Kita Dipaksa Pintar tentang Segala Hal

Esai, Literasi168 Dilihat

Seputar Pendidikan #3

Aldi Hidayat

Bisakah Anda mendengar dua orang sekaligus berbicara pada Anda? Kalau bisa, mengapa dalam setiap diskusi, yang berbicara harus satu per satu, bukan dua per dua? Contoh sederhana itu adalah bukti betapa manusia hanya bisa fokus pada 1 hal atau lebih sedikit. Manusia akan kewalahan, bila belajar semua hal dalam waktu berdekatan, apalagi bersamaan. Tak heran, meskipun berjubel tokoh, ilmuwan, cendekiawan, filsuf dan aneka macam yang pernah belajar banyak hal, tetap saja yang menonjol dari mereka adalah 1-2 disiplin. Jadi, lebih tegasnya, fokus adalah kodrat manusia.

Sistem pendidikan kita nampak bertentangan dengan kodrat itu. Bayangkan, sejak SD, kita sudah dicekcoki oleh sekian banyak materi. Lain lagi ketika menginjak fase SLTP dan SLTA. Lalu apa hasil dari pendidikan semacam itu? Lulusan yang tahu sedikit tentang banyak; berbagai materi diketahui, tetapi pada permukaannya saja, bukan tahu banyak tentang sedikit; hanya tahu satu materi, tapi mendalam hingga ke akar-akar, bahkan dapat menghasilkan penemuan.

Argumen pembelaan yang mungkin saja terngiang, “Loh, justru dengan banyaknya materi, murid bisa memilih materi apa yang disukai agar nanti ditekuni.” Argumen ini mengidap kelemahan yang tersembunyi. Pertama, setiap guru tentu bakal menunjukkan sisi-sisi baik materi yang diampu. Itu sebagai promosi supaya materinya menarik hati. Jika begini, murid akan tambah bingung, karena masing-masing materi memiliki daya tarik. Sementara itu, murid masih “merangkak” dalam menentukan secara logis-rasional materi apa yang sesuai keinginan. Kedua, sistem pengajaran seringkali tumpang-tindih, jam 1 belajar Fisika, jam 2 belajar Fiqih, jam 3 belajar seni dan lain seterusnya. Dalam keadaan tumpang tindih itu, akal murid seketika terputus dari materi sebelumnya, karena masing-masing materi tidak berkaitan secara langsung.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Kritik Itu Anak Kandung Pendidikan yang Dianaktirikan

Lebih lanjut, pendidikan kita sering menganggap pintar itu, kalau paham materi dan bisa menjawab soal ujian. Ketika lanjut ke kampus, ditambah satu kriteria, yaitu bisa menulis dibuktikan dengan makalah, skripsi, tesis dan disertasi. Dua kemampuan tadi hanya dua kecerdasan, yaitu logis dan linguistik. Anehnya lagi, jurusan bisnis (mohon maaf, sebagai misal) kelulusannya ditentukan oleh tulisan, bukan oleh kinerja nyata menjadi pengusaha. Akibatnya, seluruh kecerdasan dikempiskan ke dalam satu kecerdasan. Terjadilah yang namanya pendangkalan.

Di luar sana, ada banyak kecerdasan, seperti visual-spasial (kecerdasan imajinatif, seperti melukis, mendesain dll), musikalistik (bernyanyi atau memainkan alat musik), kinestik (olahraga), intrapersonal (kecerdasan emosional), interpersonal (kecerdasan meyakinkan orang lain, seperti bisnis) dan naturalis (kepekaan akan alam, seperti petani dan nelayan saat memahami cuaca, tukang pijat yang bisa menerka jalur saraf tanpa belajar kedokteran). Tentu masih banyak lagi kecerdasan. Akan tetapi, yang hebat di kecerdasan-kecerdasan itu tidak mendapat tempat segar di ruang pendidikan.

Jika Bhineka Tunggal Ika selalu diagungkan, itu berarti aneka kecerdasan harus mendapat tempat yang sama dalam pengembangan. Tanpa kesamaan dan kemerataan pengembangan kecerdasan, maka dua kecerdasan primadona (logis dan linguistik) akan menjajah benak bangsa. Seolah-olah yang pintar itu hanya rangking 1, yang cumlaude, wisudawan terbaik, padahal mereka hanya unggul dalam satu kecerdasan. Sayangnya, prestasi demikian masih menimbulkan banyak pertanyaan. Pasalnya, prestasi itu sering bertumpu pada ujian akhir, satu momen di mana pelajar dipaksa konsentrasi total, padahal manusia selalu pasang-surut, ada saat-saat konsentrasi, ada saat-saat tidak. Satu momen itu kemudian dijadikan patokan yang dipukul rata; yang sukses di momen itu berarti sukses dalam semuanya dan seterusnya.

Uraian di atas bermuara pada dua poin utama. Pertama, kurikulum kita membebani murid dengan aneka materi sejak usia dini, sehingga tidak bisa fokus. Kedua, kurikulum kita timpang dalam mengembangkan kecerdasan, yakni terpaku pada kecerdasan memahami dan kecerdasan berbahasa. Lantas bagaimana gambaran solutif dalam menangani dua kelemahan tadi?

Baca Juga: Info Penerimaan Mahasiswa Baru Jogja

Belajar yang efektif setidaknya harus memenuhi satu di antara tiga syarat berikut, sesuai minat, sesuai bakat atau sesuat keduanya sekaligus. Minat dan bakat adalah dua hal yang tidak berjauhan. Setiap minat pasti ada bakatnya, demikian sebaliknya. Kurikulum kita masih berkutat pada seabrek materi yang menuntut untuk dipahami (materi-materi logis-matematis). Adapun minat dan bakat yang bersifat praktis, seperti olahraga, interpersonal, intrapersonal, naturalis hanya sebagai sampingan yang sengaja diselundupkan atau tanpa sadar dimasukkan. Semestinya, sistem jurusan harus dibuka sejak Sekolah Dasar. Masing-masing jurusan fokus pada aneka materi yang memang berhubungan secara langsung. Jika jurusannya IPA, maka ilmu yang dicecar setiap hari berkisar pada Biologi, Fisika, Kimia. Pengembangannya dilanjutkan pada tahap SLTP, SLTA dan kampus. Apa yang diajarkan di tingkat selanjutnya bukan lagi pengulangan apa yang pernah diajarkan saat SD. Pendidikan kita terlalu sering mengulang materi yang pernah diajarkan. Akibatnya, guru dan murid tidak tertantang untuk belajar lebih lanjut.

Dari sekian banyak jurusan, harus ada satu materi paten yang diajarkan secara merata, baik pada setiap jurusan maupun pada setiap jenjang pendidikan. Materi itu ialah pendidikan moral. Moralitas saat SD berupa perintah dan anjuran untuk berbuat baik. Moralitas saat SLTP adalah tambahan. Moralitas saat SLTA ditambah alasan rasional mengapa harus berbuat baik. Moralitas saat kuliah adalah kajian filosofis yang jauh lebih mendasar bahwa kebaikan bukan lagi kewajiban, melainkan kebutuhan. Dengan demikian, masing-masing jurusan punya visi yang jelas, yaitu mengabdikan ilmu untuk umat. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar