Rudiana Ade Ginanjar
ALAM DALAM SATU kondisi tertentu adalah musuh manusia. Seperti hari itu ketika Fahri, mahasiswa pascasarjana, hendak mengaji pada gurunya. Perjalanan yang sulit. Mesir tengah panas dalam musimnya. Badai pasir, suhu tinggi, dan angin mendera. Walakin, tokoh protagonis Ayat-Ayat Cinta (2004) tersebut sintas dan pulang kembali ke rumah petak sewa bertingkatnya. Namun dalam satu cerita lain, yang dituturkan lebih liris, bukan cuaca yang mengadang manusia. Sebaliknya.
Perang. Peranglah yang menjadi jalan penghalang keberadaan cuaca buruk. Peristiwa lebih besar menempatkan kondisi buruk lain dalam hipostasi. Hal itu terjadi pada puisi Ibe S. Palogai, Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi (2018). Baik Habiburrahman El Shirazy atau Ibe mengambil satu tema pokok serupa: cinta. Gema yang mengulang pernyataan penyair legendaris Chairil Anwar: cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. Dalam novel El Shirazy bahaya itu dideskripsikan dengan lebih kentara, seturut gaya realis. Puitika Ibe hanya bisa dipahami melalui narasi dalam gaya alegori. Namun tokoh-tokoh utama kita menghadapi musuh yang sama pada salah satu babak perjalanannya. Orang-orang baik menghadapi hari-hari buruk. Beberapa pengarang atau penyair mengambil peristiwa alam sebagai cara untuk membagi perasaan atau isi pikirannya. Melalui pengembangan analogi, bahasa alam adalah perwujudan perasaan sesungguhnya. Hal-hal itu bertebaran dalam banyak tempat dalam cerita atau sajak-sajak yang dituturkan. Menemukan hakikat alam adalah jalan seni John Ruskin. Meski tidak secara langsung, hakikat alam juga telah menjadi bahan yang cukup kuat dalam realisme El Shirazy ataupun puitika Ibe dalam karya mereka masing-masing. Lebih-lebih seandainya mereka memakai gaya romantisisme seperti John Keats—alam akan menjadi ciri khas mereka. Baik dalam dunia khayal yang mereka bentuk ataupun dalam keseharian. John Keats adalah pribadi yang mudah terpukau pada keindahan. Sedangkan Kenzaburo Oe, sosok teladan lain, akan bersedia tidur di hutan seorang diri demi mengungkapkan wujud kekagumannya akan kekuatan itu. Dalam baris yang cukup cerdik Ibe berkata, “ia saksikan angin retak di luar jendela” (Palogai, 2018:11), sedangkan dalam salah satu pasase El Shirazy memaparkan: “Hembusan angin sahara disertai debu yang bergulung-gulung menambah panas udara semakin tinggi dari detik ke detik” (El Shirazy, 2008:15). Gambaran-gambaran yang berlawanan dengan kesepakatan umum perihal musim. Sebab sejatinya, musim senantiasa menjadi amsal situasi yang menyenangkan. Atau apakah sebab kita berbicara unsur fenomena lebih kecil, penyusun yang tidak terkira banyaknya, hingga ia menjelma fluktuasi keseharian yang tidak bisa dikuasai? Seperti halnya emosi manusia yang mengokohkan karakter seturut rentang waktu?
