Seputar Pendidikan 38
Aldi Hidayat
Pepatah bilang, “Tak kenal maka tak sayang”. Pernyataan ini kurang relevan dengan kenyataan. Pasalnya, manusia tidak akan bermusuhan dengan orang yang tidak dia kenal. Kendati pun bermusuhan, permusuhan tersebut tidak begitu besar. Sebaliknya, permusuhan parah kerap terjadi antara dua pihak yang sama-sama kenal. Penjajahan Belanda atas Indonesia bermula dari perkenalan, tepatnya perkenalan Eropa dengan rempah-rempah yang katanya diekspor dari India. Bermula dari kenal itulah, muncul penasaran lalu hasrat penjajahan.
Meski begitu, kenal adalah gerbang menuju kasih sayang. Tidak mungkin kita menyayangi orang yang belum kita kenal. Kalaupun muncul rasa kasih sayang, tentu hal tersebut tidak berdaya dibanding rasa sayang kepada orang yang sudah kita kenal. Meski begitu, kenal tidak selamanya menjamin sayang. Seringkali kita berkenalan, namun tidak rasa spesial pasca kenalan. Jadi, kenal bukan jaminan sayang, karena kenal kerap memicu permusuhan atau setidaknya merasa biasa saja. Lalu apa fungsi paling mendasar dari kenal? ‘Ali ibn Abi Thalib ra menjawab:
الناس أعداء ما جهلوا.
Manusia adalah musuh bagi apa yang tidak mereka tahu.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Goodlooking is Everything
Tanpa kenal, kita merasa tidak nyaman. Ada rasa curiga, khawatir, cemas dan seabrek perasaan yang campur-aduk. Melalui kenal, semua perasaan itu bisa ditangkal. Melalui kenal pula, purbasangka bisa dienyahkan. Oleh sebab kenal merupakan gerbang bagi tenang, maka penting bagi kita mengenali apa hakikat kehidupan?
Tidak jarang orang dewasa berpikir ingin kembali ke masa kanak-kanak. Ini karena fase dewasa sesak dengan masalah, sehingga cukup susah mendapati ketenangan. Tidak sedikit orang berpikir bahwa sejahtera itu berarti tidak ada masalah. Karenanya, beberapa orang menyeruput kesenangan sebanyak mungkin. Pasalnya, hal itu adalah kesejahteraan, kebahagiaan dan ketenangan. Pola pikir demikian penting diatasi dengan lebih mengenali hakikat kehidupan.
Jauh-jauh hari al-Qur’an mengajarkan:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللهُ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِيْنَ.
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu dan orang-orang yang bersabar. (QS. Ali ‘Imran [3]: 142).
Secara teologis, ayat ini mengajarkan bahwa mencapai surga butuh pengorbanan demi pengorbanan. Secara antroposentris, ayat ini menyiratkan bahwa hidup ini adalah pengembaraan dari masalah ke satu masalah. Mengapa demikian? Karena mengingkari hidup sebagai demikian akan menimbulkan dua resiko. Pertama, zaman akan menggilas. Sekarang saja, mesin sudah menangani sekitar 80 juta profesi. Manusia akan semakin kekurangan pekerjaan. Dalam pada itu, akan berlaku humanisme evolusioner, yaitu seleksi alam yang menimpa umat manusia. Jadi, manusia yang tidak siap, karena krisis kualitas dengan sendirinya akan digilas oleh ketatnya persaingan menuju masa depan. Dampak paling parah ialah menjadi gelandangan, stress, depresi, bahkan bunuh diri.
Baca Juga: Oknum yang Bertopeng Beasiswa
Menyikapi zaman yang semakin mengeruk ruang gerak, manusia membutuhkan amunisi emosional. Ketahanan menjalani hidup sebenarnya lebih bergantung pada kekuatan emosional. Habib Husein Ja’far al-Hadar pernah menyampaikan bahwa Indonesia memiliki budaya pasrah pada Tuhan. Satu sisi, ini memacu kemunduran bangsa dalam bidang sains dan teknologi. Sisi lainnya, budaya ini memberikan amunisi emosional saat orang Indonesia berhadapan dengan masalah berat. Masalah yang menurut perkiraan akal sehat seolah tidak memiliki jalan keluar. Contoh kecilnya ialah keberanian menikah, meskipun belum memiliki profesi mapan, apalagi rumah. Di Barat, pusat peradaban masa kini, budaya demikian nyaris ludes. Pasalnya, pola pikir mereka cenderung materialis. Menikah itu harus dengan memiliki kerja mapan, bahkan kalau perlu rumah, kendaraan dan tabungan masa depan.
Mengingkari hidup sebagai perjalanan dari masalah ke satu masalah akan membatasi pola pikir kita pada materialisme. Hampir segalanya harus dikalkulasi secara materialis, sehingga bekal spiritual dan emosional hampir absen dari pertimbangan. Ini bukan berarti kita harus menghindari trend zaman yang beraroma materialis. Ini adalah tambahan saran betapa rumitnya hidup ini tidak bisa dikerangkeng dalam paradigma materialis. Ada paradigma lain yang bisa membantu kita dalam berselancar di samudera masalah. Memahami hidup sebagai tumpukan masalah akan menajamkan emosi kita, bahkan saat berada dalam situasi yang mematikan.
Ambil: Beasiswa S2 Khusus Perempuan
Kedua, menyadari hidup sebagai tumpukan masalah akan memproduksi kita sebagai individualis-sosialis. Artinya, saat ada masalah, kita tidak terlalu ruwet memikirkan sisi buruk dari masalah. Sebaliknya, kita selalu berpikir apa hikmah dari masalah untuk diri sendiri. Inilah sisi individualisnya, yaitu meraup sebanyak mungkin sumbangsih masalah bagi pendewasaan diri sendiri. Tatkala diri semakin dewasa, maka orientasi ke depan bukan mencari keuntungan bagi diri belaka, tetapi membagikannya kepada mereka yang tidak kebagian. Inilah dimensi sosialis dari menyadari hidup sebagai tumpukan masalah.
Seirama dengan ini, Friedrich Nietzsche, filsuf besar Jerman, menyatakan bahwa hidup ini adalah pertarungan antara kesalahan dan kebenaran. Secara radikal, Nietzsche menyatakan bahwa kebenaran adalah kesalahan yang belum terbukti salah. Bilamana gagasan filosofis ini kita terapkan dalam laku keseharian, maka itu berarti hidup ini hanyalah pertarungan menuju perkembangan demi perkembangan. Selama nafas masih berembus, selama itu pula tidak ada momen santai, tidak ada yang mapan, tidak ada zona nyaman. Bergerak tanpa henti pada akhirnya tidak bisa kita pungkiri.
Tulisan ini memakai kata Makrab, yaitu akronim dari Masa Akrab. Artinya, berdamai dengan kehidupan ialah dengan mengakrabi segenap permasalahan. Bukan berarti membiarkan masalah, bukan pula terlalu keras menyikapi masalah. Makrab dengan masalah ialah konsistensi memaki kepala dingin saat ada masalah. Dengan begitu, kita bisa mengubah. Mengubah apa? Mengubah selaksa ketidaknyamanan menjadi kenyamanan serta kegelisahan menjadi ketenangan. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta
1 komentar