Seputar Pendidikan #39
Aldi Hidayat
Bermutu-tidaknya suatu hal tergantung seberapa besar sumbangsihnya bagi peradaban. Yang bermutu adalah yang mengais dedikasi, edukasi, motivasi, inspirasi, aspirasi dan masih banyak lagi. Yang tidak bermutu adalah yang memancing sensasi, fantasi, berahi, basa-basi dan lain yang seragam dengan semua ini. Manakah antara keduanya yang paling memikat perhatian? Mari kita baca berdasarkan segelintir fakta yang kita dapati di tengah jalan!
Mengapa olahraga kerap meraup penonton dan pemirsa, apalagi sepak bola? Olahraga satu ini mendunia dan di belahan bumi Eropa telah menjelma agama. Persoalannya, apa sumbangsih olahraga bagi kemanusiaan? Apakah main dan tonton bola misalnya akan menambah pengetahuan dan wawasan? Bukankah semua itu tidak lain dan tidak bukan kecuali sekadar hiburan? Akan tetapi, mengapa olahraga, khususnya sepak bola bisa meledak di pasaran? Jawabnya gampang, yaitu karena yang tidak bermutu pasti akan laku.
Nikmati Suara Asli D Zawawi Imron: Puisi Ibu yang Paling Menyentuh Jiwa
Mengapa jualan buku pasti kalah dibanding jualan makanan? Tidakkah banyak kuliner yang memiliki citarasa yang tak jauh beda dari buatan ibu rumah tangga? Akan tetapi, mengapa bisa mematok harga yang tinggi? Ironisnya, mengapa banyak orang rela antri dan merogoh kocek bukan main hanya untuk mencicipi? Memangnya lezatnya makanan akan menghentikan korupsi dan kolusi? Tidakkah dua kriminalitas ini adalah musuh bersama lintas agama, budaya dan generasi? Akan tetapi, kenapa banyak orang rela menghabiskan uang hanya untuk memuaskan perut yang keroncongan? Mengapa tidak menghabiskan uang untuk membeli yang justru akan menambah pengetahuan dalam menumpas kejahatan? Akan tetapi, kenapa yang terjadi malah kebalikan? Jawabnya sederhana, yaitu karena kalau mau laku, maka jangan bermutu!
Jangan Lewatkan Baca Juga: Makrab dengan Masalah
Mengapa industri film seringkali bermuatan asrama dan asmaragama? Tidak hanya itu, mengapa karya sastra sesak dengan saling gombal antara pria dan wanita atau secara umum kasmaran temanya? Apakah asmara akan menumbuhkan inspirasi untuk giat belajar? Adakah asmaragama menuntun seseorang untuk menjadi pintar? Apakah asmara dan asmaragama menghasilkan pergerakan bagi laku hidup yang masih stagnan? Tidakkah perubahan berakar pada tekad kuat untuk pembelajaran? Akan tetapi, kenapa dua tema tadi selalu laku keras di pasaran? Karena memang yang tidak bermutu niscaya akan laku.
Mengapa musik jauh lebih digandrungi muslim ketimbang mengaji al-Qur’an? Tidakkah penelitian justru menunjukkan bahwa mengaji atau mendengar al-Qur’an jauh lebih mencerdaskan? Tidakkah sumber ketuhanan dan kemanusiaan justru digali dari firman Tuhan? Bahkan, bukankah acapkali manusia meminjam pesan Tuhan guna menaikkan pamor yang mendulang perhatian? Lalu mengapa al-Qur’an kini tenggelam di tengah banyaknya maraknya musik dan produk hiburan? Karena sekali lagi yang laku adalah yang tidak bermutu.
Mengapa jurusan teoritis, seperti filsafat sudah betah dengan kondisi sepi peminat? Tidakkah di balik damainya kehidupan masa kini ada pondasi filosofis yang telah menginspirasi dan mengkristal sebagai aspirasi? Tidakkah kepedulian kita terhadap sesama bermula dari perbincangan filosofis tentang apa, mengapa dan bagaimana manusia? Jika demikian, lalu mengapa jurusan yang satu ini seringkali krisis orang yang memperhatikan? Sebab yang bermutu pasti tidak akan laku.