Jangan Lewatkan: Puisi Rudiana Ade Ginanjar
Dalam cerita pendek O. Henry, Daun Terakhir, cuaca menjelma alibi. Lantaran takut, menjaga status quo menjadi cara mengatasi maut. Lihatlah, di sini musim adalah gambaran akan keindahan, sebuah ranah segar dari kerumunan ancaman kematian akibat wabah. Walau perang telah mengambil alih perhatian pada cuaca—meski bagai memetik buah simalakama, Ibe masih kukuh memiihnya sebagai judul antologi. Bukan tanpa konsekuensi jika kita menemukan larik-larik alam bergelayut di banyak tempat, semisal: “telah kami rekam melalui seluruh indra di tubuh ini/angin riuh di penghujung november yang kacau/ketika bangsawan itu memisah badik dari warangka” (Palogai, 2018:60). Wajah alam selaras dengan peristiwa aktual. Dalam kaitan dengan hal tersebut, alam menjelma bidang refleksi dengan perannya sebagai penyokong atau penghambat narasi. Sebagai penyokong, hubungan timbal balik antara situasi tokoh dan situasi alam merupakan simbiosis mutualisme. Melalui alam, pembaca dapat mengetahui emosi tokoh, jalan cerita atau bayangan tema secara keseluruhan. Inilah siklus kehidupan yang harmonis sebagai siklus empat musim dalam khazanah sastra Barat selama ini. Alam itu pula yang menjadi satu metode teoretis pendekatan sastra M. H. Abrams. Bahwa karya sastra merupakan mimesis telah jamak kita pahami. Ibe S. Palogai mengerti keuntungan tersebut dan menebar fragmen-fragmen mutualis alam-karya dalam sajak-sajaknya. Motif pun muncul dengan sendirinya. Di sisi lain, ketika alam sebagai bidang refleksi menghambat narasi, ia adalah ujian si tokoh utama. Mungkin bukan batu sandungan utama, tapi perjalanan cinta Fahri bertemu dengan situasi buruk cuaca kota Mesir. Paradoks lantas tertandai. Dalam suka cita menuntut ilmu, ia menjalani “kesedihan” cuaca. Musim pula yang menyebabkan tujuan Fahri serupa oasis di tengah gurun. Dalam pada itu, cuaca menebar muslihat. Ia tidak sejalan dengan watak, gagasan cerita atau tema. Hati para pencinta yang sejuk dan lemah lembut bertarung dengan panas terik padang pasir. Mengatasinya, El Shirazy memilih jalan realisme yang kental dengan gagasan argumentatif, khususnya mengenai filosofi beragama. Di sini ingatan kita terarah pada kondisi serupa dalam novel masyhur Gabriel Garcia Marquez, Cinta di Musim Kolera (1985). Saya tidak akan membahas kisah itu mengingat keterbatasan, tapi sebuah cerita pendek lain karya pengarang yang sama juga tidak kalah penting. Dalam cerita pendek “Lelaki Renta Bersayap”, yang tetap saya terjemahkan demikian meski judul aslinya A Very Old Man with Enormous Wings, keinginan menolong sang malaikat tua terhalang oleh jagat mendung dan hujan lebat berhari-hari. Paralel dengan tokoh Fahri, sang malaikat tua berjibaku dengan lumpur dan guyuran hujan yang melumpuhkan sayap-sayap lebarnya demi menempuh perjalanan menyelamatkan seorang anak dari keluarga Pelayo. Magi keseharian yang membedakan kedua pengarang tersebut. Kontroversi dan ambivalensi pada titik tersebut akan banyak ditemukan. Tidak lain sebagai jalan perlawanan sang tokoh. Sifat-sifat itu menghadirkan suspensi. Dalam diri El Shirazy, ketegangan disusun runtut dan nyaris membuat pembaca kesulitan mengambil napas. Tokoh malaikat yang eksentrik, membuat cerita Marquez susah untuk ditinggalkan.
