Manusia Teomorfis

Esai, Literasi226 Dilihat

Seputar Pendidikan #27

Aldi Hidayat

Basmalah pada esai sebelumnya ditujukan untuk menangkal kejumudan dan menghidupkan kemajuan. Objek visioner basmalah bukan hanya perorangan, namun keseluruhan dengan mengoptimalkan perorangan. Hanya saja, penting dicamkan bahwa mencapai kemajuan tidak bisa dalam 1-2 tahun. Ziauddin Sardar dalam karyanya, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, menyebut bahwa pembangunan bangsa terbagi pada empat tahap. Pertama, tahap terdekat yaitu 1-2 tahun. Kedua, tahap dekat yaitu 5 tahun. Ketiga, tahap jauh yaitu satu generasi, yakni kisaran 50 tahun. Keempat, tahap terjauh yaitu 2 generasi atau lebih. Jadi, tahap ini memakan waktu minimal 1 abad alias 100 tahun. Mengapa Indonesia belum maju? Apabila dijawab berdasarkan kategorisasi tahap ini, maka jawabannya gampang. Karena Indonesia dijajah selama 3,5 abad, sedangkan usia kemerdekaan baru 76 tahun, belum menginjak 1 abad. Sebabnya, Indonesia masih butuh minimal 100 tahun lagi untuk bisa sejajar dengan negara-negara maju.

Hanya saja, lamanya waktu kemajuan Indonesia fatal dibuat alasan, “Mumpung waktu maju masih lama, ngapain capek-capek belajar?” Logika ini mengidap penyakit kritis. Bagaimanapun juga, kemajuan suatu bangsa tidak ditentukan oleh waktunya, tetapi oleh seberapa giat generasinya untuk bangkit dari keterpurukan. Taruhlah misal Jepang. Pasca hancurnya Nagasaki dan Hiroshima oleh bom atom atau bom nuklirnya Amerika, negara Sakura ini mampu bangkit hanya dalam waktu 20 tahun. Terbukti, 2 dasawarsa usai invasi Amerika, Jepang bangkit menjadi raja ekonomi kedua di dunia. Demikian paparan Nurcholish Madjid dalam buku Atas Nama Pengalaman.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Seni Hidup Maksimalis

Kini, Jepang sudah menjadi raja teknologi dunia menurut keterangan K.H. Toto Tasmara dalam karya Yahudi: Mengapa Mereka Berprestasi? Itu artinya, hidup santai, alay dan jablay dengan dalih kemajuan masih butuh waktu lama bukan hanya memperlama cita-cita kemerdekaan, tetapi juga bakal memperparah kondisi keterjajahan. Secara fisik, Indonesia sah dikata sudah merdeka. Akan tetapi, secara psikis, bangsa ini masih terjajah. Taruhlah misal, sistem pemilihan kepala daerah yang masih bertumpu pada uang. Tradisi atau tragedi itu adalah warisan era kolonial Belanda. Belandalah yang membiasakan kepala daerah di Nusantara mencalonkan diri, sebab uang, bukan sebab kemampuan. Demikian paparan tegas Ahmad Mansur Suryanegara dalam karya Api Sejarah: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lantaran kemajuan Indonesia masih lama, ditinjau dari periodesasi pembangunan suatu bangsa, maka apa yang mesti kita lakukan, sebagai generasi yang masih berada dalam zona berkembang? Dua poin di bawah ini akan menjawabnya.

Pertama, memiliki cita-cita yang tinggi. Soekarno berpesan, “Bercita-citalah setinggi langit! Sekalipun engkau terjatuh, engkau akan terlihat di antara bintang-bintang.” Apa itu cita-cita tinggi? Pada esai edisi-edisi sebelumnya, sudah penulis layangkan kritik terhadap anggapan mayoritas tentang cita-cita tinggi. Rata-rata menyebut sukses, selaku puncak cita-cita sebagai gengsi dan harta. Jikalau gengsi gagal didapat, maka harta bagaimanapun juga mesti diraih. Akibatnya, profesi sumbu kehidupan, semisal pertanian, peternakan dan perikanan absen dalam daftar perhatian.

Cari Info Kerja Daerah Istimewa Yogyakarta? Pusat Info Loker Jogja

Bagi penulis, cita-cita tinggi bukan seberapa bergengsi atau seberapa berharta. Cita-cita tinggi adalah betapapun sederhananya profesi, senantiasa ada spirit untuk menghentikan problem terbesar masa kini. Problem terbesar masa kini sebagaimana penulis lansir dalam esai sebelumnya ialah krisis keadilan dan kapitalisme eksploitatif terhadap alam. Dari krisis keadilan, manusia akhirnya berlomba berbuat curang. Itu karena keadilan yang gagal diciptakan oleh penguasa membuat rakyat jelata menilai absah lelaku tidak adil dalam kehidupannya. Karenanya, penipuan, korupsi, kolusi dan nepotisme cukup menjamur di lapisan menengah ke bawah. Itu sebab kalangan menengah ke atas mencontohkannya. Selain itu, kalangan menengah ke atas memperparahnya dengan pamer kekayaan, bukan pamer kedermawanan. Pada gilirannya, kalangan menengah ke bawah merasa kecewa, iri dan dengki. Dari situlah, relasi atas nama benci tanpa kita sadari terus menjadi-jadi.

Kumpulan Quotes Pendidikan yang Paling Menggetakan

Lebih lanjut, dari kapitalisme eksploitatif terhadap alam, muncullah penggundulan lahan, sehingga rakyat jelata kekurangan, bahkan terancam kehabisan lahan untuk mengais penghidupan. Akibatnya, banyak masyarakat desa memilih menjadi masyarakat urban. Kota menjadi tujuan, desa kian ditinggalkan. Kota semakin sesak oleh manusia, sementara si kaya masih enggan berbagi sumber sejahtera, karena si kaya sibuk meluaskan rumah, gedung dan apartemennya. Akhirnya, si miskin yang merantau harus bersaing, walau terpaksa dengan kecurangan.

Mereka yang kalah dalam persaingan pada gilirannya bukan dirangkul, melainkan dibiarkan terlantar sebagai pengemis dan gelandangan. Sementara itu, desa yang ditinggalkan menyisakan lahan-lahan yang menjanda. Dalam pada itulah, investor kapitalis datang meminangnya. Ketika sudah berada dalam genggaman kapitalis, masyarakat desa akan berhadapan dengan dua pilihan; antara menjadi pekerja, bahkan boleh jadi budak atau melawan, namun tanah tetap terlantar dan akan tetap terus dipantau oleh mereka yang ber-uang. Contoh kecilnya ialah Papua. Papua seharusnya menjadi kawasan dengan penduduk termakmur di Indonesia. Akan tetapi, Papua ternyata masih jauh dari sejahtera, sehingga salah satu dampaknya adalah munculnya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Suara Asli Gus Mus: Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana

Menurut Nathalius Pigae, aktivis HAM asal Papua, KKB bermuasal dari krisis keadilan sejak dulu, khususnya Orde Baru. Krisis keadilan itu salah satunya adalah tidak meratanya persemakmuran ekonomi. Terbukti, Freeport, selaku tambang emas terbesar di dunia berpuluh-puluh tahun dikuasai Amerika, sedangkan Papua hanya menerima beberapa peser atau sepeser hasilnya saja. Itulah salah satu gambaran kapitalisme eksploitatif. Mangsa eksploitasi bukan hanya keseimbangan alam, tetapi pastinya keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Karena itu, cita-cita tinggi bukan dari seberapa bergengsi atau berharta, tapi seberapa paham akan arti sejahtera dan membantu sesama untuk juga sejahtera. Cita-cita tinggi adalah memberi ruang mandiri bagi pihak lain agar sejahtera serta mengajak diri dan mereka untuk tidak serakah atas harta. Hanya saja, lantaran perjuangan macam ini hampir setara dengan mustahil, mengingat kuatnya cengkraman ketidakadilan dan kapitalisme eksploitatif, maka dibutuhkan langkah lanjutan. Apa itu?

Kedua, bangkit untuk maju berarti harus menyadari betapa hambatan akan berlangsung di sana-sini. Mulai dari kebencian orang-orang, seperti dianggap sok suci hingga ancaman mereka yang berkepentingan, seperti ditembak mati. Kesadaran semacam ini harus ditanamkan sejak awal. Tanpa kesadaran ini, seseorang akan kekurangan mental di tengah perjalanan. Tatkala mental tidak memadai, maka menyerah, stress, depresi hingga bunuh diri bakal menghampiri. Dengan kesadaran ini, kita akan memiliki dua bekal. Pertama, tidak terlalu ambil pusing terhadap komentar sinis. Kedua, tidak ribet untuk dendam terhadap mereka yang menghadang, sekalipun secara anarkis. Fokus terhadap kebangkitan pada gilirannya bisa setia dalam pikiran dan perasaan.

Jadi, menjadi sukses harus menghayati dan menekuni dua usaha. Pertama, bercita-cita tinggi dalam arti minimalis-maksimalis-permakulturitatif. Kedua, tidak ambil pusing terhadap respon sinis dan anarkis. Itulah apa yang penulis maksud sebagai manusia teomorfis. Fokus pada cita-cita tanpa harus menjauhi hingar-bingar dunia dan tanpa harus terlena olehnya. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar