Oleh Rusdi
“Betapa banyak para pelajar yang perilakunya seperti orang-orang tidak terpelajar. Kemarin aku melihat berita, ada pelajar tawuran sesama pelajar sampai ada yang meninggal dunia. Lalu ini ada lagi pelajar yang mencuri agar bisa beli kuota untuk main game online. Belum lagi yang mabuk-mabukan. Ini zaman sudah hampir kiamat.”
Dengan nada geram, seorang guru membanting koran yang baru saja dibacanya dan kemudian menyenderkan tubuhnya pada kursi kayu yang warna catnya sudah mulai memudar. Sorot matanya yang kosong menyusuri langit-langit ruangan tempat kerjanya sehari-hari. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu; memikirkan tentang impiannya dulu bahwa setelah jadi guru ia akan berusaha mencetak lahirnya generasi yang berilmu, beriman dan berakhlak mulia. Tapi saat itu ia justru tak bisa berkata apa-apa ketika koran yang baru saja dibacanya meliput tentang salah seorang muridnya sendiri yang berbuat mesum dengan temannya.
Apa yang salah dan siapa yang pantas disalahkan? Pertanyaan itu seperti hempasan air hujan yang begitu deras memenuhi pikirannya. Ia merasa semua impian dan perjuangannya selama ini seperti menguap ke udara. Tak ada yang lebih menyakitkan bagi seorang guru selain mengetahui bahwa anak didiknya telah berbuat sedemikian bejatnya. Ia seperti menjadi orang yang diabaikan oleh muridnya sendiri karena si murid telah melakukan perbuatan yang justru tidak pernah ia ajarkan.
“Aku lebih baik memiliki seratus orang murid bodoh tapi benar perbuatannya daripada memiliki seorang murid cerdas tapi pandir dan bejat,” sang guru berguman sendiri. Baginya, ia masih sanggup menahan kelelahan akibat mengajar selama bertahun-tahun daripada harus mengetahui bahwa ternyata di antara orang-orang yang telah ia didik selama ini justru tumbuh menjadi bajingan.
Baca Juga: Pesan Moral dan Kreatifitas Untuk Pendidik
Tapi tunggu dulu! Apakah tidak terlalu utopis kalau ia berharap bahwa semua orang yang telah ia didik selama puluhan tahun itu semuanya harus menjadi orang yang baik dan mulia? Kali ini sebuah pertanyaan lain menggempur isi kepalanya. Ya, tidak ada salahnya memang seorang guru memimpikan murid-murid yang telah ia didik semuanya tumbuh menjadi orang-orang yang berperilaku terpuji. Tapi, toh ada benarnya juga kata-kata filosof bahwa masing-masing orang mengendalikan kehidupan dan jalan pikirannya sendiri-sendiri. Saya mau apa dan kamu mau bagaimana, tidak pernah bisa sepenuhnya diatur oleh hanya seorang saja. Tidak juga oleh guru.
Sang guru menarik napas dalam-dalam dan lalu menyalakan sebatang rokok yang masih tersisa di hadapannya. Asap putih tipis mengepul kemudian lenyap ditelan angin. Sambil sesekali menghirup kopinya yang sudah dingin, pikirannya kembali mengembara kemana-mana dan lalu dikenangnya wajah murid-muridnya satu persatu. Mereka ada sepuluh orang, seratus, seribu, dan, ah, terlalu banyak orang-orang yang pernah datang untuk ia didik sebelum kemudian mereka pergi. Di antara mereka ada yang sudah menjadi guru seperti dirinya, jadi kiai, pejabat, pedagang, petani, penjudi, pencuri, pezin…. astaghfirullah…nauzubillaah!
Menjelang hisapan rokoknya yang terakhir, sang guru tertunduk. Pandangannya kali ini kembali tertuju pada sebuah koran di atas meja di depannya. Ia pandangi gambar seseorang yang sedang duduk di atas kursi pesakitan dengan wajah yang tak mencerminkan harapan apa-apa lagi. Ia sangat mengenal wajah orang itu dan masih ingat ketika setiap hari memanggilnya, ‘Pak guru…Pak guru!’
“Telah kuselesaikan tugas dan kewajibanku untukmu, nak. Telah kutunjukkan jalan terbaik yang seharusnya kau lewati meski rupanya kau memilih jalan lain yang tidak aku kehendaki. Hadapilah pilihanmu sendiri meski bagiku itu teramat menyakitkan,” bisik sang guru. Di saat itu ia kemudian teringat pada enam ribu tahun yang lalu, ketika seorang rohaniawan Mesir Kuno mengukir tulisan pada sebuah prasasti yang berbunyi; Bumi kita sudah semakin rusak saat anak-anak tak lagi mengikuti perintah orangtuanya, dan murid-murid tak lagi hormat pada gurunya.
“Ya, bumi kita sudah semakin rusak. Samakin rusak.”
Sekian!
Penulis adalah penasehat Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Yogyakarta dan juga seorang pengajar di MAN 4 Kebumen
3 komentar