Baca Juga: Goodlooking is Everything
Mengapa konten Youtube yang laris adalah basa-basi dan foya-foya, bukan edukasi dan candradimuka? Tidakkah di balik basa-basi dan foya-foya ada usaha setengah mati untuk mencapainya? Bukankah di balik makmurnya suatu bangsa ada darah dan keringat yang pernah membanjiri dunia? Mengapa bukan itu yang menjadi tontonan utama? Mengapa malah tarian di atas tangisan pahlawan yang laris manis di mata pemirsa? Itu lantaran yang bermutu dengan sendirinya tidak akan laku.
Mengapa banyak orang suka dipuji dan enggan dikritik? Tidakkah kritik akan menyadarkan, sedangkan pujian akan meninabobokkan. Tidakkah modernitas berpilar pada kritik terhadap masa lalu? Bukankah orang bangkit justru saat dirinya terpuruk, bukan saat dirinya tidak pernah dikritik, dihina, bahkan dikutuk? Lalu mengapa sistem pendidikan kita menutup pintu kritik, sehingga diskusi kelas tidak pernah begitu tajam dan membongkar? Paling banter hanya saling membenarkan. Ironisnya, mengapa beberapa mahasiswa harus anjlok nilainya, bahkan dropout dari lembaga, hanya karena dia mengoreksi atasannya? Tidakkah kritik dan koreksi mutlak dibutuhkan bagi perkembangan dan kemajuan? Mengapa ia masih begitu langka dalam sistem pendidikan? Karena memang yang bermutu sudah ditakdirkan tidak bisa laku.
Quotes Pendidikan Sangat Menggetarkan
Mengapa perempuan lebih suka selfie hingga berpose dan membuat video yang memantik berahi? Bukankah mereka sendiri tidak mau dilecehkan? Tidakkah kebiasaannya itu justru akan mengundang predator seksual? Memang dirinya kadang selamat dari pelecehan. Akan tetapi, tidakkah penampilannya yang mencolok mata justru memanaskan berahi lelaki yang bisa meledak di lain hari? Ketika meledak, memang dia sendiri kadang bukan korban, namun yang pasti kaum perempuan akan menjadi mangsa pelampiasan. Artinya, penampilan molek sekalipun tidak membahayakan diri sendiri, yang pasti akan membahayakan perempuan lain, sekalipun perempuan lain itu tidak pernah aduhai berpenampilan? Itu karena lelaki biasa memandang perempuan sebagai objek seksual, bukan objek cinta dan kasih sayang.
Ambil: Beasiswa LPDP Buka 25 Februari 2022
Sebaliknya, tidakkah memadatkan media sosial dengan quotes, sharing, diskusi, pamer pengetahuan dan wawasan justru lebih menyelamatkan? Akan tetapi, mengapa justru jumlah perempuan yang peduli demikian tidak seberapa dibanding mereka yang candu pamer kecantikan? Itu karena yang bermutu siap-siap untuk tidak laku.
Mengapa lelaki banyak menghabiskan waktu dengan game? Katanya, lelaki itu adalah calon pemimpin. Apakah kepemimpinan bersumber dari permainan? Apakah main game akan menguatkan mental dan menajamkan intelektual? Akan tetapi, mengapa beberapa lelaki masih merasa lebih baik dari perempuan, padahal lelaku kesehariannya adalah bermain game tanpa dibatasi jadwal? Lagi-lagi karena yang tidak bermutu pasti bakal laku.
Ikuti: Beasiswa Baznas Pusat Republik Indonesia 2022
Segelintir uraian di atas tidak bermaksud melontarkan hinaan. Uraian tentang kalau mau laku, maka jangan bermutu berpucuk pada dua kesimpulan. Pertama, sudah menjadi kodrat kehidupan bahwa yang bermutu pasti tabu, sedangkan yang tidak bermutu pasti laku. Kedua, kalau begitu, apakah kita harus memberantas si tak bermutu lalu hanya memberlakukan si bermutu? Akan tetapi, tidakkah cara ini justru berlawanan dengan kodrat kehidupan? Melawan kodrat pasti berakhir kualat. Lalu bagaimana cara yang moderat? Kita lanjutkan di esai selanjutnya. Demikian. Wallahu A’lam.
Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta
1 komentar