Jangan lewatkan: Sajak-sajak Rudiana Ade Ginanjar
Dan letupan-letupan emosi menjadi warna perjalanan penemuan para pencinta. Sebuah bahaya, kata Chairil Anwar sekali lagi. Kematangan diri seorang untuk menerima dan meraih kebahagiaan cinta bukanlah hal mudah. Lihatlah, Fahri terjebak dalam ragam cinta segitiga. Dan penghianatan serta penampikan cinta oleh tradisi telah menjadi jalan peperangan pada kisah historis yang menjadi latar puisi penyair Ibe. “Dalam tidur,” tulis Habiburrahman El Shirazy, “aku mendengar Maria menangis. Airmatanya membasahi kakiku […] Aku beristighfar berkali-kali memohon ampunan kepada Allah jika guyonanku pada Madame Nahed tadi tidak semestinya aku lakukan. Jangan-jangan menyakiti hati Maria” (El Shirazy, 2008:145-146). Benih-benih cinta tumbuh tatkala Fahri berkelana, dari pertemuan-pertemuan, dari peristiwa ke peristiwa. Lelaki Jawa sederhana nan disiplin itu berhadapan dengan persona-persona wanita berbeda dan bebarengan. Hati lelaki mana yang tidak buncah? Bahkan dari seorang yang tebal keimanannya kita menjumpai ketidaktenangan manusia ketika mengetahui sebuah perasaan kasih mungkin telah timbul. Sejumlah nama, sekian kemungkinan, tapi hanya satu pilihan. Hingga bagian dari paragraf yang saya nukil tersebut pembaca akhirnya menebak-nebak. Di sanalah, kekuatan sastrawi El Shirazy tidak terletak pada bahasa ungkap melainkan suspensi, ketegangan atas konflik-konflik yang ditulis runtut mirip gaya Pramoedya Ananta Toer dalam Anak Semua Bangsa (2006). Pengarang menguasai problem tokoh yang dihadapi dan dari sekian kemungkinan akhir tak tertebak itulah cerita menjadi menarik, menutupi kekurangannya dari segi bahasa. Dengan kewajiban memberi sebuah kuliah rohani, El Shirazy bisa tergelincir menjadi semata pengkhotbah bukannya seorang dengan seni bercerita yang memikat. Warisan pengetahuan agama tidak ternilai, tentu. Jalan argumentatif yang pengarang tempuh harus bisa melawan kecenderungan cepat bosan para pembaca. Untunglah El Shirazy tahu cara memadukan gaya dakwah dalam fiksi, dan sungguh-sungguh menyadari bahwa dia tengah menulis cerita untuk pembaca. Dia juga tertolong oleh eksposisi atas suatu negeri yang jarang ditemui oleh pangsa pembacanya.
Jangan Lewatkan: Lomba Nasional Menjadi Guru Favorit, Inovatif, dan Profesional
Gaya alegoris dalam puitika Ibe telah mengapungkan sekali lagi tema klasik dalam kesusastraan Indonesia. Dia bukankah tengah menguak problem perkawinan yang menganut hukum strata sosial tertentu? Seperti yang juga dialami Oka Rusmini, penyair perempuan dari tradisi kasta di Bali? Atau dia juga mengenangkan kita pada kisah Siti Nurbaya. Bagi Ibe, tokoh-tokohnya mesti mengalah pada tradisi dan prestise kesukuan Makassar. Jika tidak ditulis ulang sebagai catatan bukti sosial, sejarah menjadi suatu narasi yang hanya bisa diceritakan dengan luwes dalam gaya dongeng. Dan alegori adalah metafora naratif, sebuah bentuk yang menampung bahkan untuk kejadian yang tak masuk akal. Mitos dan epik melawan kebenaran konkret sejarah dan Ibe tidak sedang menyesatkan kita dari jalan kebenaran. Penyair adalah juga seorang pendongeng ketika dia menulis, “kisah ini bergulir laksana dua ujung pedang/yang berlaga dalam sarung yang tenang/dan selalu, harimau pemabuk itu,/sarung yang menyarang gairah para perajang” (Palogai, 2018:79). Perang, penghianatan, watak kesukuan, dan cinta adalah topik-topik yang bisa dilacak di sekujur tubuh puisi Ibe. Ketegangan dan emosi yang merupakan alarum penyair pendahulu Chairil Anwar, didengungkan jauh-jauh hari. Bahaya yang meski lekas fana, menapak kuat dalam ingatan sejarah bersama. (*)
Rudiana Ade Ginanjar, penyair. Berasal dari Cilacap, Jawa Tengah. Bergabung di Komunitas Sastra “Kutub”, Yogyakarta.
2 komentar