KH. Heri Kuswanto
1) Tergantung situasi dan kondisi.
– Jika mendekati hari raya Idul Adha, maka mendahulukan kurban lebih baik
2) menginginkan keduanya (kurban dan aqiqah) sekaligus
– Dalam Tausyikh oleh Syekh Nawawi al-Bantani:
قال ابن حجر لو أراد بالشاة الواحدة الأضحية والعقيقة لم يكف خلافا للعلامة الرملى حيث قال ولو نوى بالشاة المذبوحة الأضحية والعقيقة حصلا
– Ibnu Hajar berkata bahwa seandainya ada seseorang menginginkan dengan satu kambing untuk kurban dan aqiqah, maka hal ini tidak cukup.
– Berbeda dengan al-‘Allamah Ar-Ramli yang mengatakan bahwa apabila seseorang berniat dengan satu kambing yang disembelih untuk kurban dan aqiqah, maka kedua-duanya dapat terealisasi.
3) Konsekuensi kotradiktif dari pendapat Imam Ramli
– dalam pembagian dagingnya, daging kurban lebih afdlal dibagikan dalam kondisi mentah, sementara aqiqah dalam kondisi siap saji.
– Problem pembagian daging itu adalah demi meraih keutamaan, bukan menyangkut keabsahan ibadah.
Baca Juga: Shohibul Kurban Masuk Panitia, masih boleh Terima Daging?
Satu Kambing untuk satu Keluarga?
1) HR imam muslim ,
– Nabi berdoa
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ
“Wahai Allah, terimalah kurban dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan umat Muhammad”
– Hadits di atas, Nabi kurban dengan satu domba cukup untuk keluarga dan untuk semua umat Nabi.
2) Ulama masyhur Imam ibnu hajar Al haytami dalam Tuhfatul Muhtaj ala Syarhil Minhaj :
(مَحْمُولٌ عَلَى التَّشْرِيكِ فِي الثَّوَابِ
Yaitu dalam rangka penyertaan pahala saja dari kurban tersebut.
– Menurutnya, kurban untuk satu orang.
– Tetapi orang yang berkurban dapat berbagi pahala kepada orang lain.
3) Imam an-Nawawi dalam Al-Majmu’
فرع (تَجْزِئُ الشَّاةُ عَنْ وَاحِدٍ وَلَا تَجْزِئُ عَنْ أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدٍ لَكِنْ إِذَا ضَحَّى بِهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ تَأَدَّى الشِّعَارَ فِي حَقِّ جَمِيْعِهِمْ وَتَكُوْنُ التَّضْحِيَةُ فِي حَقِّهِمْ سُنَّةَ كِفَايَةٍ (المجموع )
Kambing mencukupi untuk 1 orang dan tidak mencukupi untuk 1 orang lebih. Namun, jika ada 1 orang menyembelih kambing untuk 1 keluarga, maka ia telah melakukan syiar untuk keluarganya dan kurban menjadi sunah kifayah bagi mereka.
Baca Juga: Pendaftaran LCC Sejarah Tingkat Kota Yogyakarta Tahun 2022
4) Pendapat para ulama dalam hal memahami hadis tersebut.
– Nabi berkurban 1 kambing atas dirinya dan umatnya
– Yang dimaksud adalah menyertakan keluarga dan umatnya dalam memperoleh pahalanya saja dari kurban tersebut,
– Tapi udhiyah kamilah (hakikat kurban yang sempurna untuk yang berkurban, dan kurban itu sendiri adalah Fida’un Nafsi (tebusan pada setiap jiwa ) artinya setiap individu tetap disunnahkan untuk berkurban
5) Kesimpulan:
Di dalam madzhab kita Madzhab As-Syafi’i, ulama Syafiiyah membagi hukum kesunnahan kurban menjadi 2:
- Satu kambing untuk satu orang maka berlaku sunnah ainiyah (Kesunahan yang berlaku untuk tiap individu)
- Satu kambing untuk satu keluarga maka berlaku sunnah kifayah (jika ada satu orang yang melakukan kurban atas dirinya dan keluarganya maka yang lain mendapatkan bagian dari penyertaan pahala.
- Mayoritas ulama sepakat atas kurban satu ekor kambing hanya untuk seorang. Hanya saja pahalanya bisa menyertakan orang lain (harus dipisahkan, antara kurban dan pahala).
Hadis adakalanya:
– Dapat langsung dipahami secara tekstual.
– Adakalanya pemahaman sebuah hadits menuntut analisa dan kajian lebih mendalam.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Urgensi Melestarikan Bahasa Jawa Krama
Memasak Daging Kurban untuk Panitia dan Masyarakat, Seperti Apa Hukumnya?
