Goodlooking is Everything

Esai, Literasi190 Dilihat

Seputar Pendidikan #37

Aldi Hidayat

Pada episode-episode perdana, penulis telah persembahkan esai berumbul, “Penampilan Bukan Segalanya, Tapi Nyaris”. Esai kali ini merupakan kelanjutan esai tersebut dari sudut yang lebih luas. Goodlooking sederhananya adalah sedap dipandang. Sedap dipandang adalah incaran utama umat manusia. Sedap dipandang tidak penulis batasi pada yang terlihat. Goodlooking adalah nama bagi apa dan siapa saja yang berhasil menaburkan kesan spesial. Manusia condong mengejar yang demikian. Goodlooking is everything. Bisakah ini dibenarkan?

Heidegger menetapkan bahwa manusia itu prareflektif. Gampangnya, manusia cenderung mengedepankan kesan ketimbang nalar pikiran. Contoh, jika ada orang biasa berkata, “Indonesia ini memegang erat tatakrama“, tentu respon kita biasa saja. Coba kalau ujaran itu disampaikan oleh pemuka agama, petinggi negara, cendekiawan, pengusaha dan lain seumpamanya. Jelas, responnya pasti beda. Dalam waktu beberapa detik, ucapan itu akan berselancar sebagai quotes di dunia maya. Mengapa? Bukankah ucapannya sama saja? Karena pengucapnya beda. Orang biasa terkesan badlooking (tak sedap dipandang), sedangkan orang-orang papan atas terkesan goodlooking. Lagi-lagi kesanlah yang mengendalikan. Jika dipikir ulang, mestinya orang-orang papan atas tidak melontarkan kata-kata yang lumrah.

Tatakrama, hidup ini ujian, hidup cukup sekadarnya, hargailah orang lain dan lain sebagainya sudah kadaluwarsa. Nyaris semua orang dewasa di Indonesia mengetahui dan menyadarinya. Manusia papan atas mestinya melontarkan ungkapan-ungkapan yang berbobot inovatif dan progresif. Misal kata-kata Gus Dur, “Jangan ikut fakta, tapi lawan fakta dan buat fakta baru!” Ungkapan ini cukup baharu dalam budaya Indonesia. Pasalnya, budaya Indonesia adalah paternal, yakni memegang teguh warisan masa silam. Mengkritiknya, apalagi melawannya dianggap kelancangan dan pembangkangan. Akan tetapi, mengapa Gus Dur melontarkan kata-kata itu? Ini adalah undangan untuk berpikir ulang, menyadari problem yang tengah menegang dan mencari jalan keluar yang lebih baik ke depan.

Jangan Lewatkan Ikut Tesi: SBMPTN Buka 23 Maret 2022

Dalam dunia ekonomi, goodlooking hampir menjadi Tuhan. Rata-rata orang tentu ingin hidup nyaman. Sayangnya, nyaman diartikan tidak banyak usaha, tapi penghasilan melimpah ruah. Bisakah ini? Tentu bisa dengan cara goodlooking. Perempuan cantik, sebagai misal dan tentu mohon maaf, adalah incaran lelaki. Tak heran, Nabi SAW menyebut bahwa alasan pertama perempuan dinikahi ialah kecantikannya. Hampir semua agamawan memaknainya sebagai hadits imperatif alias perintah bahwa mencari istri ya memang mesti cantik dulu. Sebenarnya tidak demikian. Ini adalah hadis deskriptif. Nabi SAW hanya menggambarkan bahwa watak lelaki itu candu pada kecantikan. Karenanya, cantik disebut pertama. Meski demikian, Nabi memperingatkan bahwa lebih baik cari istri yang agamanya mapan. Jadi, ini adalah hadis deskriptif-denunsiatif, yaitu penggambaran dan peringatan.

