Kunci Sukses Cukup Punya “Orang Dalam”

Esai, Literasi5 Dilihat

Seputar Pendidikan #10

Aldi Hidayat

Orang Dalam. Demikian peremajaan istilah bagi fenomena “pilih kasih” atau dalam istilah politik disebut nepotisme. Ketiganya serupa, bahkan boleh jadi sama alias 3 kata yang menunjuk 1 makna. Orang Dalam gampangnya kenalan, entah teman atau kerabat yang memilih seseorang atas dasar kedekatan, bukan atas dasar kemampuan. Fenomena ini sah dikata merupakan fenomena purba. Artinya, dari dulu, manusia cenderung begitu.

Idealita sering bertabrakan dengan realitas. Idealitanya bilang A, namun realita bilang B. Dalam keadaan itu, manusia diuji integritasnya, antara memihak pada idealita, atau menjurus pada realita. Integritas gampangnya seberapa teguh seseorang mempertahankan cita-cita, norma dan lain sebagainya, tatkala kenyataan datang dengan beribu rayuan untuk menyingkirkannya. Integritas seseorang kerap lemah dan jatuh, saat menghadapi dua pihak berikut.

Sebelumnya, penting diketahui bahwa dua pihak ini memiliki otoritas (wewenang atau kekuatan). Otoritas ini penulis pinjam dari gagasan Abou el-Fadl, pemikir pembaharu muslim, lewat bukunya Speaking In God’s Name: Authority, Islamic Law and Women (Berbicara Atas Nama Tuhan: Otoritas, Hukum Islam dan Perempuan). El-Fadl membagi otoritas pada dua. Pertama, otoritas koersif yaitu kekuatan memaksa. Biasanya, pemilik otoritas ini adalah atasan struktural. Atasan struktural adalah petinggi dalam suatu lembaga yang sudah terorganisasi oleh aturan yang disepakati, seperti sebut saja AD/ART. Pemilik otoritas ini seperti pemerintah, pengurus organisasi, tenaga pendidik di sekolah dan lain-lain. Mereka memiliki wewenang untuk memaksa bawahan dalam mematuhi aturan. Sayangnya, aturan seringkali disimpang-siurkan dengan kepentingan. Alih-alih menyuruh bawahan untuk taat aturan, kenyataannya ialah memenuhi kepentingan atasan. Ini sangat berbahaya. Di sinilah, potensi kriminalitas atasan.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Penampilan Bukan Segalanya, Tapi Nyaris

Kedua, otoritas persuasif yaitu kekuatan menekan. Kekuatan yang satu ini memang tidak terorganisir dalam suatu tatanan, lengkap dengan seabrek aturan. Akan tetapi, kekuatan ini menyisakan kesan keramat, sehingga mengabaikannya seolah akan mengundang kualat. Pemilik otoritas ini seperti pemuka agama, pemuka adat, sahabat, kerabat, kekasih dan lain sebagainya.

Integritas seseorang akan terguncang saat menghadapi bentrok antara nilai yang mesti dipelihara dengan kepentingan salah satu dua pihak di muka. Gampangnya, seseorang kerap kali tidak profesional, tidak adil, tidak bijak, saat menghadapi mereka. Dua pemilik otoritas ini penulis sederhanakan menjadi; yang ditakuti, yang disegani dan yang disayangi.

Taruhlah misal seorang kepala sekolah sedang membuka lowongan guru. Saat pendaftaran, ada dua orang yang sama-sama punya kelebihan dan sama-sama punya kelemahan. Pihak satu punya kemampuan, namun krisis kedekatan. Pihak dua krisis kemampuan, namun punya kedekatan. Kira-kira, akan berlabuh pada siapa pilihan kepala sekolah? Jika memang punya integritas, maka pilihan jatuh pada yang pertama. Pasalnya, urusan pendidikan bukan urusan hubungan emosional, tapi hubungan profesional. Siapa pun orangnya, asal memiliki kemampuan, maka dia yang direkrut mestinya. Sebaliknya, jika tidak punya integritas, maka pilihan besar kemungkinan–jika enggan disebut pasti–mengarah pada pihak kedua. Alasannya sederhana, yaitu karena dia teman dekat atau kerabat si kepala sekolah. Jika pihak kedua ini ditolak, maka beban psikis yang akan diterima si kepala, yaitu “Nggak enak ditolak, wong dia kerabat saya. Apa kata keluarga nanti, kalau aku menolaknya?

Klik: Info Madin Jogja

Coba kita banting setir ke contoh lainnya! Sudah menjadi doktrin dan tradisi bahwa keturunan pemuka agama harus dihormati. Ini sebagai ucapan terima kasih pada pemuka agama, karena telah meluangkan waktu untuk mendidik bangsa. Akan tetapi, acapkali penulis dapati betapa keturunan pemuka agama kadang dibiarkan melanggar aturan. Mengkritiknya dianggap sebagai kelancangan. Pertanyaannya, mana lebih sopan antara membiarkan orang terhormat salah dan mengkritiknya supaya selamat dari salah? Jika memang Allah itu tidak pandang bulu terhadap ciptaan-Nya, mengapa kita sering canggung saat menyikapi kesalahan pemuka agama? Kecanggungan ini semakin parah, saat pemuka agama tidak bisa membedakan mana ranah privat dan mana ranah publik. Akibatnya, kritik terhadap dirinya dinilai kelancangan, padahal dia sendiri telah mengacaukan urusan publik.

Sekarang penulis tayangkan contoh integritas seorang pemimpin saat menghadapi situasi dilema antara kepentingan bangsa dan kepentingan keluarga. Khalifah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz pernah didatangi sang putra di istana negara. Sang putra mengadukan permasalahan pribadi di istana negara pada malam hari. Mengetahui itu, khalifah mematikan lentera dengan dalih bahwa lentera ini untuk kepentingan bangsa, bukan kepentingan keluarga. Hal sederhana itu barangkali absen dalam daftar perhatian penguasa masa kini, entah penguasa negara atau penguasa agama. Tak ayal, mudah didapati penguasa menggunakan mobil dinas untuk kepentingan pribadi.

Jangan Lewatkan: Info Penerimaan Mahasiswa (PMB) Jogja

Kini kita kembali ke tema. Dahulu, sering bergaung, “Kunci sukses itu usaha dan doa”. Sekarang, muncul slogan baru, “Kunci sukses itu orang dalam”. Tidak penting apa Anda disiplin, pintar, berprestasi dan lain sebagainya. Yang penting, seberapa dekat Anda dengan pemilik lembaga atau perusahaan yang mau Anda masuki. Cukup memprihatinkan, namun nyaris mustahil dihilangkan.

Hanya satu kunci dalam menghadapinya. Ungkapan bijak Arab berikut mengutarakannya:

من صحب السلطان بالصدق والأمانة أكثر عدوا ممن صحبه بالكذب والخيانة

Barangsiapa mendekati penguasa (koersif atau persuasif) dengan jujur dan amanat, maka akan lebih banyak musuhnya ketimbang yang mendekati penguasa dengan bohong dan khianat.

Jadi, hanya ada dua pilihan; antara berani jujur dan adil, namun harus dimusuhi atau menjadi pembohong dan penjilat, namun banyak yang simpati. Demikian. Wallahu A’lam.

Selain Kunci Sukses Cukup Punya Orang Dalam, baca juga Puisi-puisi Imam Arofi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar