Gegara Digital, Pendidikian Kian Dangkal

Esai, Literasi137 Dilihat

Seputar Pendidikan #21

Aldi Hidayat

Era digital telah menyulap kemustahilan menjadi kemungkinan dan kemungkinan naik peringkat menjadi kepastian. Komunikasi jarak jauh yang dulu mustahil kini menjadi mungkin. Kemungkinan berkomunikasi jarak jauh kini sudah pasti. Hampir tidak ada orang yang tidak menggunakan internet dan hampir tiada satu pun yang tidak kecanduan padanya. Artinya, manusia kekinian sudah pasti berkecimpung dengan dunia digital.

Digital menghadirkan kebutuhan dan keperluan dalam waktu singkat. Pengetahuan dan wawasan beredar sedemikian cepat. Mengaksesnya tidak perlu lagi menguras urat. Menu intelektual “prasmanan” tersaji begitu nikmat. Dengan sekali klik, semua keluar. Kecanggihan diam-diam menjadi keangkuhan; bahwa saingan Tuhan kini bergelegar. Namun bukan itu yang hendak penulis gelar. Adalah efek samping dunia digital yang akan penulis bahas panjang lebar.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Li(terasi) Pragmatis

Mari kita bertamasya historis ke ujung milenium pertama dan pangkal milenium kedua. Al-Thabari, selaku pemuka tafsir perdana. Nun jauh sebelumnya memang telah banyak penafsir al-Qur’an. Akan tetapi, beliaulah orang pertama yang berhasil menafsirkan al-Qur’an hingga tuntas. Tafsirnya yang berumbul, “Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ay al-Qur’an” menghabiskan tebal halaman 30 jilid. Lain lagi dengan Tarikh al-Umam wa al-Muluk, sejarah umat manusia, karyanya yang lain dengan tebal 49 jilid. Itu pun ini masih ringkasan, karena beliau berencana menulisnya setebal 300 ribu halaman. Jikalau dicetak menurut percetakan kekinian, tebalnya kurang lebih 300 jilid.

Taruhlah misal lainnya, al-Nawawi, ulama produktif yang wafat dalam usia muda, 43 tahun. Sebagian menyebut 45 tahun. Dalam durasi usia yang relatif muda, beliau berhasil menuntaskan banyak karya. Al-Majmu’, kitab fiqih setebal 20 jilid dan Syarh Shahih Muslim, setebal kurang lebih 20 jilid. Ini hanya salah satu karya, belum lagi karya lainnya.

Ada pula al-Suyuthi. Penulis multidisipliner ini berhasil menyelesaikan 600 karya. Itu pun penulisan karya pertama dimulai sejak 40 tahun, usianya. Lahir 1445 dan wafat 1505. Jatah hidupnya 60 tahun di dunia. Akan tetapi, selama 20 tahun, 600 karya berhasil dituntaskannya. Adakah karyanya tipis-tipis? Tidak juga. Al-Durr al-Mantsur adalah karyanya di bidang tafsir al-Qur’an, setebal kurang lebih 17-20 jilid.

Lagi Cari Info Kerja Daerah Yogyakarta? Klik Loker Jogja

Ini masih berupa karya. Bagaimana dengan proses mereka? Kita alihkan wacana pada tokoh lainnya. Ibn Rusyd sukses mengkhatamkan 500 ribu buku di perpustakaan raksaan Cordova, Spanyol yang dulu bertitel Andalusia. Ibn Hajar al-‘Asqalani menghabiskan 16 jam untuk belajar, mengajar dan berkarya. Al-Nawawi malah lebih gila. Belajar sejak subuh, selesai tengah malam. Sekitar 20 jam waktunya dikuras untuk pengetahuan dan wawasan. Demikian seutas contoh dari sekian membeludak teladan ketekunan intelektual.

Pertanyaannya, bagaimana bisa mereka setekun dan segila itu pada ilmu? Tidakkah fasilitas serba langka tempo dulu? Bagaimana mereka membagi waktu? Bukankah mereka bukan hanya pelajar, tapi juga pengelana lintas bangsa? Tidakkah kembara mereka bermodal jalan kaki, bukan Ferrari dan Lamborghini? Apa mereka hanya legenda, tapi nyatanya karya-karya terpampang di rak-rak buku perpustakaan ternama? Mereka memang ada, tapi ketekunannya melampaui biasa, sehingga sah mendapat predikat legenda. Artinya, ketekunan macam itu susah terulang, bahkan takkan lagi ada. Mengapa?

Sebelumnya, penting dicamkan bahwa ruh pendidikan adalah ketekunan. Tekun belajar dan berkembang. Berkat tekun, pengetahuan kian mendalam, wawasan semakin meluas. Tidakkah era digital menghidangkan aneka ragam pengetahuan dan wawasan? Memang, tapi era digital juga menyajikan sensasi, fantasi dan berahi. Jadi, era digital menawarkan dua menu sekaligus; ilmu dan nafsu. Dari keduanya, mana yang paling banyak diminati pengguna digital? Sebelum menjawabnya, perlu diluruskan bahwa nafsu tidak sebatas berahi. Nafsu adalah nama lain dari naluri, yakni kebutuhan akan kenikmatan sesaat, seperti hiburan, guyonan, konten unik dan lain sebagainya. Sekarang penulis hendak menjawab pertanyaan tadi yang tertunda.

Jangan Lewatkan Baca Juga: Elegi Pintu

Dicuplik dari Berita Satu, bertitimangsa 15 Februari 2021, bahwa You Tube menduduki tangga teratas media yang paling banyak diminati di Indonesia. Peringkat di bawahnya diraih oleh WA, Instagram, Facebook dan lain seterusnya tanpa bisa penulis sebutkan hingga purna. Ini kan tahun lalu? Bagaimana dengan sekarang? Data terbaru tidak jauh beda, bahkan nyaris sama. Sama sekali tidak ada perubahan drastis mengenai minat rata-rata dalam dunia digital. Sebagai bukti, Kompas, bertitimangsa 3 Januari 2022, memprediksi bahwa bahwa keluarga besar Facebook masih akan tetap menjadi jawara. Pengguna Facebook kini 2,098,1 miliar, sedangkan Instagram meraup pengguna 1,282,8 miliar. Berikutnya Tik Tok menyusul dengan 755 juta pengguna. Lalu bagaimana dengan Google Scholar? Google Scholar sama sekali tidak terpampang dalam data tentang media yang paling banyak diburu. Lalu ini apa artinya?

Benar dikata bahwa gegara digital, pendidikan kian dangkal. Esai sebelumnya telah melansir betapa separuh, bahkan seluruh hari kita dihapuskan dengan gawai (HP). Membaca buku tinggal menunggu terompet Israfil untuk mati. Orang-orang hanya larut dalam angan. Bermimpi bisa menikmati sensasi dan berahi yang muncul dari dunia digital. Yang terlintas akhirnya uang, uang dan uang. Dengan uang, Anda bisa meraih segalanya, bahkan kalau perlu menjadi Tuhan. Berlakulah kemudian humanisme evolusioner. Dalam Homo Deus, Yuval Noah menerangkannya sebagai kemanusiaan yang menyerupai rimba. Di hutan, hanya yang ganas yang bisa bertahan. Kehidupan yang hanya mengandalkan sensasi, bahkan menobatkannya sebagai Ilahi akan melahirkan manusia kekurangan akal, kebanyakan nakal. Karena nakal berlebihan, maka yang penting, kebutuhan sendiri terpenuhi. Yang lain, silakan pergi, bahkan mati. Akal sehat tidak bisa mengemudi, karena nafsu terbiarkan liar, namun dibungkus dengan embel-embel kebebasan. Lalu mau bagaimana lagi? Meladeni, bukan menikmati. Itulah satu-satunya kunci. Silakan coba, tapi jangan coba-coba! Demikian. Wallahu A’lam.

 

Aldi Hidayat, Santri Kutub Yogyakarta

Klik Puisi Ibu D Zawawi Imron, Suara Asli Penyair Nasional Si Celurit Emas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar