Seputar Pendidikan #12
Aldi Hidayat
Pada esai di edisi-edisi sebelumnya, penulis tegaskan bahwa pola pengajaran pendidikan kita cenderung monologis. Guru bertindak sebagai penjelas, berperan sebagai pihak aktif, sementara murid bertindak sebagai pendengar, berperan sebagai pihak pasif. Pola pengajaran ini membuat dinamika keilmuan berjalan satu arah. Dampaknya adalah:
Pertama, ilmu akan berputar-putar menurut pengetahuan dan wawasan guru saja. Sebagai makhluk yang tidak pernah lepas dari salah dan lupa, maka pengajaran monologis akan menimbulkan efek lanjutan. Kesalahan guru takkan terbendung dan kelupaan guru takkan tertanggung. Dalam pada itu, kesalahpahaman boleh jadi menjadi kebenarpahaman dan sesuatu yang terlupakan dicap bukan bagian dari ilmu yang diajarkan. Muncullah apa yang oleh Muhammad Arkoun, pemikir asal Aljazair, disebut unthought, zona yang luput dari perhatian. Pada tahap yang lebih parah, stagnasi keilmuan tidak bisa dielakkan. Demikian paparan sekilas mengenai efek samping pengajaran monologis ditinjau dari aspek epistemologis.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Pendidikan Cangkrukan untuk Penampilan
Kedua, murid akan cenderung bosan. Guru boleh saja berkomentar, “Mestinya saya yang lebih bosan dan lelah, karena saya yang dari tadi berbicara.” Lelah dan bosan sebenarnya bukan urusan seberapa banyak melakukan tindakan. Dua keadaan ini muncul saat kenyataan tidak sesuai dengan watak bawaan. Di antara watak bawaan manusia ialah aktif. Aktif di sini merupakan unsur paten dalam aktualisasi diri, kebutuhan manusia paling pokok menurut Abraham Maslow, salah seorang pendiri madzhab dalam psikologi.
Artinya, banyak bicara tidak pasti menyebabkan orang bosan. Pasalnya, lelaku ini membuat seseorang aktif. Aktif sendiri adalah watak bawaan manusia. Jadi, banyak bicara secara psikis–dalam konteks pengajaran–kurang logis disebut sebagai faktor yang membuat guru lebih bosan. Justru sebaliknya, guru merasa lebih riang, karena banyak bicara adalah momen segar baginya untuk menghidupkan watak “aktif”-nya.
Di pihak lain, murid mudah bosan, karena mereka diposisikan sebagai pihak pasif. Pasif sendiri adalah lawan dari aktif. Lebih jelasnya, mari kita bandingkan antara pola pengajaran di sekolah dan pola pengajaran di kuliah. Mengapa di sekolah mudah didapati murid tidur? Karena sekolah menerapkan pengajaran monologis. Murid dituntut pasif. Beda halnya di kuliah. Mahasiswa diharuskan presentasi dan diskusi. Alhasil, peluang bosan, apalagi tidur lebih bisa diminimalisir. Memang, di kuliah, ada pula mahasiswa yang ketiduran. Akan tetapi, tidak mungkin didapati mahasiswa tidur saat presentasi, kecuali dalam sebagian kasus, misalkan tidak tidur selama 3 hari. Jika memang bosan ditentukan oleh banyaknya tindakan, mengapa siswa dan mahasiswa yang tidak presentasi dan diskusi sering tidur? Ini menegaskan bahwa penyebab kebosanan dalam dunia pendidikan ialah saat pelajar diposisikan sebagai pihak yang pasif, bukan karena banyak bicara.
Mau Kuliah di Jogja? Ini Info PMB Jogja Terlengkap
Oleh karena itu, pengajaran yang aktif dan dialogis mesti dihidupkan. Meski demikian, pengajaran ini masih belum mampu menangkis serangan kantuk, malas dan bosan. Mengapa? Karena pendidikan kita masih begitu intim dengan formalitas. Maksudnya, saat KBM berlangsung, murid harus duduk rapi, berpenampilan rapi dan intinya terikat oleh berbagai aturan saat duduk dan mendengar penjelasan. Pola demikian rentan mengundang masal dan bosan.
Coba kita bandingkan dengan ngobrol? Mengapa ia bisa jauh lebih lama dari jam sekolah dan jam kuliah? Karena ngobrol dilakukan dengan posisi duduk dan penampilan suka-suka. Di samping itu, penyampaian bersifat dialogis. Siapa pun berhak bersuara dengan tetap menerapkan gantian bicara dan mendengar. Artinya, jika pendidikan kita ingin lebih maju, maka pola demikian seharusnya diterapkan.
Tentu saja akan banyak tanggapan kontra. Pola demikian tidak sopan, tidak sesuai kode etik pendidikan dan lain sebagainya. Pertanyaannya, mana lebih sopan antara menjaga kenyamanan supaya lebih menikmati pengajaran dan terikat dengan seabrek aturan dengan dalih lebih resmi, lebih rapi dan katanya lebih sopan? Bukankah tujuan ilmu ialah disebarkan sebanyak-banyaknya. Bagaimana bisa transfer ilmu secara besar-besaran, kalau kenyamanan dalam mengaisnya kerap dikekang oleh sekelumit aturan yang katanya mengatasnamakan sopan?
Tentu penulis tidak memaksudkan pengajaran sangat dialogis seperti halnya dalam ngobrol. Penulis hanya mengaspirasikan bahwa ngobrol memiliki potensi besar bagi efektivitas pendidikan. Karena itu, pola-pola yang menumbuhkan kenyamanan dalam ngobrol penting diakomodasi. Tentunya, akomodasi ini harus melewati restorasi sana-sini, disesuaikan dengan iklim pengajaran dalam lembaga pendidikan. Dengan begitu, kenyamanan dalam pendidikan dapat tercapai dan kekhasan pendidikan bisa tergapai. Lalu apa kira-kira pola menyamankan dari ngobrol yang bagus bagi pendidikan?
Jangan Lewatkan Nikamti Suara Asli D Zawawi Imron Membacakan Puisi Masterpeace: IBU
Pertama, dialogis. Ngobrol memberi kesempatan bagi siapa saja yang terlibat untuk angkat suara. Hanya saja, dalam ngobrol, tidak ada pihak yang mengontrol. Di dunia pendidikan, dialog harus tetap ada yang mengontrol. Tentu di sini, guru berperan sebagai pengontrol. Itu bertujuan mencegah kesalahpahaman, bahkan kesesatan saat memperbincangkan materi pelajaran.
Kedua, posisi dan penampilan pihak yang terlibat terserah masing-masing. Ini mungkin agak radikal. Akan tetapi, jika memang pendidikan mengidamkan tersampaikannya materi secara lebih baik kepada para pelajar, maka pola duduk dan penampilan selama ini mesti dirombak. Finlandia–dalam lansiran tribunwow.com–menerapkan pengajaran yang tidak terlalu lama. Selain itu, jam istirahat di sana begitu banyak. Setiap selesai mata pelajaran, selalu ada waktu senggang bagi murid untuk rehat. Mengapa? Karena otak manusia tidak bisa terus dicekcoki oleh materi. Ia juga butuh waktu senggang untuk istirahat, rekreasi dan sensasi. Jadi, Indonesia mesti meniru pola pengajaran semacam ini. Tidak harus merombak total sistem pakem selama ini. Akan tetapi, perlu ada restorasi di mana pengajaran lebih bisa dinikmati. Tentunya, santai, sederhana dan apa adanya adalah bahan utama. Demikian. Wallahu A’lam.
1 komentar