Oleh Ahmad Muchlish Amrin
Jika Anda peminat sepak bola, tentu tidak asing dengan istilah “gol tangan tuhan“. Bermula dari seorang legenda Argentina, Diego Maradona. Pada tanggal 22 Juni, 1986 di Estadio Azteca, Mexico City, ia menggiring bola dengan gocekan indah; tubuh mungilnya berhasil melewati 5 pemain Inggris, lalu diumpan sampai bola melambung ke atas. Maradona menyambut dengan tangannya, dan bola melesak di gawang lawan. Wasit pun tidak menganulir gol yang sebenarnya tidak sah itu. Argentina keluar dari lapangan hijau dengan mengangkat medali.
Saya ingin memetik pelajaran sedikit dari peristiwa “tangan tuhan” Diego Maradona. Ada dua hal yang ingin saya bicarakan di sini. Pertama, Gol atau dalam bahasa Inggris ditulis “goal”, dapat diartikan sebagai sasaran, tujuan, cita-cita. Bagaimana kita mencapai goal dalam berbagai aspek kehidupan ini, mulai dari urusan pribadi, personality, pendidikan, karier, sosial, budaya, finansial, dan bahkan meminjam istilah para santri, urusan masa depan di alam setelah kematian.
Untuk mencapai goal tentu butuh proses yang harus ditebus. Tidak main-main. Seperti Diego, kita perlu mengasah keahlian, kedisiplinan, fokus, serta kecerdasan yang tidak biasa. Berlatih terus menerus, membiasakan diri setiap hari, pelatih yang menyenangkan dan dapat memotivasi (dalam dunia pendidikan disebut guru; dalam sepak bola disebut coach; dalam tarekat disebut mursyid; di kampus disebut dosen, dan seterusnya).
Jangan Lewatkan Baca Juga: Pelajaran Berharga dari Membunuh Kucing
Tak jarang ada gangguan yang merangsek di hadapan, agar perencanaan dan segala yang sudah ditata remuk kembali dan kita semakin jauh dari goal yang kita tuju. Sebagai orang yang memiliki semangat tinggi dan mencintai passion goal kita, tentu butuh kecerdasan dan kepintaran melakukan drible. Sebagaimana Maradona yang mampu melewati lima pemain lawan, meliuk ke kanan dan ke kiri, konsentrasi tetap fokus pada bola yang digiring, yang akhirnya mencapai goal.
Dalam dunia pendidikan misalnya, seorang pelajar, mahasiswa atau santri selalu dihadapkan pada gangguan dalam belajar, sebut saja rasa malas, ingin bersantai-santai padahal masih ada tugas yang harus dikerjakan, hingga keinginan untuk yang-yangan. Apa yang terjadi? Prestasi yang seharusnya berkilau di depan mata kita, pergi begitu saja, lenyap tanpa bekas, yang pada akhirnya rasa sesal akan datang.
Menjadi pembelajar tentu tak kenal lelah, disiplin waktu, cerdas, pintar menyiasati semua yang dapat mengganggu, dan tidak bosan berkonsultasi dengan para guru maupun dosen bila ada materi yang belum dikuasai.
Jika kedisiplinan menata skill diri dengan baik, kita tinggal menunggu waktu bahwa goal bukanlah hal sulit untuk kita reguk.
Jangan Lewatkan Baca Juga: Kepada Pemilik Tangan
Kedua, tangan tuhan. Saya ingin mengartikan konteks “tangan tuhan” dalam peristiwa Maradona sebagai keberuntungan. Ada faktor x pada detik itu yang tidak bisa dicapai logika, sehingga senggolan tangannya pada bola yang melesat ke gawang lawan tidak terlihat oleh wasit; beruntung lagi saat itu belum ada video assistans referee (VAR).
Lalu bagaimana kita mencapai keberuntungan dalam mencapai goal kita? Sisi inilah yang banyak tidak tergarap dalam kehidupan kita saat ini. Rasionalisasi matematis banyak mewarnai pola pikir dan perilaku sehingga nilai dan unsur-unsur di luar nalar seolah-olah menjadi kurang penting.
Dalam pendidikan misalnya, ada dua hal untuk mencapai goal, yaitu mengaji dan mengabdi. Pendidikan kita lebih banyak menggarap “pengajian”nya dengan mengurangi “pengabdian” nya. Coba logikanya dibalik, KKN pengabdian masyarakat di kampus dilaksanakan selama 3.5 tahun dan kuliah pembelajaran dilaksanakan 1/2 tahun. Tentu hasilnya akan berbeda. Atau dibuat 2 tahun pengabdian dan 2 tahun pembelajaran materi untuk menyusun temuan-temuan baru dalam masa pengabdian.
Selain itu, ada perilaku-perilaku personal yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai goal, yaitu riyadhah atau mengasah spiritualitas, melakukan pendekatan kepada Tuhan. Sehingga upaya-upaya teknis yang dilakukan di awal bisa dilumuri keberuntungan dan rahmat Tuhan. Tentu, semua itu hanya mudah dikatakan, bukan? *
Ahmad Muchlish Amrin adalah Santri Kutub Yogyakarta.
1 komentar