Imbangi Dominasi Lelaki lewat Edukasi

Esai, Literasi199 Dilihat

Seputar Pendidikan #7

Aldi Hidayat

Sering terngiang stigma, “Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya mereka kembali ke sumur, kasur dan dapur?” Argumen ini memang rasional, karena tiga sektor tadi tidak butuh pendidikan yang teramat tinggi. Salah satu argumen bantahannya ialah, “Perempuan harus berpendidikan tinggi, karena dia akan menjadi ibu, sang pencetak generasi baru.” Argumen ini begitu kuat, namun sayangnya tidak bisa merata. Pasalnya, tidak semua perempuan menjadi ibu, entah karena mandul, belum menikah, meninggal di usia muda dan lain seumpamanya.

Pun juga, argumen itu tidak menghujam langsung pada akar diskriminasi terhadap perempuan. Akar diskriminasinya adalah budaya patriarki, yaitu lelaki mendominasi hampir semua lini. Apabila akar ini tidak dilawan dengan argumen yang akurat, maka argumen pembelaan di atas justru bakal meningkatkan dominasi lelaki. Perempuan akan menjadi sosok ibu yang ikut-ikutan menuhankan patriarki, “Nak, kamu jangan melawan suami! Itu nggak baik menurut agama.”

Karena itu, kita perlu mempertimbangkan sisi lain. Kalau perempuan tidak diberi akses yang sama, setidaknya dalam dunia pendidikan, maka kepemimpinan lelaki akan identik dengan kelaliman. Atas nama status imam keluarga, lelaki kemudian dilegalkan berbuat seenaknya. Bukankah Islam mengajarkan keadilan? Keadilan akan terwujud, jikalau kedua belah pihak memiliki daya mental dan intelektual yang katakanlah sepadan. Pasalnya, manusia cenderung menutup diri dari kekurangannya. Yang bisa mengoreksi kekurangan secara efektif adalah orang lain. Tanpa koreksi, pemimpin akan terjerumus dalam kelaliman yang berkedok kepemimpinan.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Emasipasi yang Masih Ilusi

Jika demikian, lalu apa sebenarnya tujuan paten pendidikan bagi perempuan? Tujuannya adalah mengimbangi dominasi lelaki di berbagai lini kehidupan, sehingga tidak terjadi lagi monopoli, melainkan toleransi kritis-apresiatif. Toleransi demikian berarti masing-masing pihak dapat berkontribusi dalam menegur dan menasehati satu sama lain. Secara radikal, ini berarti istri–bukan hanya perlu, tapi harus–mengkritik suami. Apakah ini tidak lancang? Baiklah.. kita ulas secara perlahan.

Pada esai sebelumnya, penulis tegaskan bahwa kritik itu adalah anak kandung pendidikan, bahkan unsur paten dalam Islam dan kehidupan. Kritik adalah nama lain dari menasehati. Apalagi, manusia pasti pernah salah. Di situlah, pentingnya saling mengoreksi. Penghalang utama kritik dari perempuan adalah patriarki, ditambah lagi budaya feodal dan paternal. Karena itu, jika selama ini kritik dianggap identik dengan lancang, maka harus ditumbuhkan budaya bahwa enggan mengkritik berarti lancang, karena membiarkan seseorang dalam kesalahan.

Lebih lanjut, adakah tujuan paten lainnya dari pendidikan untuk perempuan? Ini bisa kita kembalikan pada psikologi perempuan. Dilansir dari buku Perempuan: Dari Cinta sampai Seks,dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru, karya M. Quraish Shihab, bahwa watak utama perempuan ada dua. Pertama, narsisme yaitu cinta diri sendiri. Tak ayal, perempuan senang dapat perhatian, bahkan kriteria pasangan idamannya ialah perhatian dan bertanggung jawab. Kedua, masokisme yaitu rela tersakiti demi kebaikan yang lain. Tak heran, perempuan rela dan menikmati momen kehamilan, bahkan rela meregang nyawa demi kelahiran. Pun juga, ada pepatah Arab menegaskan:

إن المرأة تكتم المحبة أربعين سنة ولا تكتم الغضبة ولو في حين واحد

Perempuan mampu memendam cinta 40 tahun lamanya, namun tidak bisa memendam amarah, meski sesaat saja.

Jangan Lewatkan Info: Lowongan Kerja Yogyakarta

Poin kedua yang akan penulis kaji. Perempuan tidak bisa memendam amarah, meski sesaat saja. Benarkah? Jika ditanya, apakah perempuan sensitif, mudah baper dan perasa? Jawabannya iya. Akan tetapi, apakah perempuan pendendam yang melampiaskan dendamnya secara brutal? Jawabannya tidak. Memang, ada pula perempuan yang membunuh. Akan tetapi, bukankah tindak kriminal yang brutal, seperti membunuh dan mencuri justru didominasi oleh lelaki? Itu artinya, perempuan memiliki bekal emosional yang luhur untuk perkembangan pendidikan secara khusus dan masyarakat secara umum ke depan.

Dua sifat perempuan ini penting ditanamkan pada lelaki. Kira-kira bagaimana gambaran penanaman itu? Pertama, narsisme mungkin identik dengan egois, karena sama-sama mementingkan diri sendiri. Apakah ini tidak bisa diperbaiki? Sangat bisa. Anggapan perempuan mungkin cinta diri sendiri ialah dengan mempercantik badan, mendulang sebanyak mungkin perhatian, bahkan gonta-ganti pasangan. Anggapan ini kerap dilawan dengan dalil bahwa perempuan haram menampilkan diri sendiri. Akan tetapi, persoalannya ialah bukankah menampilkan diri sendiri adalah naluri; sesuatu yang tidak hanya tertanam dalam benak perempuan, namun juga lelaki? Apakah Islam hendak memberantas sesuatu yang sudah bawaan dan kebutuhan? Sekali lagi, penulis tegaskan bahwa Islam tidak membunuh kebutuhan, namun mendewasakan. Lalu bagaimana mendewasakan kebutuhan perempuan akan tampil di depan publik?

Anggapan cantik harus digeser pada inner beauty (kecantikan dari dalam). Itu artinya, perempuan memang seharusnya dan sepatutnya menampilkan diri sendiri, namun bukan lagi kecantikan yang dipertontonkan. Kecantikan hanya sampingan. Tampilan utama adalah kecerdasan dan kepribadian. Artinya, perempuan harus menyesaki dunia digital dengan pengetahuan dan wawasan yang mereka dapat. Doktrin bahwa perempuan harus menutup diri artinya menutup diri dari membuat lelaki larut dalam sensasi, namun membuka diri pada lelaku yang membuat lelaki tertantang belajar dan mengabdi. Konten macam ini jarang ditemui di dunia digital. Itulah salah satu langkah termudah bagi perempuan dalam mewujudkan emansipasi.

Jangan Lewatkan: Info Kuliah Sekitar Yogyakarta

Kedua, masokisme yaitu keengganan balas dendam. Ini penting ditanamkan pada lelaki dalam rangka meredam potensi brutal dalam diri mereka. Psikologi menegaskan bahwa watak lelaki ialah impulsif; gemar bertindak semaunya. Tak heran, lelaki susah diatur. Apabila diatur, malah dirinya mau mengatur. Meski begitu, sifat ini memiliki sisi positif. Berkat sifatnya ini, rata-rata pembaharu peradaban adalah lelaki. Mereka merasa tidak nyaman dengan situasi yang ada lalu mereka memberontak dan menawarkan solusi yang lebih baik nan jaya. Hanya saja, watak itu acapkali membawa lelaki pada lelaku brutal. Di situlah, penting ditanamkan dalam dirinya sifat masokistik perempuan, yakni rela berkorban demi kebaikan kini dan nanti. Apakah cukup sampai di sini?

Masih ada segelintir kegelisahan yang memancar lagi gegara mengulas ini. Dua sifat ini (narsisme dan masokisme) tatkala hendak disosialiasi, ternyata mengidap beberapa kontradiksi. Apa dan bagaimana kontradiksi lalu apa dan bagaimana solusi akan dibahas pada edisi nanti. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar