Menyekolahkan Lisan

Lanemu1 Dilihat

Oleh Ahmad  Muchlish Amrin

Duh! Mulut; lisan; congor; colo’; cocot wa akhawatuhum adalah fakultas penting dalam “ke-manusia-an” kita. Kata-kata yang keluar memiliki ruh dan aroma yang berbeda-beda, tergantung pada pribadi pemiliknya.

Bibir boleh manis, boleh sensual, boleh pula dipoles gincu agar terlihat lebih indah, tapi pastikan agregasi yang keluar dari balik bibir yang indah itu juga indah.

Pengetahuan tentang berbicara jujur bisa jadi sudah dibekali semenjak usia TK atau SD, namun apakah dalam keseharian kita sudah berbicara sejujurnya di hadapan diri kita sendiri dan orang lain?

Tentu kita tak perlu menuding ke mana-mana, tudingan hanya boleh ditunjukkan terhadap bibir kita sendiri. Bila kita sebagai manusia sedikit bisa bersikap lebih sopan terhadap mulut kita sendiri, seyogyanya kita dapat menjaganya dari perkataan yang tidak bermanfaat; apalagi bohong, fitnah, ghibah, adu manusia (mau adu domba, dombanya mahal, hihi).

Mendidik lisan kita sendiri tentu perlu latihan, pembiasaan, internalisasi, dan hal lain yang bermanfaat untuk pendidikan menjaga lisan. Itulah sebabnya Kanjeng Nabi pernah berkhutbah, “qul khairan aw liyashmut”. Artinya: berkatalah yang baik atau diamlah (HR. Bukhari).

Mendidik mulut kita agar hanya berguna untuk yang baik saja, tentu perlu proses. Kata kunci yang dapat dijadikan pegangan hanya ada dua; bicara yang baik-baik dan atau diam.

Jangan Lupa Baca Juga: Telinga Kehidupan

Jika hanya ingin berkata kasar, bergerundel perihal urusan orang lain, fitnah sana fitnah sini, tentu tidak perlu pondok pesantren, kampus, dan lembaga-lembaga pendidikan. Banyak sekali orang yang loss sekolah juga mahir berkata kotor dan berkata buruk. Tapi, yang justru sangat aneh apabila kita disekolahkan sampai tingkat tertinggi dan dibekali dengan ilmu pondok pesantren, tapi sopan pada diri sendiri sebagai pemilik mulut saja belum bisa.

Yang terjadi adalah perkataan-perkataan yang berubah bentuk menjadi ranjau dan duri yang akan melukai. Fenomena penting perihal mulut juga pernah diekspresikan oleh almarhum cerpenis Hamsat Rangkuti dalam antologi Bibir Dalam Pispot.

Mulut punya nilai. Mulut tidak sekadar susunan rangka atau dua iris bibir. Tapi mulut memiliki urgensinya sendiri bahkan dapat menjadi barometer kualitas pemiliknya.

 

*) Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar