Seputar Pendidikan #20
Aldi Hidayat
Pembaharuan-pembaharuan bergelimang saban zaman. Semua pembaharuan sejatinya berpucuk pada satu kesamaan, yakni mempermudah urusan dan kegiatan. Mengapa manusia selalu ingin mempermudah kehidupan? Jauh-jauh hari al-Qur’an telah mengisyaratkan watak bawaan manusia, yaitu ‘ajal alias tergesa-gesa. Hanya saja, watak ini kemudian dipermak sedemikian estetis menjadi istilah efektif dan praktis. Kecenderungan internal ini diamini lalu dikokohkan menjadi paham bertitel pragmatisme. Pragmatisme sederhananya adalah paham bahwa benar-salah ditentukan oleh seberapa jelas manfaat suatu gagasan. Gagasan yang tidak mendatangkan kegunaan yang segera dengan sendirinya dicap salah.
Dari watak bawaan ini, wajar bilamana manusia lebih suka tontonan ketimbang tuntunan. Tontonan langsung menghidangkan hiburan, sedangkan tuntunan malah mengundang kantuk dan bosan. Akibat menguatnya watak ini, manusia kekinian lebih suka mencari tuntunan yang bercampur tontonan. Tak heran, penceramah yang tidak lucu terancam tidak laku. Sekarang ini sah dikatakan sebagai era di mana tuntunan menjadi tontonan, sementara tontonan menjadi tuntunan. Tuntunan hanya akan laku, jikalau berisi humor, hiburan dan guyonan. Sebaliknya, tontonan naik pangkat menjadi sumber pengetahuan, wawasan dan keteladanan. Tak heran, begitu membeludak orang yang lebih mengidolakan artis daripada agamawan, ilmuwan, cendekiawan dan saintis.
Inilah sebab internal mengapa literasi tidak diminati, lebih-lebih di negeri Ibu Pertiwi. Inilah faktor paten mengapa film, musik, sinematik dan video sensasional begitu laris manis di mata muda-mudi. Inilah pemicu terkuat mengapa remaja lebih suka kerja, ketimbang meneruskan masa studi. Inilah pemacu terhebat mengapa pemuda gila cari uang, sedangkan ilmu menjadi anak tiri.
Jangan Leewatkan Ambil: 5 Beasiswa Pascasarjana dengan Dana Terbesar
Tidak hanya itu, tergesa-gesa atau istilah kerennya pragmatis juga memengaruhi dunia keilmuan, kapan dan di mana saja. Sah-sah saja mengagumi sosok cendekiawan yang berkoar-koar, “Saya berliterasi demi masa depan bangsa ini”. Akan tetapi, benarkah literasinya selama ini benar-benar didedikasikan untuk kebaikan generasi? Atau jangan-jangan sebagai sarana pamer diri? Terlepas apa motif utama literasi, yang pasti apa pun pekerjaannya, semua akan berpulang pada uraian di bawah ini.
Semangat bekerja akan menyala, apabila ada pelampiasan. Gampangnya, mengapa orang selalu makan? Karena dia buang air besar. Coba andaikan manusia hanya makan tanpa buang air besar? Jelas tidak akan makan lagi, bahkan makanan di tubuhnya menjadi racun yang mematikan. Orang bekerja, karena mendapat uang. Orang mengharap uang, karena uang dipakai untuk memenuhi kebutuhan. Orang memenuhi kebutuhan, karena kebutuhan tidak bisa diperoleh sekali dan selamanya, melainkan habis lalu dicari lagi dan seterusnya. Pun juga, perasaan puas manusia selalu mengalami kadaluwarsa. Pada gilirannya, pemuasan demi pemuasan harus berlanjut tanpa hingga. Semua itu pada akhirnya berpangkal pada adanya pelampiasan. Tanpa pelampiasan, manusia takkan bergairah menjalani kehidupan.
Begitu pula dengan literasi atau baca-tulis. Untuk apa membaca? Das sollen (yang seharusnya) bilang demi ilmu pengetahuan. Akan tetapi, das sein (kenyataannya) tidak demikian. Orang membaca (khususnya tulisan, seperti buku, jurnal dan lain sebagainya), karena ada pelampiasan. Pelampiasannya ialah mengajar, diskusi dan menulis. Membaca tanpa memiliki salah satu saja dari tiga pelampiasan ini akan berujung punah. Mengapa dosen semangat membaca? Karena mereka mau mengajar, berdiskusi dan menulis. Bagaimana jika seluruh kebutuhan hidupnya terjamin dan tidak ada satu pun yang mau belajar padanya? Mungkinkah dosen masih setia membaca? Jelas tidak, karena untuk apa menghabiskan waktu dengan kegiatan yang tidak ada pelampiasannya? Pelampiasan ini hanyalah sarana bagi kebutuhan manusia yang lebih mendasar, yaitu kebutuhan akan kenikmatan.
