam warta Forest Digest, bertitimangsa 25 Juli 2021–adalah 120,5 juta hektar. 64 juta darinya dieksploitasi oleh 600 perusahaan. Artinya, hampir separuh hutan Indonesia tinggal kenangan. Guna memulihkan separuh hutan itu, dibutuhkan berjubel-jubel syarat. Salah satunya ialah adanya wewenang untuk reforestasi. Pasalnya, dari 64 juta hektar itu, sangat mungkin ada lahan yang tidak bisa ditanami pohon, karena sudah ditanami semen dan beton. Karena itu, seberapa besar peluang kita untuk menghidupkan permakultur? Kini kita masuk ke poin kedua.
Kedua, dilansir dari tempo.com, bertitimangsa 16 Desember 2021, Muhammad Choilifihani, selaku Direktur Kependudukan dan Jaminan Sosial dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut bahwa Indonesia kini menuai bonus demografi. Disebut demikian, karena warga negara berusia produktif saat ini adalah yang terbanyak semenjak Indonesia merdeka. Dari sudut idealita, bonus demografi bisa meningkatkan kuantitas dan kualitas proses ekonomi. Sebaliknya, dari sudut realita, bonus demografi bisa menjadi ancaman, karena lapangan kerja barangkali tidak bisa menampung mereka. Akibatnya, pengangguran dan kemiskinan boleh jadi semakin merajalela. Pertanyaannya, mana lebih kuat antara idealita dan realita dalam mengejawantah di masa depan?
Cari Lowongan Kerja Daerah Istimewa Yogyakarta? Klik Loker Jogja
Bonus–tapi sebenarnya adalah surplus–demografi pasti menuntut tiga hal yang sama-sama mengancam ketersediaan lahan. Pertama, bertambahnya penduduk menuntut pembangunan tempat tinggal. Tempat tinggal yang dibutuhkan bukan sekadar tempat tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi. Sangat mungkin, tempat tinggal itu butuh bagasi, ruang santai, studio pribadi, perpustakaan dan masih lagi. Lain lagi dengan luas masing-masing ruang. Pada gilirannya, satu rumah yang hanya ditempati 2-5 orang butuh luas lahan yang bisa menampung mestinya 10-20 orang.
Kedua, lembaga pendidikan tentu perlu memperbaharui, bahkan memperluas sarana dan prasarana. Lagi-lagi bawaannya pada penambahan lahan. Penambahan lahan pasti membutuhkan uang. Sementara itu, begitu banyak lembaga yang uang untuk penambahan lahannya saja masih bontang-banting sana-sini, bahkan harus berhutang. Jelas lembaga pendidikan butuh dana tambahan guna menyiapkan lahan khusus permakultur. Memang permakultur bisa saja dihidupkan di halaman sekolah. Akan tetapi, tidak mungkin suatu lembaga menjadikan lahannya bak kebun yang tentu akan menyusahkan gerak-gerik manusia di dalamnya.
Klik Info Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Daerah Yogyakarta
Ketiga, inilah resiko yang paling berpengaruh. Surplus demografi menuntut penambahan lapangan kerja. Lain lagi, jikalau ini dihubungkan dengan kecenderungan hedonis-individualistik manusia kekinian. Jelas, lapangan kerja yang dibutuhkan bukan sekadar menopang keberlangsungan hidup. Akan tetapi, lapangan kerja tersebut harus mengenyangkan hasrat akan gengsi, reputasi dan sensasi. Sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (kediaman) barangkali sudah basi untuk dianggap sebagai kebutuhan hidup primer. Pasalnya, produk-produk industri–nun jauh sudah diramalkan oleh Jean Baudrillard–tidak lagi berfungsi memenuhi kebutuhan, namun berfungsi memanjakan.
Tak heran, seorang anak sering nangis, sampai guling-guling di halaman, hanya karena keinginannya pada merek Hp terkini tidak dipenuhi. Apa ini murni, karena tabiatnya yang masih kanak-kanak atau karena faktor lain? Anak-anak butuh bermain. Kebutuhan akan sesuatu yang bergengsi lebih ditengarai oleh kecenderungan hedonis-individualistik generasi masa kini. Akibatnya, seorang anak yang belum bisa berpikir kritis akan tertarik untuk mengikuti trend yang tengah menjadi-jadi. Tak ayal pula, kedokteran masa kini tidak lagi berfokus menyembuhkan orang sakit. Dunia medis merambah dunia yang sama sekali baru, yakni menyulap orang biasa menjadi luar biasa. Salah satunya ialah operasi plastik (oplas). Ini adalah segelintir contoh betapa hedonis-individualistik semakin merasuki kesadaran manusia milenial.
Apabila kecenderungan ini tetap dilestarikan, apalagi ditingkatkan, maka manusia akan defisit pertimbangan tentang pentingnya permakulturasi kehidupan. Dari situ, permakultur boleh jadi hanya tinggal semboyan. Yang tersisa ialah arogansi manusia dalam mengeksploitasi alam dengan mengatasnamakan “kesejahteraan”. Akhirnya, tidak berlebihan dikata bahwa permakultur terancam hancur. Hanya saja, kendala ini tidak dimaksudkan sebagai pemicu sikap pasrah. Kendala ini sebagai masukan betapa jalan guna menghidupkan permakultur penuh aral dan tebing terjal. Oleh sebab itu, adakah solusi dalam mengaktifkan permakulturisasi? Kita lanjutkan di edisi nanti. Demikian. Wallahu A’lam
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta
1 komentar