Literasi di Ambang Basi

Esai, Literasi366 Dilihat

Seputar Pendidikan #15

Aldi Hidayat

Literasi gampangnya adalah baca-tulis. Literasi memang tidak senikmat mendengar musik. Literasi memang tak ada apanya dibanding nonton film dan sinematik. Literasi memang kalah produktif tinimbang menghasilkan sampah plastik. Akan tetapi, literasi adalah pilar peradaban humanis. Kemajuan yang kita nikmati saat ini tidak berawal dari rebahan, santai, nongkrong dan angan. Peradaban selalu dimulai dari percobaan. Percobaan bersumber dari gagasan. Gagasan dicerap dari membaca dan menulis pemikiran. Itu artinya, literasi adalah mata air peradaban, bahkan lebih jauh, yakni kehidupan.

Barangkali sudah menjadi hukum alam bahwa yang dibutuhkan akan tenggelam oleh pesona yang disenangi. Kokohnya rumah bukan karena interior dan eksteriornya yang berseni, tetapi karena kerja sama semen dan paku yang tersembunyi. Pun juga dengan edukasi dibandingkan sensasi. Demikian pula dengan literasi dibandingkan fantasi.

Oleh karena itu, wajar dan “kurang ajar” apabila data berikut membuat Anda heran. Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, melaporkan bahwa Indonesia menduduki ranking ke-62 dari 70 negara. Serupa namun tidak sama, Kompasiana mewartakan peringkat literasi Indonesia berada di angka 60 dari 61 negara.

Itu artinya, setiap 1 buku di Indonesia ditunggu oleh 90 orang. Dari situ, diperoleh data bahwa rasio nasional Indonesia ialah 0,09. Begitu jauh dari angka 1. Sementara itu, negara maju seamtsal Tionghoa dan Jepang menorehkan capaian statistik literasi yang jauh menjulang. 20 buku baru adalah bahan bacaan bagi orang-orang di dua negara macan Asia ini. Tentu tidak bisa dipukul rata, namun tak bisa disangkal bahwa inilah patokan rata-rata. Indonesia barangkali adalah kebalikannya. Ada pula orang Indonesia yang menghabiskan 20 buku dalam setahun lamanya. Sayangnya, itu adalah pengecualian dari rata-rata.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Nahy Munkar yang Berkemanusiaan

Hp memang merupakan lahan segar bagi pendalaman ilmu pengetahuan. Perkawinan Hp dan jaringan internet di masa kini semakin memudahkan sirkulasi pengetahuan dan wawasan. Akan tetapi, ini hanyalah das sollen (seharusnya). Bagaimana dengan das sein (kenyataannya)? Sebelum menjawabnya, penting penulis lansir laporan Lenstore, pemasok lensa kontak asal Inggris. Menurutnya, Indonesia menempati peringkat ke-8 teratas dalam hal penggunaan ponsel atau alat digital lainnya. Rata-rata orang Indonesia menghabiskan 11,86 jam di depan layar alat elektronik. 4,46 jam dihabiskan di hadapan ponsel.

Selanjutnya, aplikasi apa yang paling laris digunakan orang Indonesia? Suara.com mewartakan cukup panjang, namun akan penulis runcingkan pada dua aplikasi. Pertama, 96,5 persen atau 175,5 juta orang dari total 181,9 juta pengguna internet menggunakan aplikasi chatting. Kedua, 78,2 persen atau 142,2 juta orang Indonesia memakai aplikasi belanja. Aplikasi chatting didominasi oleh WA dan Instagram, sedangkan aplikasi belanja dikuasai oleh Shopee, E-Commerce dan Tokopedia. Data ini secara umum memperlihatkan dua hal. Pertama, aplikasi chatting begitu intim dengan komunikasi yang isinya rata-rata basa-basi, bukan diskusi. Sementara itu, Instagram memampangkan kegilaan pada pencitraan. Yang ditayangkan lebih berupa keindahan fisik atau kreatifitas sinematik. Kedua, aplikasi belanja menampilkan betapa aksesori lebih penting dari literasi. Mengapa penulis bisa memetik kesimpulan demikian? Karena rendahnya literasi ketika dikawinkan dengan tingginya kebutuhan akan aplikasi belanja dan komunikasi sama dengan prioritas urusan materi dibanding urusan edukasi.

Mungkin saja negara maju juga begitu. Akan tetapi, literasi mereka begitu tinggi. Jadi, meskipun kebutuhan mereka akan basa-basi dan materi juga kuat, bahkan melampaui, setidaknya budaya literasinya bisa menjadi andalan. Artinya, budaya hedonis (cari yang nikmat-nikmat saja) paling tidak bisa diredam oleh tingginya kualitas literasi mereka. Kalau Indonesia? Apa yang bisa diandalkan, jikalau literasinya rendah, sementara hedonismenya parah? Data-data di muka tidak jauh beda dengan data dua dasawarsa sebelumnya.

Bosan di Rumah? Ini Ada Event Area Jogja

Agus Purwanto melansir dalam bukunya, Ayat-Ayat Semesta: Sisi-Sisi Al-Qur’an yang Terlupakan, sebuah kabar yang memalukan dan memilukan. Perhatian negara-negara Islam (di mana 88% warga Indonesia adalah muslim) terhadap sains begitu rendah. Science Citation Index 2004 mewartakan bahwa 46 negara Islam menyumbangkan 1,17 persen karya ilmiah dunia. Ini cukup wajar, karena Indonesia sangat menyukai karya fiktif (khayalan), sesuatu yang membawa manusia lepas dari realita, malah tenggelam dalam fantasi belaka.

Angka di atas adalah akumulasi jumlah karya ilmiah negara-negara dengan mayoritas muslim. Coba bandingkan dengan sumbangan satu negara seperti India dan Spanyol! India menyumbangkan 1,66 persen, Spanyol menyumbangkan 1,48 persen. 20 negara Arab berkontribusi 0,55 persen dari total karya ilmiah dunia, sementara satu negara Israel menyumbang 0,89 persen. Di pihak lain, negara-negara maju seperti Jerman, Inggris atau Jepang secara berurutan menyumbang 7,1 persen, 7,9 persen dan 8,2 persen. Lain lagi dengan Amerika yang menyumbangkan 30,8 persen. 

Krisis karya ilmiah di negara-negara yang mayoritas muslim, termasuk Indonesia bertali-temali dengan anggaran yang digelontorkan untuk pengembangan sains dan teknologi, termasuk kegiatan riset dan pengembangan aktivitas ilmiah lainnya. Negara-negara Islam hanya mengeluarkan anggaran belanja sebanyak 0,45 persen dari GNP. Sebaliknya, negara-negara maju yang terhimpun dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mengalokasikan dana sebanyak 2,30 persen dari GNP.

Akibatnya, literasi di Indonesia tak ubahnya terasi. Terasi tidak begitu dibutuhkan dalam sarapan. Literasi barangkali dijadikan bumbu pelengkap bagi dinamika pengetahuan dan wawasan yang sudah banyak bersumber pada sensasi digital. Yang penting bukan seberapa banyak karya dan prestasi, tapi seberapa mampu mencitrakan diri di layar Hp. Maka tidak berlebihan dikatakan betapa literasi berada di ambang basi. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar