Pendidikan Madilog Episode Tiga

Esai, Literasi323 Dilihat

Seputar Pendidikan #18

Aldi Hidayat

Poin ketiga buku Madilog adalah logika. Apa itu logika? Pesan tersirat bagaimana yang bisa kita ungkit? Logika secara sederhana ialah tata cara berpikir yang benar. Benar-salah diurus logika, baik-buruk diukur etika dan indah-jelek ditangani estetika. Tiga bidang ini saling berkaitan, berkelindan dan bertungkus-lumus. Hanya saja, adalah estetika yang barangkali tidak membutuhkan porsi nalar yang lebih, karena ia memanfaatkan ketajaman naluri dan intuisi dalam mencerap mana yang indah, mana yang biasa saja dan mana yang jelek. Meski begitu, komposisi nalar tetap dibutuhkan.

Logika dalam Madilog terbatas pada logika deduktif yang dirumuskan oleh Aristoteles. Logika deduktif gampangnya mencari penegasan bagi pandangan-pandangan umum. Contoh, semua manusia akan mati. G adalah manusia. Berarti G akan mati. Ada pandangan umum berupa kematian semua makhluk, tidak terkecuali manusia. Sebagai penegasan yang partikular, dimunculkan G selaku sampel dari keyakinan itu. Adapun logika yang penulis maksud dalam tulisan ini ialah perluasan dari logika tadi. Logika secara umum ada dua, yaitu deduktif dan induktif. Deduktif berangkat dari umum menuju khusus, sedangkan induktif bertolak dari khusus ke umum.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Pendidikan Madilog Episode Dua

Dua logika ini mesti membumi. Jika diterapkan dalam dunia pendidikan, seharusnya logika ini sudah menjadi materi sejak bangku SLTP. Mengapa harus demikian? Ini dalam rangka mengikis pola pikir mistis, mitis, feodalis dan paternalis. Pola pikir mistis gampangnya tatkala ada masalah, dikit-dikit dibawa pada Tuhan. Mengapa masih ada orang miskin? Sudahlah…. ini ujian dari Tuhan. Tuhan mau menguji seberapa tangguh iman kita. Pola pikir mitis ialah mudah menggiring persoalan pada hal-ihwal gaib.

Mengapa terjadi banjir? Mungkin karena dewa-dewi lagi murka, karena kita sudah malas memberi sesajen. Pola pikir feodalis adalah semisal ada pemuka agama berkata, “Jangan melawan penguasa! Mustahil penguasa mau mencelakai rakyatnya.” Pola pikir paternalis berdekatan dengan pola pikir feodalis. Hanya saja, paternalis lebih pada sikap bawahan terhadap atasan. Contoh, “Jangan menyangkal ucapan pemuka agama! Mereka sudah lebih lama belajar agama. Jadi, mereka pasti benar.” Adakah kerancuan dalam sekian pola pikir di atas? Jelas ada sebagaimana akan diurai di bawah ini.

Pola pikir mistis membuat kita lalai akan pesan Tuhan bahwa dunia ini diciptakan untuk manusia. Cara terjitu dalam mensyukuri nikmat Tuhan ini ialah berpikir membumi. Apabila ada kemiskinan, pola pikir mistis tidak akan menyelesaikan persoalan. Sebaliknya, si miskin terus dipaksa tabah, padahal batinnya merongrong ingin sejahtera. Akibatnya, kemiskinan terus berlanjut dan para mafia ekonomi kian larut. Pola pikir mitis berdekatan dengan pola pikir mistis dari segi dampak, yakni menjauhkan kita dari akar permasalahan. Banjir itu sebenarnya bukan bermuasal dari kemarahan dewa. Akan tetapi, karena pepohonan banyak ditebang, sampah bertebaran, tanah digantikan semen dan masih banyak lagi. Pola pikir mistis dan mitis tidak membawa kita ke jantung persoalan.