Lebih jelasnya, betapa pun kecantikan adalah mangsa utama, jangan sampai perkara tersebut membuat kita terlena. Mengapa? Karena ia akan menimbulkan ketimpangan dalam berbagai lini, khususnya ekonomi. Bagaimana itu? Perempuan cantik cenderung mudah dapat kerja. Bahkan, sekelas toko pun membuka lowongan kerja untuk wanita dengan tinggi bla-bla, muda dan lain sebagainya, tapi pada akhirnya goodlooking. Apalagi dengan dunia artis. Memang, talenta selalu menjadi kriteria. Akan tetapi, mungkinkah mengangkat artis wanita yang buruk rupa, walaupun talentanya sungguh luar biasa? Memang ada juga, tapi jelas langka. Kalau memang talenta menjadi kriteria utama, mengapa artis rata-rata memesona? Sah-sah saja ini disanggah, misal dunia artis memang harus demikian. Persoalannya bukan dunia artis atau bukan. Persoalannya adalah kerja yang mudah mendatangkan kebutuhan kerap harus berpapasan dengan goodlooking. Akibatnya, bagaimana dengan perempuan yang bertalenta, namun berparas di bawah rata-rata? Sangat mungkin terkucilkan. Parahnya, profesi paling rendah di Indonesia, yaitu PSK pun mutlak menjadikan goodlooking sebagai kriteria utama.

Selain Goodlooking is Everything, Baca Juga: Sangek Berkedok Sayang di Hari Valentine

Jauh-jauh hari, Jean Baudrillard meramalkan bahwa ke depan, ekonomi berorientasi gengsi, bukan kebutuhan. Contoh, mengapa banyak perempuan suka pakaian ketat? Tidakkah pakaian longgar lebih nyaman? Tidakkah berpakaian hanya untuk melindungi badan dari panas dan dingin? Mengapa malah pakaian perempuan sering kekurangan kain? Itu karena industri pakaian tidak bertujuan memenuhi kebutuhan, tapi memanjakan gengsi dan sensasi.

Di dunia pendidikan, goodlooking merasuk tanpa kita sadar. Mengapa orang berlomba-lomba mengejar gelar? Tidakkah yang kita butuhkan adalah pengetahuan dan wawasan? Karena gelar akan membuat Anda terlihat goodlooking alias pintar. Memang bisa saja dibantah, gelar adalah cerminan pengetahuan dan wawasan. Akan tetapi, cerminan yang sesungguhnya ialah jasa dan karya. Mengapa tidak berlomba-lomba saja menumpuk jasa dan karya tanpa harus tersisipkan gelar? Lagi-lagi itu karena goodlooking adalah bidikan utama. Akhirnya, kalau tidak bergelar, seolah-olah tidak pintar. Kalau tidak bergelar, maka tidak bisa mengajar. Mestinya, kriteria pintar dan mengajar itu dilihat dari produktivitas, kualitas dan kreatifitas dalam menyumbangkan jasa dan karya.

Nikmati Suara Asli Mbah Mus: Kau Ini Bagaimana

Goodlooking pun merambah dunia kedokteran. Yuval Noah Harari menegaskan bahwa kedokteran masa kini tidak hanya untuk mengobati orang sakit. Lebih dari itu, kedokteran masa kini hendak mempermak manusia sedemikian rupa. Tak heran, bermunculan operasi plastik di mana-mana. Selain itu, obat-obatan hidup abadi mulai masuk dalam daftar rencana. Kedokteran mulai mencoba terobosan baru, yakni bagaimana membuat obat yang bisa memperpanjang usia. Mungkin saja, kelak akan muncul orang yang hampir meregang nyawa, namun kemudian sehat seperti sediakala lalu bertahan hingga 1 abad lamanya. Itulah memang prospek kedokteran di masa depan. Tak heran, Yuval Noah melabeli manusia milenial sebagai homo deus, manusia setengah dewa.

Dunia pemasaran pun acapkali menyisipkan promosinya dengan wanita-wanita jelita. Apa hubungannya dengan wanita? Karena wanita jelita pasti goodlooking. Lambat laun, calon pembeli akan terbuai lalu bersedia merogoh kocek untuk pembelian. Yang demikian sebenarnya adalah bentuk lain dari penindasan terhadap perempuan. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, wong goodlooking is everything? Terlihat dan terkesan indah adalah segalanya. Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 komentar