Ada dua pendapat ulama:
1) Sebagian tidak membolehkan,
– Ketika daging kurban yang baru saja dipotong langsung dimasak dan dimakan oleh panitia saat belum jelas pemiliknya dan diizinkan, disebut haram.
– Karena hal itu dianggap sebagai upah jagal (Al-Jazzar). Karena mereka memahami tukang jagal, yaitu orang orang yang menangani pengulitan dan memotong motong daging hewan yang disembelih.
2) Panitia kurban dibolehkan mengambil dan memasak sebagian dari hewan kurban (daging, kulit, kepala dll),
– Selama bukan sebagai upah, hal itu karena mereka menjadi wakil dari pengkurban.
– Jika mereka sudah mendapat upah berupa uang sebagai imbalan kerja, mereka tetap boleh menerima daging atau kulit sebagai pemberian dari si pengkurban, bukan upah kerja.
– Dalam Tausyekh Ibnu Qosim
ولا يجوز له أخذ شيء منها إلا إن عين له الموكل قدرا منها لكن قال بعضهم يجوز لوكيل تفرقة لحم العقيقة أن يأخذ منه قدر كفاية يوم فقط للغداء والعشاء لأن العادة تتسامح بذلك
- Boleh memasaknya Setelah mendapat izin dari sipekurban.
- Sebagian pendapat boleh memasaknya meski tidak izin asalkan sesuai dengan kadar yang dimaklumi secara umum
- Boleh memasaknya setelah daging itu diserahterimakan dari panitia kemudian diberikan kepada sie konsumsi atas nama shodaqoh untuk dimasak
- Dikonsumsi bukan hanya untuk panitia saja tapi melibatkan masyarakat yang lain yang ada di lokasi.
Baca Juga: Cinta dan Akal
Berkurban Atas Nama Almarhum?
1) Dalam madzhab Syafi’i,
– Kurbannya tidak sah kecuali jika ada wasiat dari almarhum.
– Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Minhaj:
وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ، وَلَا عَنْ الْمَيِّتِ إذَا لَمْ يُوصِ بِهَا
“Tidak sah kurban untuk orang lain selain dengan izinnya. Tidak sah pula kurban untuk mayit jika ia tidak memberi wasiat untuk kurban tersebut.”
2) Berkurban untuk mayit ada tiga rincian:
Pertama:
– Kebolehan berkurban atas nama mayit hanya sebagai penyertaan dalam pahala saja,bukan diatas namakan mayyit.
– Misal, seseorang berkurban untuk dirinya dan keluarganya termasuk yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia.
– Dasar, Nabi saw pernah berkurban untuk dirinya dan keluarganya, termasuk di dalamnya yang telah meninggal dunia.
– Maka jika seseorang berkurban untuk dirinya, seluruh keluarganya baik yang masih hidup maupun yang telah mati, bisa termasuk dalam niatan kurbannya
– Dalam Tuhftatul Muhtaj
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
Pada masa Rasulullah saw ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai kurban bagi dirinya dan keluarganya.
– berlaku hanya dalam penyertaan pahalanya atas nama keluarga baik yang hidup atau yang sudah meninggal.
Kedua:
– Berkurban untuk mayit atas dasar wasiatnya (sebelum meninggal dunia).
– Dibolehkan berdasarkan QS. Al Baqarah 181
فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
وَلَا عَنْ الْمَيِّتِ إذَا لَمْ يُوصِ بِهَا
– Sah kalau sebelumnya wasiat (kitab Al Minhaj) , sejalan dengan madzhab As syafii
Ketiga:
– Berkurban dengan niatan khusus untuk mayit tanpa wasiat dan juga bukan sebagai penyertaan pahala, maka seperti ini tidak ada sunnahnya
– Nabi saw tidak pernah berkurban untuk salah satu orang yang telah meninggal dunia dengan niatan khusus.
Baca Juga: Festival Kaligrafi Ke-9 2022 LKP Jogja Kaligrafi
3) Disimpulkan:
- Jika ada wasiat dari mayit maka sah kurbannya (ittifaqul Ulama’)
- Jika tidak ada wasiat dari mayit maka menurut mayoritas ulama’ tidak sah atas nama kurban, melainkan hanya pahala sedekah.
- Namun menurut sebagian ulama’ (Syech Abu Hasan Al Ubadi) sah kurbannya, dengan alasan kurban adalah bagian dari sedekah, sedangkan sedekah itu sah di peruntukkan untuk si mayit, pahala akan sampai dan akan memberi manfaat (Al-Majmu’ Syarah Muhadzabab).
KH. Heri Kuswanto, Pengasuh Pondok Pesantren Lintang Songo, A’wan Syuriah PWNU DIY sekaligus dosen IIQ An Nur Yogyakarta.
1 komentar