Mau Ikut Lomba? Raja Lomba #solusipresatasimu
Mengajar, berdiskusi dan menulis membawa kenikmatan intelektual-sensasional, yakni merasa diri ini diorangkan oleh orang lain. Karena kenikmatan yang dicari, maka kegiatan-kegiatan yang langsung membawa kenikmatan bisa dilakukan berjam-jam, bahkan berhari-hari, sekalipun tanpa pelampiasan. Kegiatan itu seperti game, Tik Tok, nonton You Tube dan lain-lain. Lebih lanjut, menulis pun butuh pelampiasan. Artinya, setelah menulis, tulisan itu mau dikemanakan? Setidaknya pelampiasan menulis ada dua, yaitu ikut lomba demi menyabet penghargaan atau cukup dibaca orang. Menulis tanpa satu pun dari pelampiasan ini takkan bisa dipertahankan. Menulis diary (catatan pribadi) pun butuh untuk dibaca, yaitu dibaca sendiri guna menyegarkan memori. Percuma menulis diary, jikalau tidak untuk mengenang. Orang tidak mungkin meluangkan waktu untuk kegiatan yang tidak ada efek sensasionalnya sama sekali.
Jadi, penyebab orang Indonesia krisis literasi ialah kurangnya jaminan pelampiasan dalam kegiatan baca-tulis. Setelah baca, pengetahuan dan wawasannya mau saya bawa ke mana? Setelah menulis, mungkinkah saya bisa menjadi juara dalam lomba atau adakah media yang mau menerimanya agar bisa dibaca sesama? Lantaran ruang pelampiasan literasi sedemikian sukarnya, maka wajar jikalau generasi Indonesia masuk 10 besar dari bawah berkenaan literasi di tingkat dunia.
Lalu bagaimana menumbuhkan literasi di Indonesia? Cara paling mendasar ialah menyediakan ruang pelampiasan sebanyak-banyaknya. Itu hanya bisa dihidupkan melalui pendidikan cangkrukan sebagaimana telah penulis ulas di esai-esai sebelumnya. Maksudnya, literasi akan naik, jikalau tema obrolan sehari-hari berkutat pada urusan keilmuan, bukan keseharian. Bisakah ini dihidupkan? Bisa saja, namun butuh waktu sangat lama. Untuk konteks Indonesia, barangkali 1 hari sebelum kiamat tiba. Mengapa?
Jangan Lewatkan Baca Juga: Wisata dan Corona
Karena gaya hidup hedonis bangsa ini amat merata. Kalau tidak membawa nikmat, buang saja! Kalau tidak menarik uang, singkirkan saja! Urusan sensasi sebenarnya tak ubahnya terasi. Terasi bukan bumbu utama makanan. Ia hanya pelengkap. Demikian juga dengan sensasi. Kehidupan, peradaban dan kebudayaan tidak dibangun dari sensasi, tapi dari nalar, observasi dan eksperimentasi. Sensasi hanya pelengkap dan aksesori.
Lebih lanjut, obrolan tentang keilmuan selalu dicap bikin mumet pikiran. Manusia, khususnya manusia Indonesia, terlanjur menyetempel ilmu sebagai perkara serius. Sebenarnya tidak demikian. Ilmu dianggap serius, karena pola pengajaran kita selama ini intim dengan aturan ketat. Keketatan pada gilirannya membawa kesan bahwa ilmu itu membuat pikiran tidak bisa santai. Memang, ilmu tidak sesantai obrolan keseharian. Hanya saja, ilmu lama kelamaan bisa saja dinikmati, jikalau selama ini diajarkan secara santai dan membumi. Membumi artinya mudah dipahami oleh lintas lapisan masyarakat dan generasi. Pada saat itulah, literasi menemukan ruang segar untuk bereksistensi. Itulah yang penulis sebut literasi pragmatis. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta
Klik Puisi Ibu D Zawawi Imron, Suara Asli Penyair Nasional Si Celurit Emas
1 komentar