Ingin Sekolah di Jogja? Ini Info PPDB Jogja Terlengkap

Pola pikir feodalis merupakan bibit subur bagi perselingkuhan kepetingan penguasa dengan norma. Jika kita mengakui bahwa hanya para nabi yang ma’shum yakni dijamin selamat dari salah dan dosa, maka seharusnya penguasa, entah agama atau negara tidak kebal terhadap kritik. Pengetahuan seringkali diselundupi oleh kepentingan. Demikian gagasan Jurgen Habermas, filsuf Jerman. Pengetahuan dan kekuasaan adalah dua hal yang bercampur lebur, sehingga susah dipisahkan dan dibedakan. Demikian pemikiran Michel Foucault, pemikir post-strukturalis Prancis. Contoh, Wahabi selama ini gencar membid’ahkan, bahkan mengkafirkan suatu perkara. Dalihnya ialah memurnikan ajaran Islam. Apakah murni memang mau memurnikan atau Wahabi mau mengambil alih kekuasaan? Pemegang bendera dominasi muslim saat ini adalah aliran Sunni. Alih-alih, mau memurnikan Islam dari bid’ah, sangat mungkin para Wahabian punya kepentingan mau merebut kekuasaan. Ini tidak hanya berlaku di kalangan Wahabi, namun merata dalam hampir–jika enggan disebut semua–pengetahuan dan wawasan.

Pola pikir paternalis tampil sebagai sokongan bagi pola pikir feodalis. Paternalisme membuat orang enggan, takut dan gentar dalam menghadirkan wacana tandingan. Itu karena pola pikir demikian mengidap keyakinan bahwa kalau bukan pakar di bidangnya, maka pendapatnya pasti salah. Sementara itu, jikalau sudah pakar di suatu bidang, maka pendapatnya niscaya benar. Barangkali akan dibantah bahwa pakar suatu bidang tidak pasti benar saat berpendapat tentang bidangnya, namun lebih mendekati benar. Anggapan lebih mendekati benar ini kemudian diposisikan sebagai quasi-sakral (hampir keramat). Akhirnya, kritik terhadapnya dianggap lancang, walaupun sudah ditegaskan bahwa si pakar hanya lebih mendekati kebenaran, bukan pasti benar. Mestinya, jika memang lebih mendekati benar, seharusnya si pakar mempersilakan kritik dari mana saja. Pasalnya, anggapan benar tanpa pengujian adalah mitos dalam ilmu pengetahuan. Benar tanpa pengujian adalah benar yang dibenar-benarkan.

Cari Info Kuliah di Jogja? Info PMB Jogja Terlengkap

Logika tidak dimaksudkan untuk menghapus sekian pola pikir di atas. Hanya saja, logika semestinya menggeser dominasi beberapa pola pikir di muka. Artinya, pola pikir mistis, mitis, feodalis dan paternalis mesti dijadikan pelengkap bagi pola pikir utama, yaitu pola pikir logis. Logika induktif berfungsi mencari kesimpulan umum dari apa yang marak hari-hari ini. Logika deduktif berfungsi menerapkan kesimpulan umum pada situasi dan kondisi yang bersifat khusus.

Dalam tradisi Islam klasik, logika induktif bukan barang baru. Islam memperkenalkan istinbath dalam dunia fiqih. Seperti halnya induksi, intinbath bertolak dari dalil-dalil khusus guna mencari kesimpulan umum. Hanya saja, istinbath masih berkutat di dunia teks, khususnya teks-teks agama yang berbicara hukum. Akan lebih dinamis, bilamana istinbath ini diperluas ruang lingkupnya ke ranah sosial, ekonomi, politik, budaya dan lain sejenisnya.

Adapun logika deduktif barangkali merupakan logika paling purba. Mengapa demikian? Pasalnya, manusia cenderung memahami suatu hal berdasarkan hal sebelumnya. Saat seseorang memahami kuda, maka pemahamannya tidak akan lepas dari pengetahuan tentang kuda yang dia peroleh sebelumnya. Tahun lalu, dia mendapat pengetahuan bahwa kuda adalah binatang yang meringkik. Tahun ini, dia berjumpa kuda lagi. Tentu, pemahamannya akan bersifat kilas balik, yakni menerapkan pemahaman sebelumnya dalam membaca kuda saat sekarang. Tanpa dia sadari, pemahaman sebelumnya telah dia posisikan sebagai kesimpulan umum atau hampir umum dalam membaca fenomena kuda sekarang dan ke depannya.

 

Logika deduktif berfungsi mempertanggungjawabkan keyakinan, pakem dan kemapanan kita selama ini. Logika induktif berfungsi mencarikan tambahan atas kekurangan yang sudah mapan. Selain itu, logika induktif berfungsi mempersoalkan, bahkan merombak kemapanan guna mencari apa yang lebih baik untuk kini dan depan. Dua logika ini semestinya tidak sekadar menjadi materi sekolah atau kuliah, namun dibumikan. Keduanya mustahil dibumikan, selama pola pikir mistis, mitis, feodalis dan paternalis masih mengangkangi akal sehat kita. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar